04 Oktober 2009

» Home » Media Indonesia » Figur SBY dan Generasi Baru TNI

Figur SBY dan Generasi Baru TNI

SAAT Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sebagai presiden untuk periode kedua, pada 20 Oktober nanti, bisa dipastikan ajudan (ADC) yang akan mendampingi SBY merupakan wajah baru. Ajudan yang lama, yaitu Kolonel Inf M Munir, sebagaimana tradisi ADC presiden sebelumnya, akan segera dipromosikan pada pos pati (dengan pangkat brigjen), begitu periode penugasannya mendampingi presiden selesai. Promosi itu juga akan berlaku bagi ADC wapres, yaitu Kolonel Inf Meris Wiryadi, karena Kolonel Meris juga tidak akan mendampingi lagi wapres (terpilih) Boediono.

Baik Kolonel Munir maupun Kolonel Meris sama-sama lulusan Akmil 1983, sebuah generasi yang sedang menanti 'lokomotif' untuk segera dipromosikan. Mungkinkah kedua mantan pendamping presiden dan wapres tersebut dapat berperan sebagai lokomotif sesuai dengan harapan kolega seangkatannya? Promosi bagi angkatan 1983 seolah 'terkunci' karena harus menunggu selesainya penugasan Kolonel Munir dan Kolonel Meris sebagai ajudan. Kabar terakhir menyebutkan, keduanya disiapkan untuk menempati posisi, masing-masing sebagai Kasdiv 1 Kostrad dan Kasdiv 2 Kostrad, yang memang pos untuk brigjen.

Sejak ketentuan usia pensiun bagi perwira diperpanjang dari usia 55 tahun menjadi 58 tahun, promosi bagi (khususnya) generasi 1980-an memang sedikit tersendat. Pada Angkatan 1982, misalnya, sejak Brigjen TNI Gatot Nurmantyo masuk posisi pati sebagai Kasdiv 2 Kostrad, sejak awal 2008, tidak ada lagi teman sekelasnya yang sudah menyusulnya sebagai pati. Memang sempat santer terdengar nama Kolonel Inf Erwin Syafitri (mantan Danrem Lhok Seumawe, lulusan terbaik Akmil 1982) dan Kolonel Inf Tory Johar (mantan Danrem Ternate) yang akan segera menyusul, tapi tanpa alasan yang jelas, promosi bagi keduanya belum terlaksana.

Fenomena menarik justru terjadi pada angkatan berikutnya, yaitu lulusan Akmil 1984. Dari generasi ini sebenarnya sudah ada yang menduduki posisi pati, atas nama Kolonel Arm Ediwan Prabowo (lulusan terbaik Angkatan 1984), yang sudah menjabat sekretaris pribadi presiden, sejak setahun lalu. Memang jabatan tersebut di luar struktur Mabes TNI, mengingat atasan langsung seorang sekretaris pribadi presiden adalah Mensesneg, bukan Panglima TNI. Namun begitu, penempatan Kolonel Arm Ediwan Prabowo dalam posisi itu jelas merupakan peristiwa penting, walaupun di luar struktur TNI, dari segi kepangkatan setara brigjen, jadi bisa disebut promosi juga, meski pangkatnya belum disesuaikan (tetap kolonel).

Brigif 17 dan lulusan terbaik

Bila kita perhatikan, perwira-perwira yang disebut-sebut dalam tulisan ini adalah perwira yang sehari-harinya bertugas membantu SBY selaku presiden. Dengan begitu, bisakah dikatakan SBY turut berperan dalam menentukan promosi seorang perwira, bahkan promosi sebuah generasi? Bisa jadi memang iya, meski tidak secara langsung, mungkin istilah yang lebih tepat adalah mewarnai ketimbang berperan. Sebagai orang nomor satu di negeri ini, tentu dia memiliki privilese untuk menentukan pembantu-pembantunya, termasuk bila SBY ingin merekrut staf yang berasal dari TNI.

Bagi SBY, mungkin lebih mudah mengambil SDM dari TNI karena tidak ada beban politisnya. Beda bila merekrut tenaga dari unsur parpol, dengan tarik-menarik kepentingan politiknya sudah menguras energi sendiri, dan hanya buang-buang waktu. Sebagai mantan petinggi TNI, tentu SBY sudah paham kualifikasi perwira seperti apa bila harus merekrut personel dari TNI.

