09 Januari 2011

» Home » Opini » Republika » Kemiskinan Absolut Harus Ditinggalkan

Kemiskinan Absolut Harus Ditinggalkan

Prof Carunia Mulya Firdausy PhD
Profesor Riset Bidang Ekonomi LIPI

Wakil Presiden Boediono dalam pengarahannya pada Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pada awal Desember 2010 lalu menyatakan, komitmen untuk mengurangi kemiskinan secara nasional jangan dijadikan sekadar bermain-main dengan angka statistik, tetapi harus benar-benar diwujudkan dalam bentuk tercapainya kesejahteraan. Oleh karena itu, sangat penting upaya untuk terus-menerus meningkatkan pertumbuhan secara regional dengan program infrastruktur, peningkatan investasi, dan lainnya agar tercapai penurunan angka kemiskinan.

Pernyataan Wapres Boediono tersebut, menurut saya, mengandung empat pesan substantif. Pertama, kemiskinan jangan diukur hanya dengan angka. Kedua, angka penduduk miskin
'haram' hukumnya untuk dimanipulasi. Ketiga, program anti kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dan keempat, pencapaian kesejahteraan harus menjadi tujuan dan bukan sebatas 'hapus'-nya kemiskinan.

Untuk tiga pesan yang disebutkan di atas, tentu bukan merupakan pernyataan baru. Pasalnya, angka statistik khususnya, bukan merupakan indikator 'hidup' untuk menjelaskan tingkat kedalaman parahnya kemiskinan di satu pihak dan proses pemiskinan masyarakat miskin di pihak lain. Yang baru, menurut saya, adalah pesan keempat.

Pesan ini mengandung arti bahwa capaian pembangunan harus diarahkan pada pencapaian kesejahteraan masyarakat dan bukan sebatas hilangnya kemiskinan. Jika benar pesan yang dimaksudkan Wakil Presiden demikian, pikiran pemerintah seperti ini menunjukkan suatu kemajuan yang perlu diacungi empat jempol. Cuma persoalannya, bagaimana mungkin capaian kesejahteraan diperoleh, sementara cara pengukurannya masih menggunakan garis kemiskinan (GK) absolut yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS)?

Kritik GK Absolut

Garis kemiskinan (GK) absolut sudah sejak lama dikritisi. Kritik utamanya, ukuran ini hanya merefleksikan ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar manusia (butsarman) saja. Namun, anehnya, pemerintah tidak pernah melakukan perubahan substantif. Kalaupun ada, perubahan yang dilakukan masih terbatas pada penyesuaian tingkat harga kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang berlaku. Padahal, kemiskinan harus pula mencakup dimensi lain, seperti tidak adanya kesempatan (lock of opportunity), rendahnya kapabilitas (low capability), adanya keadaan tidak aman (insecurity), dan ketidakberdayaan (World Development Report, 2000).

Memang benar, pengukuran kemiskinan dengan mengadopsi dimensi-dimensi di atas dipastikan memperbesar jumlah orang miskin sehingga memiliki dampak sosial ekonomi dan politik menjadi negatif. Dampaknya antara lain tidak saja berpengaruh pada keenganan investor asing dan domestik menanamkan modalnya dan atau memperluas usaha, tetapi juga dapat merongrong keberadaan rezim yang berkuasa. Apalagi, dalam era reformasi ini, kecenderungan untuk memberi kritik lebih besar daripada memberikan solusi.

Namun begitu, harus juga diakui, adopsi garis kemiskinan yang lebih luas cakupan dimensinya memiliki banyak keuntungan. Selain memotivasi kita untuk lebih bekerja keras dan cerdas, juga dapat berdampak pada perbedaan kebijakan yang akan diambil dalam usaha pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, penggunaan GK absolut yang digunakan BPS selama ini harus ditinggalkan. Lantas, bagaimana menguantifikasi GK yang mengadopsi dimensi ekonomi dan nonekonomi di atas?

Tidak mudah

Memang tidak mudah untuk menguantifikasi GK yang mampu menangkap seluruh dimensi ekonomi dan nonekonomi kemiskinan. Alasannya jelas, yaitu menyangkut adanya pengubah nonekonomi yang tidak dapat dikuantifikasi secara konkret (kecuali dengan proxy).

Dalam literatur pun, metode penetapan GK masih terbatas pada tiga pendekatan, yakni absolut, relatif, dan subjektif. Kalau pendekatan absolut mematok GK pada tingkat hidup (diukur dari pendapatan atau pengeluaran) per kapita berada di atas atau di bawah kebutuhan hidup yang paling dasar (makanan dan nonmakanan), sementara GK relatif mendasarkan ukurannya pada apakah tingkat hidup seseorang (diukur dari pendapatan atau pengeluaran) yang berada di atas atau di bawah tingkat pendapatan atau pengeluaran masyarakat tempat seseorang tersebut tinggal, sedangkan GK subjektif mengukur kemiskinan pada persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri.

Dalam konteks mewujudkan capaian kesejahteraan yang disampaikan Wakil Presiden dan sulitnya melakukan kuantifikasi terhadap dimensi nonekonomi kemiskinan, GK relatif merupakan pilihan terbaik untuk menggantikan GK absolut. Bahkan, GK relatif ini juga telah lama dipakai di negara-negara maju dalam usaha menghapus penyakit kemiskinan, sedangkan GK subjektif tidak tepat karena ukuran itu bersifat subjektif sehingga memiliki keterbatasan dalam keterbandingan antarwaktu dan antargolongan masyarakat dan kurangnya data survei yang dapat dipercaya (Asra, 2010).

Oleh karena itu, keberanian untuk mengambil keputusan ekonomi dan politik dengan menggunakan GK relatif sebagai pengganti GK absolut sudah saatnya dilakukan. Pasalnya, tidak saja untuk lebih memicu komitmen dan keseriusan pejabat di pemerintah pusat dan kepala daerah, tetapi juga untuk memacu para pihak yang berkepentingan lain di masing-masing daerah untuk terlibat dalam program tersebut khususnya dalam upaya making decentralization works for the poor.

Tanpa keberanian tersebut, keyakinan kita untuk mencapai komitmen Millenium Development Goals (MGDs) mengurangi penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 dan apalagi memiliki peluang masuk dalam kelompok 10 besar perekonomian dunia pada 2025 akan merupakan isapan jempol semata. Bukankah Indonesia tidak pernah bermimpi menjadi negara yang demokratis? Namun, dengan keberanian para pemimpin, mimpi tersebut kini menjadi kenyataan. Lantas, mengapa tidak dengan penggantian garis kemiskinan ini? Insya Allah.
Opini Republika 8 Januari 2011