28 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Aktifnya Gunung Bromo

Aktifnya Gunung Bromo

Akhir-akhir ini Gunung Bromo diberitakan meletus dan menyemburkan pasir dan abu yang merusak tanaman di seputar gunung api itu. Letusan yang dimulai pada 23 November itu sampai bulan Desember ini masih berlangsung. Berdasarkan catatan, sejak 1804 Gunung Bromo telah meletus lebih dari lima puluh kali. Masa istirahat bervariasi antara satu tahun sampai delapan tahun. Setiap episode bisa berlangsung dua atau tiga minggu sampai enam bulan. Setiap letusan dalam satu episode pada umumnya berlangsung satu atau dua hari.
"Somma"
Gunung Bromo adalah salah satu dari tujuh pusat letusan di dalam Kaldera Tengger. Ketujuh pusat letusan itu membentuk empat gunung yaitu Gunung Kursi, Gunung Bromo, Gunung Batok, dan Gunung Widodaren. Kaldera Tengger mempunyai garis tengah sekitar sepuluh kilometer. Secara umum, gunung yang tumbuh dalam kaldera dinamakan "somma".
Di antara keempat gunung itu hanya Gunung Bromo yang masih aktif, sedangkan gunung lainnya sudah beristirahat. Material yang dihasilkannya adalah bahan lepas yang didominasi oleh pasir kasar (lapili) dan pasir ukuran kecil. Abu gunung api tidak merupakan produk utama. Ukuran material yang dihasilkan letusan itu memberi petunjuk bahwa tenaga embusannya relatif lemah. Embusan yang lemah seperti itu hanya mampu memproduksi material berukuran pasir. Jarak lemparannya pun hanya di sekitar pusat letusan. Oleh karena itu, di sini menumpuk pasir yang kemudian membentuk kerucut atau dinamakan cinder cone. Demikianlah Gunung Bromo terbentuk sampai mencapai ketinggian dua ratus meter.
Lemahnya tenaga embusan tampak pula dari adanya laut pasir atau "segara wedi". Laut Pasir ini terbentuk sebagai endapan pasir hasil erosi Gunung Bromo dan gunung lainnya dan juga sebagai material jatuhan letusan. Pasir yang dilemparkan seolah-olah ditangkap oleh mulut Kaldera Tengger yang berdiameter sepuluh kilometer itu. Tinggi kolom letusan biasanya kurang dari seribu meter.
Tanda-tanda letusan seperti dikemukakan di atas memberikan indikasi bahwa kegiatan Gunung Bromo merupakan fase penutup atau fase sisa dari rangkaian kegiatan masa lampau. Oleh karena itu, tenaganya relatif kecil. Lemparan tidak terlalu jauh dan dapat ditangkap oleh Kaldera Tengger. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat bahaya Gunung Bromo relatif kecil.
Rangkaian pembentukan Kaldera Tengger dimulai pada 820 ribu tahun yang lalu dengan terbentuknya Kadera Sapikerep, kemudian disusul dengan dua kaldera kembar, yaitu Kaldera Ngadisari dan Kaldera Penjatan pada lebih kurang 150.000 tahun yang lalu. Pada akhirnya terbentuk Kaldera Tengger pada puluhan ribu tahun yang lalu. Sesudah itu disusul dengan pembentukan anak Gunung Tengger yang tumbuh di dalam Kaldera Tengger, yaitu Gunung Kursi, Gunung Widodaren, Gunung Batok, dan Gunung Bromo.
Atraksi turis
Letusan Gunung Bromo yang relatif lemah itu, sering kali menjadi tontonan turis dari jarak yang aman, yaitu dari Cemoro Lawang yang berada lebih dari tiga kilometer dari pusat letusan. Ketinggian Kaldera Tengger lebih kurang 2.100 meter di atas muka laut. Oleh karena itu, udara di sini sangat dingin. Penduduk tidak pernah lepas dari sarung yang berfungsi sebagai jaket penahan dingin. Dari ketinggian ini, pemandangan sangat terbuka, matahari terbit tampak dengan jelas membentuk bola api merah. Di sebelah selatan tampak Gunung Semeru yang selalu menghembuskan asap, seperti orang yang sedang merokok.
Selain keindahan alam, para turis tertarik juga akan keunikan budaya penduduk. Pada masa lampau, penduduk Kaldera Tengger mengisolasi diri sebagai sisa Kerajaan Majapahit. Setiap tahun penduduk menyelenggarakan upacara Yadnya Kasada, yaitu melakukan persembahan kepada Sang Hyang Widi Wasa. Persembahan itu berupa buah-buahan, beras, sayuran, bunga-bungaan, dan juga binatang piaraan yang dilemparkan ke dalam kawah Gunung Bromo. Nama Bromo sering kali dikenal sebagai Brama yang mengingatkan orang akan Brahma atau Brahmana.
Upacara ini mengikuti legenda yang hidup di kalangan penduduk bahwa pada abad ke-15, putri anak Raja Brawijaya dari Majapahit yang bernama Roro Anteng memohon kepada Sang Hyang Widi untuk mendapatkan keturunan. Bersama suaminya, Joko Seger yang seorang Brahma, mereka bermukim di Tengger dan menamakan kawasan itu sebagai Purbawisesa Mangkurat ing Tengger. Permohonan itu dikabulkan dan mereka dianugerahi 24 anak, akan tetapi anak ke-25 yang bernama Kesuma harus dikorbankan dengan cara melemparkannya ke dalam Kawah Gunung Bromo.
Persembahan itu sekarang diganti dengan binatang piaraan, pada umumnya ayam. Di tengah-tengah Laut Pasir terdapat bangunan yang diberi nama Pura Luhur Poten. Dari tempat itu, iring-iringan upacara dimulai. Peserta upacara kemudian menaiki tangga menuju bibir Kawah Gunung Bromo.
Dari kepercayaan yang hidup di kalangan penduduk itu dapat pula disimpulkan bahwa kegiatan Gunung Bromo, setidaknya sejak abad ke-15, tidaklah terlampau membahayakan. Akan tetapi, perlu diwaspadai kemungkinan letusan freatik yang dapat terjadi dengan tiba-tiba terutama pada musim hujan. Letusan semacam ini merupakan letusan yang terjadi karena pembentukan uap yang merupakan persentuhan air hujan dengan panas yang berada di dasar kawah Gunung Bromo. Para pengunjung yang berada di bibir kawah sangat rawan terhadap bahaya letusan ini, seperti letusan freatik pada 2004 yang menewaskan dua orang, satu di antaranya turis asing dan menyebabkan lima lainnya terluka.***
Penulis, Guru Besar Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Bandung.

Opini Pikiran Rakyat 29 Desember 2010