Prof Carunia Mulya Firdausy PhD
Profesor Riset Bidang Ekonomi LIPI
Wakil  Presiden Boediono dalam pengarahannya pada Rakernas Asosiasi Pemerintah  Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pada awal Desember 2010 lalu  menyatakan, komitmen untuk mengurangi kemiskinan secara nasional jangan  dijadikan sekadar bermain-main dengan angka statistik, tetapi harus  benar-benar diwujudkan dalam bentuk tercapainya kesejahteraan. Oleh  karena itu, sangat penting upaya untuk terus-menerus meningkatkan  pertumbuhan secara regional dengan program infrastruktur, peningkatan  investasi, dan lainnya agar tercapai penurunan angka kemiskinan.
Pernyataan  Wapres Boediono tersebut, menurut saya, mengandung empat pesan  substantif. Pertama, kemiskinan jangan diukur hanya dengan angka. Kedua,  angka penduduk miskin
'haram' hukumnya untuk dimanipulasi. Ketiga,  program anti kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung harus  dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dan keempat, pencapaian kesejahteraan  harus menjadi tujuan dan bukan sebatas 'hapus'-nya kemiskinan. 
Untuk  tiga pesan yang disebutkan di atas, tentu bukan merupakan pernyataan  baru. Pasalnya, angka statistik khususnya, bukan merupakan indikator  'hidup' untuk menjelaskan tingkat kedalaman parahnya kemiskinan di satu  pihak dan proses pemiskinan masyarakat miskin di pihak lain. Yang baru,  menurut saya, adalah pesan keempat.
Pesan ini mengandung arti  bahwa capaian pembangunan harus diarahkan pada pencapaian kesejahteraan  masyarakat dan bukan sebatas hilangnya kemiskinan. Jika benar pesan yang  dimaksudkan Wakil Presiden demikian, pikiran pemerintah seperti ini  menunjukkan suatu kemajuan yang perlu diacungi empat jempol. Cuma  persoalannya, bagaimana mungkin capaian kesejahteraan diperoleh,  sementara cara pengukurannya masih menggunakan garis kemiskinan (GK)  absolut yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS)?
Kritik GK Absolut
Garis  kemiskinan (GK) absolut sudah sejak lama dikritisi. Kritik utamanya,  ukuran ini hanya merefleksikan ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan hidup  yang paling dasar manusia (butsarman) saja. Namun, anehnya, pemerintah  tidak pernah melakukan perubahan substantif. Kalaupun ada, perubahan  yang dilakukan masih terbatas pada penyesuaian tingkat harga kebutuhan  dasar makanan dan bukan makanan yang berlaku. Padahal, kemiskinan harus  pula mencakup dimensi lain, seperti tidak adanya kesempatan (lock of  opportunity), rendahnya kapabilitas (low capability), adanya keadaan  tidak aman (insecurity), dan ketidakberdayaan (World Development Report,  2000).
Memang benar, pengukuran kemiskinan dengan mengadopsi  dimensi-dimensi di atas dipastikan memperbesar jumlah orang miskin  sehingga memiliki dampak sosial ekonomi dan politik menjadi negatif.  Dampaknya antara lain tidak saja berpengaruh pada keenganan investor  asing dan domestik menanamkan modalnya dan atau memperluas usaha, tetapi  juga dapat merongrong keberadaan rezim yang berkuasa. Apalagi, dalam  era reformasi ini, kecenderungan untuk memberi kritik lebih besar  daripada memberikan solusi.
Namun begitu, harus juga diakui,  adopsi garis kemiskinan yang lebih luas cakupan dimensinya memiliki  banyak keuntungan. Selain memotivasi kita untuk lebih bekerja keras dan  cerdas, juga dapat berdampak pada perbedaan kebijakan yang akan diambil  dalam usaha pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, penggunaan GK  absolut yang digunakan BPS selama ini harus ditinggalkan. Lantas,  bagaimana menguantifikasi GK yang mengadopsi dimensi ekonomi dan  nonekonomi di atas?
Tidak mudah
Memang tidak  mudah untuk menguantifikasi GK yang mampu menangkap seluruh dimensi  ekonomi dan nonekonomi kemiskinan. Alasannya jelas, yaitu menyangkut  adanya pengubah nonekonomi yang tidak dapat dikuantifikasi secara  konkret (kecuali dengan proxy).
Dalam literatur pun, metode  penetapan GK masih terbatas pada tiga pendekatan, yakni absolut,  relatif, dan subjektif. Kalau pendekatan absolut mematok GK pada tingkat  hidup (diukur dari pendapatan atau pengeluaran) per kapita berada di  atas atau di bawah kebutuhan hidup yang paling dasar (makanan dan  nonmakanan), sementara GK relatif mendasarkan ukurannya pada apakah  tingkat hidup seseorang (diukur dari pendapatan atau pengeluaran) yang  berada di atas atau di bawah tingkat pendapatan atau pengeluaran  masyarakat tempat seseorang tersebut tinggal, sedangkan GK subjektif  mengukur kemiskinan pada persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. 
Dalam  konteks mewujudkan capaian kesejahteraan yang disampaikan Wakil  Presiden dan sulitnya melakukan kuantifikasi terhadap dimensi nonekonomi  kemiskinan, GK relatif merupakan pilihan terbaik untuk menggantikan GK  absolut. Bahkan, GK relatif ini juga telah lama dipakai di negara-negara  maju dalam usaha menghapus penyakit kemiskinan, sedangkan GK subjektif  tidak tepat karena ukuran itu bersifat subjektif sehingga memiliki  keterbatasan dalam keterbandingan antarwaktu dan antargolongan  masyarakat dan kurangnya data survei yang dapat dipercaya (Asra, 2010).
Oleh  karena itu, keberanian untuk mengambil keputusan ekonomi dan politik  dengan menggunakan GK relatif sebagai pengganti GK absolut sudah saatnya  dilakukan. Pasalnya, tidak saja untuk lebih memicu komitmen dan  keseriusan pejabat di pemerintah pusat dan kepala daerah, tetapi juga  untuk memacu para pihak yang berkepentingan lain di masing-masing daerah  untuk terlibat dalam program tersebut khususnya dalam upaya making  decentralization works for the poor.
Tanpa keberanian tersebut,  keyakinan kita untuk mencapai komitmen Millenium Development Goals  (MGDs) mengurangi penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015  dan apalagi memiliki peluang masuk dalam kelompok 10 besar perekonomian  dunia pada 2025 akan merupakan isapan jempol semata. Bukankah Indonesia  tidak pernah bermimpi menjadi negara yang demokratis? Namun, dengan  keberanian para pemimpin, mimpi tersebut kini menjadi kenyataan. Lantas,  mengapa tidak dengan penggantian garis kemiskinan ini? Insya Allah.
Opini Republika 8 Januari 2011
09 Januari 2011
Kemiskinan Absolut Harus Ditinggalkan
Thank You!