28 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Ketidakseimbangan Global

Ketidakseimbangan Global

BABAK baru resesi ekonomi global mengemuka dengan makin intensnya konflik kepentingan yang kian terbuka antara AS dan China. Kedua negara adidaya itu seperti saling berebut kesempatan untuk eksis di panggung dunia. Bukan itu saja, keduanya kadang saling serang dan memojokkan.

Kita masih ingat, salah satu akar krisis finansial global yang mendera AS dan negara-negara maju adalah akibat fenomena ketidakseimbangan global. Kini, situasinya masih sama sehingga boleh dibilang pemulihan perekomian AS masih terasa lemah. Ibarat orang yang baru sembuh dari sakit, masih sempoyongan karena sebenarnya kekurangan darah. Itulah kondisi pemulihan AS yang dinilai masih kekurangan darah. Karena itu, skenario untuk kembali tergelincir meluncur dalam krisis lagi masih terbuka. AS berpotensi mengalami ‘’double-dip-crisis’’. Artinya, krisis yang diikuti fase pemulihan diikuti oleh krisis kembali, formatnya mirip huruf W.

Lalu apa implikasi dari makin tidak menentunya kondisi perekonomian global bagi Indonesia? Salah satu yang sekarang sangat serius dipantau adalah mengenai derasnya investasi portofolio (jangka pendek) yang membanjir ke pasar keuangan domestik. Ada berkah, tetapi juga potensi risikonya tinggi. Itu adalah persoalan dari situasi yang baik (problem of the fortune).

Fenomena tersebut sering dikenal sebagai ‘’beggar thy neighbour policy’’ atau kebijakan yang mengutamakan kepentingan domestik dengan mengorbankan kepentingan negara lain, khususnya mengenai perdagangan. Kalau Pemerintah AS menuduh China melakukan kebijakan manipulatif dalam hal nilai tukar, sehingga meningkatkan daya saing produk-produk China di pasar global, giliran China yang menuduh AS telah melakukan kebijakan ugal-ugalan dalam mencetak uang.
Cetak Uang Pemerintah AS memang kembali melakukan kebijakan mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah (Quantitative Easing) jilid II. Kebijakan itu masih akan berlanjut di semester I 2011. Perekonomian AS memang benar-benar lumpuh. Setelah kebijakan fiskal dan moneter dikerahkan secara habis-habisan untuk memompa kinerja ekonomi,
situasinya tak juga makin membaik. Suku bunga sudah ditekan sedemikian rendahnya, sebesar 0,25%. Defisit anggaran juga sudah melewati angka keramat 10%. Tapi indeks produksi masih rendah, pengangguran sudah tembus 10%, permintaan rumah tangga masih rendah, dan prospek pertumbuhan masih juga belum maksimal. Tahun ini, AS diprediksi hanya akan tumbuh sekitar 2%-2,5%.

Karena itu, mencetak uang menjadi salah satu andalan untuk memompa kinerja ekonomi. Jika kebijakan itu pun tidak mampu membuat perekonomian bangkit, fenomena tersebut akan menempatkan AS sebagai negara kedua setelah Jepang di era 1990-an yang mengalami fase jebakan deflasi cukup panjang (Japanese deflationary trap).

Negara-negara maju seperti AS memang makin menua perekonomiannya (aging economy). Tandanya, rasio utang terhadap PDB begitu tinggi (di atas 100%), sedangkan usia produktifnya rendah. Dalam situasi seperti itu, beban utang tak lagi bisa dibayar mengingat tingkat produksinya juga akan terbatas. Sementara itu negara-negara berkembang termasuk Brasil, Rusia, India, China, dan Indonesia adalah negara-negara produktif yang masih terus tumbuh.

Itulah fenomena ketidakseimbangan global yang membuat potensi pemulihan perekonomian AS dan negara-negara maju lainnya menjadi makin sulit terjadi. Apa risikonya bagi Indonesia?

Perang mata uang antara China dan AS telah membuat investor asing kocar-kacir. Mereka melakukan sesuatu yang sering disebut sebagai carry trade. Artinya, meminjam modal dalam mata uang yang suku bunganya rendah, misalnya AS, lalu membawa ke tempat lain untuk diinvestasikan dalam mata uang yang memiliki bunga tinggi, contohnya Indonesia. Suku bunga Bank Indonesia (BI rate) masih bertengger di 6,5%, sehingga bisa dibayangkan keuntungan yang diperoleh bagi peminjam uang dolar AS yang hanya membayar bunga 0,25%.

