Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, ragam ranah dan bentuk kurikulum telah diperkenalkan dan digunakan di sekolah-sekolah kita. Dari mulai CBSA (cara belajar siswa aktif), KBK (kurikulum berbasis kompetensi), hingga yang terakhir adalah KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan). Beragam metode dan pendekatan dalam mengajar pun diperkenalkan kepada para guru kita, mulai dari belajar aktif, pembelajaran kontekstual, hingga multiple intelligences. Semua melalui proses yang sama, yaitu surat keputusan menteri yang mengatur segala-galanya.
Dengan dalih sebagai acuan, juknis, juklak, hingga SOP (standard operation procedure), keputusan-keputusan dan peraturan menteri pendidikan soal kurikulum sangat berbau anggaran, mulai dari untuk sosialisasi, penataran tentang kurikulum yang tak pernah selesai, hingga program sertifikasi yang membuat bingung para guru karena terlalu banyak instruksi mengajar sehingga otak mereka penuh dengan aturan main yang mematikan daya kritis dan kreativitas. Hampir dapat dipastikan bahwa baik Kementerian Pendidikan maupun Agama tak pernah serius menyelesaikan persoalan hiruk pikuk kurikulum, bahkan hingga terjadi pergantian menteri sekalipun masalah ini selalu meninggalkan pekerjaan rumah bagi calon menteri baru.
Salah satu kesalahan mendasar Mendiknas dalam mengelola urusan kurikulum adalah ketiadaan assessment yang komprehensif tentang daya dukung sarana-prasarana sekolah serta tingkat kemampuan para guru dalam memahami makna kurikulum. Hal lain yang juga memilukan hati adalah miskin dan lemahnya perangkat birokrasi dan aparatur yang paham makna kurikulum dalam sebuah proses pendidikan. Akibat terburuknya adalah pemborosan uang negara yang berlebihan demi sebuah program baru, sosialisasi baru, penataran baru, buku baru, dan sarana pendukung yang juga baru.
Sejarah pendidikan kita amat lemah dalam meyakini dan mendistribusi gagasan baru hingga ke tingkat akhir (selesai). Jika kita bertanya kepada jutaan guru di Indonesia saat ini, mana di antara produk gagasan kurikulum yang telah disosialisasi dan ditatarkan kepada mereka yang lebih menguntungkan proses belajar-mengajar anak-anak di sekolah, mayoritas jawabannya pastilah mereka tak paham. Sejauh pengamatan Edu, dengan begitu sering dan banyaknya nomenklatur tentang kurikulum diperkenalkan, proses belajar-mengajar tetap statis, stagnan, dan miskin inovasi. Hasilnya? Hampir tak ada keterkaitan (alignment) antara kurikulum yang tertulis dan sistem evaluasi (test) yang dilakukan. Apalagi dengan sistem evaluasi semacam ujian nasional yang jelas-jelas tak menghormati kebebasan guru dalam melaksanakan desain kurikulum yang mereka kehendaki.
Sudah sepantasnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan perubahan desain kurikulum yang selalu berganti. Konsistensi dalam kebijakan soal kurikulum akan membuat guru dan siswa memiliki waktu yang cukup dalam menyelesaikan proses belajar-mengajar yang berorientasi pada kualitas sehingga keterkaitan antara kurikulum tertulis dan hasil yang baik (alignment of curriculum) menjadi lebih sepadan. KTSP yang saat ini menjadi acuan para guru harus memperoleh ruang dan waktu yang cukup untuk dibuktikan melalui serangkaian proses belajar-mengajar yang baik dan benar.
Pemerintah harus terus memacu manajemen sekolah untuk mengembangkan prinsip dasar KTSP melalui serangkaian kegiatan yang memungkinkan sekolah merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihannya (school mapping), menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan siswa (objectives and lesson design), memperbaiki sistem pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence), serta membuat rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran dan manajemen sekolah secara efektif-komprehensif (Jackson 1992).
Penting untuk diajarkan kepada setiap sekolah konsep dasar deep curriculum alignment, di mana para guru dalam melakukan proses belajar-mengajar tidak hanya mengejar target untuk ujian semata, tetapi mempersiapkan kemampuan siswa yang jauh lebih dari itu. Salah satu keunggulan dari prinsip dasar deep curriculum alignment adalah, bahwa ketika dilakukan evaluasi atau test, guru dapat memberikan gambaran secara utuh tentang jarak (gap) antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. Semoga saja Mendiknas mendatang tak ikut latah untuk selalu mengubah kebijakan soal kurikulum ini.
Opini Media Indonesia 29 September 2009
Oleh Ahmad Baedowi