Ungkapan meminta dan memberi maaf secara massif menandai makna Bada Kupat, dan secara simbolik diilustrasikan dengan penyediaan dan penyajian
kupat-lepet kepada tamu yang berkunjung.
Orang Jawa mengenal tiga ’’hari raya’’, yaitu Bada Besar, Bada Gedhe, dan Bada Kupat. Bada Besar. Kadang disebut juga Hari Raya Haji, menunjuk pada Idhul Adha (10 Dzulhijjah). Bada Gedhe, atau terkadang disebut Hari Raya Lebaran, adalah istilah lain dari Idul Fitri. Sementara Bada Kupat disebut juga Bada Syawal adalah hari raya yang merujuk pada tanggal 8 Syawal. Seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.
Kata ’’bada’’ sinonim dengan kata ’’lebar’’. Bada adalah pelafalan lidah Jawa atas kata ”bakda” (bhs. Arab). Namun demikian, istilah ’’lebaran’’ hanya diacukan pada Idul Fitri. Mengapa? Karena orang Islam secara massif berlebaran atau menyudahi atau ’’selesai dari’’ menjalankan puasa Ramadan selama sebulan.
Dalam praktiknya, istilah bakda (baca: bada) menunjuk pada waktu yang besar atau yang dibesarkan yang perlu diperingati terutama oleh orang Islam. Karena itu, secara sosiologis, istilah itu diduga muncul pertama kalinya dari komunitas santri.
Pada komunitas santri, terdapat tiga sel yang saling menghidupi, yaitu santri dalam arti pelajar di pesantren; kiai (guru di pesantren); dan pranata keagamaan yang disosialisasikan dalam dunia pesantren. Di komunitas pesantren itulah kiai men-sunnahmuaqqod-kan para santri untuk melakukan tambihus-syiam, yaitu puasa syawal.
Kalau puasa Syawal itu dikerjakan, maka kepadanya dijanjikan ampunan atas kesalahan (dosa) yang dilakukan setahun lalu. Ampunan Tuhan adalah urusan hablum minallah. Urusan sesamanya, yang disebut hablum minan-nas, juga harus diselesaikan. Jika keduanya dapat dijangkau dengan sempurna, maka ungkapkan kata: ’’Minal a’idin wal faidzin’’.
Kata ’’sempurna’’ atau ’’penyempurnaan’’ dalam bahasa Arab disebut kaffaat atau kaffatan. Dalam lidah Jawa, kata itu dilafalkan ’’kupat’’ atau ’’kupatan’’. Ini adalah dugaan awal mengapa pada tanggal 8 Syawal disebut Bada Kupat.
Kerabat dan Guru
Pada pada saat Bada Kupat ini, mereka baru bersilaturrahim kepada kerabat dan gurunya. Dari ujung ke ujung atau berkunjung sehingga kegiatan bersillaturahim ini diberi istilah ’’ujung’’.
Ada dua tujuan inti dari Ujung. Yang pertama, meminta maaf atau berharap untuk bisa saling memaafkan. Yang kedua, memohon (ngalap berkah) terutama dari guru atau kiai dan dari kerabat yang dituakan.
Ungkapan meminta dan memberi maaf secara massif menandai makna Bada Kupat, dan secara simbolik diilustrasikan dengan penyediaan dan penyajian kupat-lepet kepada tamu yang berkunjung.
Dalam konteks ini, kupat-lepet sebagai ungkapan mengaku lepat atau luput. Pengakuan demikian penting karena itu kata kupat jika ditarik ke ranah filosofi Jawa bisa bermakna ’’nyukupke kang papat’’ (melengkapi empat hal), atau ’’laku kang papat’’ (melakukan empat hal). Keempat hal itu ialah (1) puasa Ramadan selama sebulan, (2) membayar zakat fitri, (3) shalat Id, dan (4) puasa enam hari pada bulan syawal.
Alur kognitif seperti itu dilakukan pada tanggal 8 Syawal sehingga untuk menandai semua hajat simbolik demikian disebut Syawalan. Di berbagai daerah, terutama di Jawa Pesisiran Utara, terdapat dua model bagaimana mengekspresikan ’’hari kemenangan’’ Syawalan.
Pertama, dalam bentuk pesta yang tidak terkait dengan napas keagamaan seperti pesta lomban di laut sebagaimana yang ditradisikan di Demak, Jepara, dan Rembang.
Dan yang kedua justru dinapasi oleh aura keagamaan, dengan melakukan berkunjung (baca: ziarah) ke makam leluhur seperti ke makam Kiai Sholeh Darat di Semarang, atau ke makam Kiai Asy’ari (dikenal Kiai Guru) di Kaliwungu Kendal.
Ziarah ke makam penyiar Islam seperti itu, tidak didasarkan atas kesamaan waktu haul (ulang tahun kematian) tokoh yang bersangkutan, melainkan secara antropologis lebih didasarkan pada kewajiban etis santri berkunjung kepada Sang Guru usai menjalankan puasa tambahan (puasa Syawal).
Kewajiban berziarah seperti itu bertolak pada konsep guru di kalangan santri itu sendiri. Di kalangan santri, istilah guru, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, tetap ditempatkan sebagai ’’gurunya’’. Karena itu pula, di kalangan santri, tidak ada dan tidak dikenal istilah ’’mantan’’ guru.
Para santri yang kemudian membangun pesantren di daerah asal, yang berarti pula yang bersangkutan kemudian menjadi kiai sekaligus tokoh agama, memiliki santri dan umat seputarnya. Mereka, mengajak santri-santrinya untuk berziarah ke makam guru atau kiainya dalam waktu yang bersamaan, yaitu pada sekitar tanggal 8 Syawal.
Pola seperti itu, lambat laun berjalan secara massal, dan diikuti oleh puluhan ribu orang sebagaimana yang terjadi pada acara Syawalan di Kaliwungu Kendal. Inilah awal dari tradisi berziarah dan ziarah yang ditradisikan.
Efek seperti itu, tentu saja mengundang berbagai pihak (seperti para pedagang musiman dan penjaja permainan dengan segala hiruk-pikuknya). Syawalan menjadi semacam ’’pasar akbar’’ ketika masing-masing orang melakukan sejumlah transaksi, baik transaksi ekonomi, transaksi sosial, transaksi budaya, dan keberagamaan. (80)
Wacana Suara Merdeka 28 September 2009
—Prof Dr Mudjahirin Thohir, antropolog Undip.