Itulah mengapa arus deras investasi portofolio terjadi pada mata uang rupiah. Akibatnya, nilai tukar terus menguat sehingga mengkhawatirkan para eksportir yang mulai kehilangan daya saing. Sementara itu risiko akan terjadi pembalikan tiba-tiba (sudden reversal) juga tinggi. Jika hal itu sampai terjadi, nilai tukar akan kembali rontok, pasar saham dan obligasi hancur, sehingga menimbulkan kepanikan yang bisa merembet pada instabilitas makro ekonomi.

Guna mengantisipasi hal tersebut, BI telah menyiapkan beberapa skenario. Pertama, cadangan devisa yang mendekati 100 miliar dolar AS dipersiapkan untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua, BI telah memperpanjang jatuh tempo Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 1 bulan menjadi 3 bulan, dan akan dinaikkan terus menjadi 3 bulan dan 9 bulan. Dengan demikian, modal asing masuk tidak bisa begitu saja keluar dengan cepat. Ketiga, BI akan menaikkan giro wajib minimum (GWM) tabungan dolar AS, sehingga cadangan mata uang asing di bank-bank juga meningkat.

Segala upaya terus dilakukan agar hot money tidak bisa leluasa meninggalkan pasar domestik. Pada dasarnya kita telah melakukan kontrol terhadap devisa bebas meskipun secara tidak langsung. Kita berharap, perekonomian Indonesia masih akan terus tumbuh dan justru bisa memanfaatkan arus modal asing jangka pendek pada 2011 untuk meningkatkan kapasitas perekonomian. Misalnya dengan menaikkan penjualan obligasi yang kemudian dimanfaatkan secara efisien. Bukan justru menjadi sisa anggaran (silpa) yang tidak ada gunanya! (29)

- Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya Jakarta

Salah satu akar krisis yang menimpa perekonomian AS adalah defisit neraca pembayaran dan neraca perdagangan yang akut. Sejak China resmi masuk menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada November 2001, nyaris produk-produk AS tak lagi bisa bersaing dengan derasnya impor produk China. Bukan saja AS, hampir semua negara di dunia kewalahan menghadapi produk China yang dari segi harga bisa begitu murah. Di China, isu buruh masih belum mengemuka sehingga untuk menghasilkan produk yang murah para pengusaha menekan ongkos produksi. Selain itu, nilai tukar China juga cenderung lemah sehingga bagi pembeli dari luar negeri terasa begitu murah.

Daya saing China yang luar biasa didukung oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan nilai tukar yang dipatok terlalu rendah, membuat defisit AS makin menjadi-jadi. Salah satu cara AS menutup defisit adalah dengan meningkatkan investasi di pasar finansial. Itulah mengapa gelembung (bubble) keuangan begitu  meluas. Kini, ketika pasar finansial dilanda kekacauan yang dimulai dengan pecahnya gelembung subprime mortgage pada akhir 2007, isu perdagangan dan nilai tukar kembali menghangat.

Pemerintah AS menuduh China telah melakukan kebijakan yang tidak fair dalam hal penentuan nilai tukar. Dengan sengaja Pemerintah China telah membuat nilai tukarnya terlalu lemah, sehingga produk-produknya begitu murah di pasar dunia. China dituduh melakukan dumping terselubung. Tentu saja China menolak mengakui.

Namun, tekanan politik di AS sendiri telah membuat pemerintahan Obama mau tidak mau harus lebih keras terhadap China. Maka, meskipun gagal mengajak negara-negara G-20 dalam pertemuan di Seoul, Korea Selatan bulan lalu untuk ‘’memusuhi’’ China terkait dengan kebijakan nilai tukarnya, AS tetap melakukan gerilya untuk menekan China.
Lebih Frontal China sedikit mengendur atas kebijakannya dengan membiarkan nilai tukar renmimbi sedikit menguat. Itulah fase perang nilai tukar yang mengiringi fase pemulihan ekonomi. Jika kondisi terus memburuk, tidak menutup kemungkinan perang nilai tukar akan berubah menjadi lebih frontal, dalam sebuah perang dagang yang sengit. Sejak krisis finansial, Pemerintah AS menjadi sangat defensif terhadap kepentingan domestiknya secara terang-terangan. Selama ini kepentingan domestiknya dikemas begitu cantik sehingga tidak terlihat.

Waana Suara Merdeka 29 Desember 2010