Sebenarnya kesembuhan Golkar dari agnosia politik dan berperilaku ganda lebih tergantung pada peran pemimpin yang bersih dan kuat serta siap untuk berbenturan dengan banyak sumber pengidap agnosia di tubuh partai itu sendiri
Pembukaan Munas Partai Golkar kemarin (4/10) mencuatkan pelbagai wacana politik bak tumbuhnya jamur di musim hujan. Wacana yang seringkali lebih menyoroti Golkar sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia. Partai yang memiliki kekuatan untuk menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan secara istimewa -tentu memperbincangkan pula kekuatan calon ketua umumnya yang saat ini tidak jauh dari kontroversinya. Abu Rizal Bakrie dengan soal Lumpur Lapindo, riwayat Tommy Soeharto sebagai bekas narapidana kasus korupsi dan pembunuhan, Surya Paloh dengan kasus korupsi Bank Mandiri serta Yuddy Chrisnandi yang dianggap terlalu muda dan anak bawang.
Gagasan menyebut Partai Golkar sebagai pilar demokrasi Indonesia, tentu tidak lepas dari fakta bahwa selama era reformasi; Golkar masih memiliki peran besar dalam menentukan bentuk dan warna demokrasi kita. Kekuatan jaringan baik pada massa tradisional atau di tingkat eksekutif dan legislatif membuat Golkar tidak lain adalah pilar kekuatan demokrasi dimaksud. Tetapi tentu saja, sebagai sebuah harapan yang sama, semua partai yang ada di Indonesia adalah layak disebut sebagai pilar demokrasi.
Namun, fakta politis tersebut di muka pada dasarnya belum mencerminkan apa pun tentang idealisme demokrasi yang berarti sebuah keadilan dan kemakmuran Indonesia. Golkar sebagai sebuah partai politik terbesar kedua di Indonesia, belum mampu memberikan peran yang lebih konstruktif bagi terbentuknya idealisme politik. Keadilan dalam konteks makna demokrasi belum hadir dan tercermin pada keinginan, pelaksanaan untuk menekan ‘’politik kepentingan’’, misalnya.
Konsistensi sikap politik dan semangat pembebasan partai dari tindakan korup adalah hal lain yang kemudian memberikan petunjuk atas gambaran ideal tersebut. Pada tingkat seperti itu Golkar memiliki fakta yang berbeda. Kita masih sering mendapati inkosistensi politik Partai Golkar (juga semua partai). Dalam arena pembuatan undang-undang di DPR atau hal yang berkaitan dengan kepentingan politik kekuasaan, kita masih sering menjumpai praktik dagang sapi atau praktik korupsi oleh anggota Golkar. Inkonsistensi sikap politik juga masih sering menjadi plot dan karakter Golkar. Surya Paloh sendiri pun sebagai kader terdepan Partai Golkar sering mengeluhkan sikap ini.
Fakta buruk tersebut memberikan gambaran bahwa selama hampir sepuluh tahun reformasi, Golkar belum mampu meniatkan dan merevisi tujuan ideologisnya. Baik secara internal atau eksternal. Bahkan, jika kembali membuka dan membaca kutipan ucapan Akbar Tanjung di depan pembukaan pendidikan dan pelatihan perkaderan tingkat nasional di aula DPP Partai Golkar yang lalu(18 Juli 2003) menyebutkan bahwa masyarakat kini sengsara dan ingin kembali pada masa Orde Baru (Sriwijaya Post, 20 Juli 2003). Ini menunjukkan bahwa Golkar tidak memiliki perubahan kemauan tujuan politik. Meski pada suasana lain menyatakan sebagai partai berbeda.
Pernyataan tersebut tentu menunjukkan realitas sikap ambivalensi politik Golkar pada masa reformasi ini. Kenyataan itu tentu menyadarkan tentang pemakluman perilaku banyak anggota Golkar yang tetap terus menghidupkan praktik politik kepentingan dan korup saat ini. Situasi psikologis Golkar pada runtutan sepanjang era reformasi, akhirnya bisa dibilang mengalami ‘’ketidakstabilan emosi’’.
Kentalnya praktik politik kepentingan dan sikap inkonsistensi oleh sebagian politisi Golkar yang bersifat provokatif dan telah mentradisi selama puluhan tahun, menjadi seperti menularkan prilaku penderita agnosia yang hilang kemampuan dalam membangun persepsinya. Bisa melihat, mampu mendengar dan dapat merasakan persoalan masyarakat dan demokrasi, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah secara serius. Perannya pada masa orde baru yang sangat dominan dan berkuasa menjadi halangan psikologis untuk mendesain intitusi partai politik yang sehat dan berdemokrasi yang jujur.
Agnosia politik Golkar tersebut terpicu dan muncul terutama oleh kuatnya provokasi dan perbuatan manipulatif yang akut dalam praktek kehidupan sosial politik dalam jangka waktu yang panjang. Golkar pada akhirnya, di masa reformasi hidup dan terjebak secara berlarut-larut dalam suasana manipulatif yang tidak saja menjebak pada perilaku agnosia tetapi sekaligus split-personality.
Pemimpin Bersih Mengindap agnosia sekaligus split personality politik seperti itu, tentu pada akhirnya Golkar lebih membutuhkan peran baru dari politisi yang relatif baru dan bersih untuk mejalankan kemauan baik dan proses healing. Seorang peminpin yang memiliki integritas tinggi dan bertangan dingin untuk memberikan terapi agnosia politik. Karena, sebenarnya kesembuhan Golkar dari agnosia politik dan berperilaku ganda lebih tergantung pada peran pemimpin yang bersih dan kuat serta siap untuk berbenturan dengan banyak sumber pengidap agnosia di tubuh partai itu sendiri.
Kondisi itu selaras dengan kata Marzuki Darusman, salah satu mantan Ketua DPP Golkar bahwa agnosia politik di tubuh Partai Golkar bisa disembuhkan dengan cara mengurangi sumber-sumber provokasi dan perilaku manipulasi. Memperbaiki sistem-sistemnya dan pada kondisi tertentu mengisolasi pelaku-pelaku sumber yang lebih sering berada pada posisi strategis.
Munas Partai Golkar 2009 yang pada banyak orang digantungkan harapan, seperti menjadi pilar demokrasi Indonesia, akhirnya tentunya akan memberi jawaban. Apakah Golkar dengan pemimpin baru mendatang akan mampu melepaskan Golkar dari situasi agnosia politik dan perilaku ganda. Memberikan jawaban terhadap kebutuhan demokrasi yang berimplikasi pada pemenuhan hasrat keadilan politik dan keadilan pada masyarakat.
Harapan tersebut kemudian juga berlaku untuk semua partai yang ada di Indonesia. Sebagai pilar demokrasi, tentu saja rakyat Indonesia membutuhkan partai-partai yang memiliki badan yang sehat. Baik sehat jasmani dan rohani. Perilaku split personality dalam berpolitik hingga agnosia politik, tentu akan meruntuhkan harapan masyarkat terhadap pilar-pilar demokrasi di Indonesia di masa mendatang. (80)
Wacana Suara Merdeka 5 Oktober 2009
—Ranang Aji SP, peneliti pada Democratic Conflict Governance Institute