28 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Garuda Tetap di Dadaku

Garuda Tetap di Dadaku

Kekalahan telak tanpa balas 3-0 Timnas Indonesia oleh Malaysia pada leg pertama memang menyesakkan dada kita semua. Sebab, hal tersebut terjadi di tengah kebanggaan dan euforia masyarakat atas Timnas yang sebelumnya melewati lima laga secara sempurna. Analisis dari pelatih yang menyebut kekalahan Timnas atas Malaysia disebabkan oleh faktor nonteknis memang begitu faktanya. Akan tetapi, bukan hanya sinar laser yang "mengganggu" konsentrasi pemain, melainkan sejumlah agenda yang merusak persiapan PSSI seperti upacara penyerahan bantuan, kunjungan pemain untuk doa bersama, dan seterusnya. Akibatnya, pemain lelah secara fisik dan psikologis dengan serentetan agenda tersebut yang tercermin pada permainan Timnas yang lembek stamina (walaupun tetap menunjukkan perjuangan keras) saat berlaga di Bukit Jalil Malaysia. Kita tidak dapat menyaksikan bagaimana impresif dan kecepatan Timnas seperti saat berlaga di Gelora Bung Karno.
Di saat sulit seperti ini kita tetap mengapresiasi perjuangan dan kontribusi Timnas AFF 2010. Kita harus mengakui bahwa Timnas dalam AFF 2010 telah memberikan atmosfer yang berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya. Atmosfer itu adalah hadirnya rasa kebangsaan atau rasa nasionalisme yang auranya kita rindukan sudah sejak lama. Momentum apa pun selama ini tidak mampu menggugah rasa kebangsaan itu. Rasa kebangggaan dan kebangsaan yang menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat disebabkan beberapa situasi:
Pertama, AFF Suzuki Cup 2010 datang di tengah-tengah memudarnya rasa nasionalisme. Teriakan Indonesia dan garuda di dadaku sebagai dukungan terhadap Timnas menjadi semacam ideologi (Althusser, 1969) yang bekerja membangkitkan rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia. Semua masyarakat kompak dari berbagai kalangan suku, strata sosial, dan agama dengan dua suku kata itu "Indonesia dan garuda di dadaku". Di berbagai negara di dunia, sering kali olah raga khususnya sepak bola dapat menjadi alat untuk mewujudkan ikatan rasa kebangsaan yang kuat. Berbagai konflik di Afrika Selatan dan di tempat lain reda dengan perhelatan sepak bola.
Kedua, Timnas hadir ketika masyarakat merasakan situasi bangsa ini semacam kemiskinan akan kebanggaan baik secara ekonomi dan politik. Terlalu lama krisis ekonomi dan perkembangan budaya politik yang tidak sehat yang menyebabkan kelangkaan idola, kehilangan panutan, dan teladan. Semangat Timnas dengan semangat juang para pemain di lapangan menjadi obat tersendiri atas kekecewaan masyarakat atas situasi Indonesia hari ini.
Ketiga, panggung Timnas sepak bola di AFF yang menunjukkan semangat kompetitif dengan perjuangan keras dan integritas tim menjadi semacam imajinasi dan harapan masyarakat dalam membangun Indonesia ke depan. Selama ini, masyarakat mendambakan dan menunggu pahlawan-pahlawan dalam pembangunan dan kehidupan politik di Indonesia dengan kinerja serta integritas yang mereka tunjukan. Akan tetapi, ekspektasi itu tidak kunjung datang, panggung AFF 2010 memberikan jawaban bahwa masih ada pahlawan-pahlawan untuk bangsa dan masyarakat yang ditunjukkan para pemain nasional kita.
Sekarang dan selamanya
Dengan peluang yang sangat tipis untuk merebut juara dengan kekalahan telak 3-0, bahkan Alfred Riedl menyebut hanya 10 persen, timbul pertanyaan apakah Timnas masih ada yang merawat? Sebab sebelum berangkat ke Malaysia harus diakui banyak pihak yang berharap kepada Timnas dengan menunjukkan dukungan, simpati, dan kehadirannya langsung di Gelora Bung Karno.
Ketika saya menyaksikan secara langsung di Gelora Bung Karno partai pertama perhelatan antara Indonesia dan Malaysia, suara-suara rakyat menyatukan semangat satu bangsa mulai terdengar, walaupun belum sedahsyat partai-partai selanjutnya. Apalagi dalam beberapa menit awal, Indonesia sempat tertinggal satu gol dari Malaysia. Setelah tertinggal satu gol, suasana hening sejenak mengentak suporter Indonesia. Akan tetapi, lambat laun teriakan-teriakan Indonesia dan nyanyian "kebangsaan yang baru" dalam dunia sepak bola, "Garuda di Dadaku", menjadi semacam gizi bagi pemain Indonesia untuk meningkatkan tempo permainan sehingga akhirnya mengganyang Malaysia dengan skor telak 5-1.
Sejak itu, terjadi eksploitasi habis-habisan terhadap Timnas. Kita tidak tahu apakah kelompok atau orang yang mengeksploitasi Timnas di dadanya ada garuda? Hal berbeda dengan dukungan sejati masyarakat yang ikhlas, sukarela, dan penuh pengorbanan benar-benar untuk Timnas. Itulah bedanya rakyat dengan pemilik kepentingan politik.
Akhirnya, tidak perlu disangsikan lagi garuda (Timnas) tetap di dada rakyat, garuda di dadaku, apa pun hasil akhir melawan Malaysia nanti malam. Tunjukkan permainan terbaik. Kita masih berharap Timnas Indonesia juga mampu menjadi juara AFF Suzuki Cup 2010 dengan mengalahkan Malaysia. Namun, kalah atau menang Indonesia dan garuda di dadaku menjadi kebanggaan yang tidak pernah luntur. Bravo Timnas Indonesia, garuda di dadaku! ***
Penulis, kandidat doktor Komunikasi Unpad, suporter Timnas Indonesia.

Opini Pikiran Rakyat 29 Desember 2010