KALIWUNGU tak pernah bisa dilepaskan dari potret tradisi Syawalan di Jateng. Seperti di kota-kota Jawa Tengah lainnya, masyarakat Kaliwungu masih kental menganut tradisi Syawalan.
Setiap tahunnya, tujuh hari setelah Idul Fitri tradisi ini dirayakan. Tradisi Syawalan bagi masyarakat merupakan acara puncak perayaan Idul Fitri. Sejarah Syawalan di Kaliwungu bermula dari ziarah kubur yang hanya dilakukan di makam Kyai Guru ( Kyai Asy’ari) oleh keluarga dan keturunan beliau. Maksudnya untuk mendoakan Kyai Asy’ari yang telah wafat.
Namun kemudian diikuti oleh sebagian besar masyarakat muslim Kaliwungu sebagai penghormatan memeringati wafatnya Kyai Asy’ari. Hingga sekarang menjadi sebuah tradisi. Bahkan kini objek lokasi ziarah melebar bukan hanya kepada makam Kyai Asy’ari tetapi juga ke makam Sunan Katong, Pangeran Mandurarejo, dan Pangeran Pakuwaja. Belakangan para peziarah merambah juga berziarah ke makam Kyai Mustofa, Kyai Musyafa’, dan Kyai Rukyat.
Tradisi ziarah biasa dipimpin oleh ulama-ulama besar dari Kaliwungu. Diikuti para santri dan juga masyarakat amum yang datang dari berbagai daerah. Biasanya agenda acara ritual ini adalah pembukaan, pembacaan riwayat hidup singkat Kyai Asy’ari, pembacaan Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, Al-An-Nas dan tahlil, dan doa untuk para arwah leluhur, ulama yang dimakamkan di pemakamman Protomulyo dan Kutoharjo.
Puncak dari acara syawalan ini adalah prosesi penggantian ’’Luwur’’ (Klambu) penutup makam Kyai Asy’ari. Nisan setinggi satu meter milik Kyai guru yang selalu ditutup klambu putih inilah yang setiap bulan syawal diganti dengan yang baru. Kemudian yang lama disimpan di masjid Al-Muttaqin Kaliwungu. Bagi sebagian besar masyarakat percaya bahwa klambu tersebut dikeramatkan. Makam Kyai Asy’ari satu kompleks dengan makam Sunan Katong.
Yang sering disebut jabal kidul. Bangunan makam ini merupakan bangunan paling mewah di kompleks pemakamam ini. Ukurannya 16 x 20 meter dan berlantai keramik.
Setelah ritual ini selesai, biasanya, di malam harinya para peziarah umum dari pelosok Kendal, dan berbagai kota yang jumlahnya hingga puluhan ribu berdatangan. Selama lima hari, siang malam membaca surat Yasin dan tahlilan secara bergantian. Selain makam Kyai Asy’ari, makam Sunan Katong juga selalu dibanjiri para peziarah.
Banyak peziarah mendatangi makam para leluhur tersebut untuk mengharapkan barokah. Termasuk meminta dilancarkan segala usahanya, dinaikkan pangkat dan jabatannya, dilariskan dagangannya.
Dari kenyataan ini, banyak masyarakat akhirnya salah mengartikan makna dari ziarah kubur. Yang mulanya hanya untuk mendoakan para leluhur, kini doa-doa yang dipanjatkan, juga surah-surah Alquran yang dilafalkan berubah arti menjadi sesuatu alat untuk mengharapkan berkah duniawi.
Banyak masyarakat yang salah mengartikan tradisi ini. Tradisi Syawalan bagi mereka dirasa sebagai suatu ibadah. Sekarang yang terjadi bukan agama yang ditradisikan tetapi tradisi yang diagamakan. Apalagi kalau mereka sampai mengagumi sosok kesalehan para leluhur tersebut dan meyakini bahwa para leluhur dapat memberikan berkah, rejeki, dan keselamatan. Ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Tradisi yang seperti ini dapat mengurangi keyakinan kita akan ketauhitan Tuhan dan termasuk dari perbuatan syirik. Orang yang mengharap sesuatu dengan melakukan ritual seperti itu termasuk orang yang merugi karena mereka menempuh jalan yang sesat. Menyekutukan Allah yang merupakan dosa terbesar.
Di lain hal, memegah-megahkan makam seseorang, sekalipun itu makam nabi dan orang saleh merupakan suatu perbuatan yang berlebih-lebihan. Termasuk memberikan dan mengeramatkan pernak-pernik pada makamnya. Sesungguhnya Allah akan memberikan ancaman bagi orang yang berlebih-lebihan. Seperti yang diterangkan dalam surah At-Takaatsur:1-8.
Tradisi syawalan di Kaliwungu selain dijadikan sebagai ibadah yang keliru juga dijadikan sebagai kegiatan yang bersifat hiburan. Adanya peziarah yang begitu banyak mengundang para pedagang dan juga jasa hiburan untuk mengais rezeki.
Di sepanjang jalan dari pasar sore, para pedagang, jasa hiburan dan mereka masyarakat penikmat hiburan berjubel memadati jalan. Semakin tahun semakin padat dan tidak karuan. Tradisi yang berlangsung selama kurang lebih satu minggu itu sering sekali menimbulkan kemacetan lalu lintas dan juga tindakan kriminal seperti pencopetan. (80)
Wacana Suara Merdeka : 28 September 2009
—Putri Narita Pangestuti, mahasiswa Matematika Universitas Negeri Semarang