09 Januari 2011

» Home » Lampung Post » Opini » Seleksi CPNSD dan Roh Pendidikan

Seleksi CPNSD dan Roh Pendidikan

Fadilasari
Alumnus Magister Hukum Unila
Terungkapnya sejumlah kasus kecurangan dalam seleksi calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) di Lampung membuat kita semakin miris. Meski jumlah kasus yang terungkap ke publik sangat sedikit–dibanding kenyataannya, stigma kolusi seleksi CPNSD semakin mendekati kebenaran. Kecurangan itu pun mengungkap modus yang semakin terkoordinasi meski ada "kecerobohan" dalam melakukan kejahatan. Panitia seleksi sudah mulai overconfident melakukan kecurangan karena telah dilakukan secara terorganisasi di tubuh birokrasi. Seleksi CPNSD telah menjadi bisnis yang menggiurkan.
Pada awalnya, kecurangan hanya berbentuk kolusi antarkeluarga pejabat. Namun, dalam perkembangannya kecurangan itu tidak lagi didominasi kerabat pejabat saja, tetapi siapa saja yang memiliki uang. Menyuap untuk menjadi PNS sudah dianggap sebagai hal yang lumrah, bukan lagi kejahatan yang keji. Ada pergeseran cara pandang peserta seleksi PNS yang notabene kaum intelektual muda. Padahal sebagian besar dari mereka baru meraih gelar sajana (fresh graduate).
Selama di dalam kampus para sarjana itu ditempa bertahun-tahun dengan teori perkuliahan, seperti birokrasi yang ideal, sistem hukum yang berkeadilan, dan pentingnya ekonomi berbasis kerakyatan. Para mahasiswa selalu dipacu untuk mendapatkan nilai perkuliahan yang tinggi karena ukuran keberhasilan seorang mahasiswa di kampus adalah cerdas atau tidaknya dia dalam setiap mata pelajaran. Kaum intelektual itu lahir dari proses pendidikan yang panjang.
Lantas, ketika para kaum terdidik ini hendak mencari pekerjaan—dalam hal ini PNS—mereka dihadapkan pada kenyataan praktek curang bin culas. Mereka harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk menyuap agar bisa lolos seleksi. Di sinilah para sarjana tersebut mendapat ujian kejujuran. Kebanyakan mereka kalah dan menjadi bagian dari kerusakan moral. Kaum terdidik larut dan menjadi segendang sepenarian dengan para pejabat korup dan tak berhati nurani.
Sebagian mereka, bahkan ada yang keterlaluan memanipulasi ijazah sarjana agar bisa menjadi PNS. Cara kotor ini seperti dilakukan Sally Budi Utami, yang meski belum lulus Universitas Lampung, bisa lolos seleksi CPNSD. Ada juga yang menggunakan joki seperti Ganda Febriansyah dan Sukarman beberapa waktu lalu. Sangat tidak mungkin jika peserta berbuat curang tanpa ada kerja sama dengan panitia seleksi.
Seleksi CPNSD sebenarnya bisa menjadi evaluasi untuk kinerja dunia pendidikan kita. Sekarang kecurangan seleksi telah mulai merusak sendi-sendi pendidikan yang paling mendasar, yaitu kejujuran. Saat ini bangsa Indonesia benar-benar sedang mengalami krisis kejujuran yang luar biasa. Ketidakjujuran itu justru dipicu oleh orang tua dan para pejabat yang lacur. Jika dibiarkan, dunia pendidikan kita yang sudah terpuruk akan semakin tertinggal dibanding bangsa lain.
Sebuah proses pendidikan semestinya berprinsip pada "pilih tanding" (fastabiqul khairat) dan "pilih banding" (ayyukum ahsana amalan). Para peserta didik, setelah menjalani proses pendidikan yang panjang dan melelahkan, harus memiliki sikap mental “bertanding” untuk menjadi yang terbaik sehingga memiliki unsur pembeda jika “diperbandingkan”. Untuk mengukur seberapa tingkat keberhasilan sebuah pendidikan perlu adanya evaluasi. Evaluasi itu bisa dilakukan berbagai cara, salah satunya dengan melihat kemampuan output (hasil) mengikuti seleksi memperoleh pekerjaan.
Pada seleksi CPNSD beberapa waktu lalu, dua prinsip itu terabaikan. Para lulusan perguruan tinggi yang sudah berjuang menjadi terbaik ketika di bangku kuliah mendapati iklim yang berbeda. Kesuksesan tidak lagi diukur dari kerja keras intelektual, tetapi dengan seberapa dalam isi kantong. Tes potensi akademik yang berisi berbagai macam karakter dan tingkat kesulitan soal bukan untuk menyaring calon pegawai yang mempunyai kemampuan intelektualitas tinggi. Tes itu sebenarnya hanya untuk menyamarkan praktek jual beli kursi pegawai negeri semata.
Dampak praktek curang CPNSD itu jika tidak segera dihentikan akan merusak sistem pendidikan. Semangat belajar di bangku sekolah hingga perguruan tinggi akan turun. Peserta didik tidak lagi menghargai proses belajar yang jujur karena pada akhirnya kecerdasan dan keterampilan akademik tidak lagi dibutuhkan di dunia kerja. Semangat belajar menjadi lemah.
Mungkin dampak ini yang tidak terbayangkan oleh para pejabat korup itu. Atau mungkin saja para penguasa yang saat ini menjabat merupakan produk pendidikan kita yang tidak jujur. Semasa di bangku sekolah mereka biasa berbuat curang, misal menyontek, membolos atau bahkan membeli ijazah. Sekolah hanya menjadi candu. Orang keranjingan masuk sekolah tapi justru melemahkan fisik dan jiwa mereka
Opini Lampung Post 10 Januari 2011