Ada kriteria yang menonjol pada perwira-perwira yang terpilih membantu tugas-tugas kepresidenan, umumnya berasal dari Brigif 17/Kujang I Kostrad atau lulusan terbaik Akabri (khususnya Akmil). Dua unsur itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang SBY sendiri. Sebagaimana sama-sama kita ketahui, saat masih aktif sebagai tentara, SBY lama bertugas di Brigif 17, bahkan sempat menjadi komandan satuan legendaris tersebut pada 1992-1993. Kemudian saat lulus dari Akmil (1973), SBY menjadi lulusan terbaik. Salah satu perwira yang berasal Brigif 17 adalah Kolonel Munir, yang sudah disebut-sebut sebelumnya, yang kebetulan juga pernah menjadi Komandan Brigif 17, sebelum ditarik ke istana.

Dua kriteria itu juga berlaku pada tingkat jabatan di bawahnya, semisal pos Komandan Detasemen Kawal Pribadi (Dandenwalpri), jabatan di bawah Paspampres yang secara khusus menjaga langsung presiden secara fisik. Baru saja ada pergantian pada posisi tersebut, dengan komandan lama maupun yang baru sama-sama lulusan terbaik di Akmil. Komandan yang lama adalah Letkol Inf Tri Yuniarto (lulusan terbaik Akmil 1989, kini Kepala Staf Brigif 1/Jaya Sakti), sedangkan komandan yang baru adalah Letkol Inf Bambang Trisnohadi, lulusan terbaik Akmil 1993.

Empati pada rakyat

Sebagai presiden, SBY memang menjadi Panglima Tertinggi TNI, itu yang bisa dijadikan pembenaran bagi SBY bila dia ingin merekrut SDM dari institusi TNI. Posisi selaku Pangti sebenarnya lebih sebagai jabatan simbolis, yang semestinya tidak bisa untuk mengakses langsung perwira-perwira yang akan dijadikan stafnya. Bila SBY bisa melakukannya, itu karena masih begitu kuatnya figur SBY selaku mantan petinggi TNI, yang pengaruhnya masih terasa di jajaran TNI. Meski telah pensiun sejak 10
tahun yang lalu, SBY tak ubahnya masih seorang jenderal aktif.

Masih demikian kuatnya figur SBY di mata TNI mungkin merupakan sinyal bahwa pada saat-saat sekarang, dari TNI belum lahir figur pimpinan yang benar-benar kuat. Tentu kita tidak terlalu berharap akan tampil figur sekuat Jenderal Benny Moerdani seperti dulu, bisa mendekati figur Jenderal Benny saja, rasanya sudah cukup. Seperti yang pernah terjadi pada Jenderal Endriartono Sutarto, saat masih menjabat KSAD (2000-2002), bisa mengimbangi figur presiden saat itu (Gus Dur).

Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, itu sebabnya senantiasa dibutuhkan figur yang betul-betul kuat untuk memandu TNI mengarungi pusaran waktu. Tantangan zaman sekarang terbilang kompleks, antara lain masalah rendahnya kesejahteraan prajurit yang seolah tidak ada solusinya, kronisnya soal alutsista, provokasi negara tetangga, terorisme global dan seterusnya. Tentu akan lebih baik bila masalah-masalah seperti itu bisa diatasi pimpinan TNI sendiri, tidak perlu tergantung pihak eksekutif (baca: presiden).

Figur kuat identik dengan karisma. Tidak setiap jenderal memiliki karisma. Setiap perwira bisa mencapai derajat pati, tapi bukan berarti karisma bisa secara otomatis dia peroleh. Mungkin lebih baik bila fenomena ini dijelaskan dengan mengambil contoh. Dalam sejarah mutakhir TNI, setidaknya ada tiga figur TNI yang secara meyakinkan memang karismatik. Selain Jenderal Benny yang sudah disebut, dua lainnya adalah Jenderal M Yusuf dan Letjen Dading Kalbuadi. Orang awam pun bisa merasakan bahwa ketiga jenderal tersebut memang berbeda jika dibandingkan dengan yang lain.

Apa yang dikatakan Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu, dalam acara buka puasa bersama di Yonif Linud 305/Tengkorak (Karawang), awal September lalu, bisa dijadikan bahan renungan bersama. Dalam kesempatan tersebut, Ryamizard kembali mengingatkan jati diri TNI, yang selalu dekat dengan rakyat. Mantan KSAD tersebut juga mengingatkan, agar anggota TNI berempati pada rakyat, terlebih di masa sulit seperti sekarang. Benar apa yang diingatkan Jenderal Ryamizard tersebut soal empati pada rakyat merupakan hal yang fundamental dalam membentuk figur yang karismatik. Bila seorang pemimpin jauh dari rakyatnya, setidaknya anak buahnya bila di lingkungan TNI, rakyat (atau anak buahnya) pada gilirannya juga menafikan keberadaan pemimpin tersebut.

Opini Media Indonesia 5 Oktober 2009

Oleh Aris Santoso, Pengamat TNI