28 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Program KB yang Dilupakan

Program KB yang Dilupakan

Ada 15 program prioritas yang disampaikan Presiden SBY sewaktu melantik kabinetnya sekitar setahun yang lalu. Namun, ada satu hal yang terlupakan: program keluarga berencana.
Setelah hasil sensus menunjukkan bahwa pertambahan penduduk mencapai 4 juta setahun, atau ada tambahan 40 juta jumlah penduduk dibandingkan dengan tahun 2009, barulah pemerintah sadar. Pertambahan 4 juta setahun atau lebih dari 1,3 persen setahun bukanlah masalah kecil. Mereka memerlukan makanan, pakaian, sekolah, rumah, dan pekerjaan.
Menurut Bustanul Arifin dari IPB, pertumbuhan produksi pangan kita hanya sekitar 0,5 persen setahun, tak seimbang dengan pertumbuhan penduduk yang begitu cepat. Ini berarti, pada suatu saat akan terjadi kekurangan pangan di negeri ini sehingga perlu ditutup dengan impor beras terus-menerus.
Lebih menyedihkan lagi, menurut Survei Demografi dan Kesehatan 2007, pertambahan penduduk terbesar terjadi di kalangan miskin, berpendidikan rendah, dan mereka yang tinggal di perdesaan. Berarti, generasi kita mendatang berpotensi dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan dan kurang pendidikan.
Entah mengapa salah satu program terbaik peninggalan Soeharto ini tak diteruskan oleh pemerintahan reformasi. Keberhasilan program KB Indonesia pernah dipuji kalangan internasional dan menjadi rujukan bagi negara berkembang lain. Kini ia pudar dan malah berbalik arah.
Sangat besar rugi akibat melemahnya program KB. Pakar ekonomi dalam pemerintahan SBY tak ada yang seperti Widjojo Nitisastro di masa Soeharto yang mampu melihat risiko beban ekonomi dari pertambahan penduduk yang cepat.
Partai politik
Program KB memang terdegradasi serius sejak reformasi dimulai dan sejak otonomi daerah diberlakukan. Para petinggi politik tak melihat pentingnya program ini. Kemudian di masa pemerintahan SBY jilid I, selain dilupakan, kedudukan BKKBN juga diturunkan dengan menempatkannya di bawah koordinasi menteri kesehatan. Dengan penempatan seperti itu, praktis BKKBN tak bisa bergerak sebelum ada restu menteri kesehatan.
Setelah undang-undang otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung diberlakukan, nasib BKKBN di daerah kian tak menentu. Banyak kantor BKKBN tingkat kabupaten yang ditutup atau digabung dengan instansi lain tanpa ada kejelasan tugasnya.
Banyak pekerja lapangan KB beralih tugas dan ditempatkan di berbagai instansi. Pembagian kontrasepsi diserahkan kepada dinas kesehatan. Dengan mutasi dokter yang cepat di daerah terpencil, kesinambungan program KB kian tak dapat dipertahankan.
Partai politik ikut berkontribusi dalam kemunduran program KB di negeri ini. Kebanyakan partai politik tak mencantumkan program kependudukan sebagai salah satu yang akan diperhatikan bila mereka menang. Orientasi mereka hanyalah tertuju pada bagaimana memenangi kekuasaan.
Dengan kekuasaan DPR yang nyaris tanpa batas, partai politik menentukan apakah suatu program akan dilanjutkan atau tidak. Kemunduran program KB juga diakibatkan oleh pemimpin daerah yang nominasinya dari partai politik.
Pada umumnya, kader partai yang diajukan tak dilihat dari kapasitasnya memimpin pemerintahan sipil dan tak pula dibekali dengan pengetahuan menjadi pemimpin daerah. Pemilihan kader partai yang akan didudukkan di tampuk pemimpin daerah lebih dilihat dari loyalitas kepada partai serta besarnya sumbangan menghadapi pemilihan umum mendatang.
Dalam hal penyusunan program untuk kesejahteraan rakyat dan pelayanan kesehatan, para pemimpin daerah mengandalkan acuan yang diberikan pemerintah pusat. Kepatuhan pada acuan itu berkaitan dengan petunjuk penggunaan dana alokasi khusus.
Jika dalam dana alokasi khusus tidak ada acuan untuk KB, pemerintah daerah pun tak akan menempatkan KB sebagai program mereka. Maka, banyak kantor BKKBN di kabupaten atau kota yang ditutup atau digabung ke instansi lain sesuai dengan selera daerah masing-masing sebab tak ada acuan dari pemerintah pusat. Ada yang menggabungkannya dengan dinas kesehatan, dinas koperasi, atau dinas ketenagakerjaan.
Kesehatan
Ketika dalam pemerintahan SBY jilid I BKKBN ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Kesehatan, kehidupan program KB sangat tergantung kepada sikap menteri kesehatan.
Ketika menteri kesehatan tak menganggap program KB penting dalam sumbangannya terhadap kesehatan masyarakat, terutama kaum ibu dan bermakna besar bagi upaya pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium (SPM), maka yang terpuruk bukan hanya sasaran program KB, tetapi juga sasaran penurunan angka kematian balita dan ibu. Secara teoretis, semakin banyak peserta KB, semakin banyak perempuan yang terselamatkan dari risiko kematian akibat kehamilan.
Hiruk-pikuk mengenai SPM baru muncul di kalangan pemerintah setelah mendekati tahun 2015, tahun SPM. Bergegas kita ingin mengejar SPM di tahun 2015 seperti yang dicanangkan PBB sehingga menimbulkan kesan bahwa kita perlu mengejar SPM demi menjaga citra RI di mata dunia, bukan demi kesejahteraan rakyat Indonesia sendiri.
Di saat seperti itu biasanya pola penyelesaian untuk mencapai SPM jadi tak mendasar dan tak pula berbasis sistem yang jelas. Salah satunya adalah menggratiskan persalinan di semua rumah sakit. Seolah dengan cara itu, angka kematian ibu akibat kehamilan dapat ditekan.
Kembali ke program KB. Ketika kantor BKKBN di daerah dibubarkan, ternyata pihak kesehatan belum sepenuhnya siap mengambil alih peran BKKBN dengan petugas lapangannya dalam memudahkan peserta KB memperoleh kontrasepsi. Dalam beberapa hal terjadi kemunduran: penggunaan kontrasepsi berjangka panjang seperti IUD, implan, dan sterilisasi semakin dipersulit memperolehnya.
Pihak kesehatan dan kalangan profesi kedokteran mensyaratkan bahwa sterilisasi hanya boleh dilakukan di rumah sakit dan oleh dokter spesialis kandungan. Juga dikenai pembayaran sesuai dengan biaya operasi di rumah sakit. Hal ini berbeda dengan masa lalu ketika sterilisasi dapat dilakukan di klinik biasa dan oleh dokter umum yang sudah dilatih.
Kontrasepsi IUD yang dulu dapat dilakukan bahkan oleh bidan suatu saat pernah dilarang karena bertentangan dengan UU Praktik Kedokteran. Di sisi lain banyak dokter umum yang ditempatkan di puskesmas yang tak pernah mendapat pelatihan memasang IUD.
Kebijakan seperti itu membuat kontrasepsi semakin jauh dari jangkauan masyarakat yang memerlukan, terutama mereka yang miskin dan tinggal di perdesaan. Pihak kesehatan ikut berkontribusi dalam mandeknya program KB di Indonesia ini.
Kini batas waktu SPM sudah dekat dan hasil sensus menunjukkan angka pertambahan penduduk yang sangat cepat. Barulah kita semua sibuk. Mengapa tak sejak dulu disusun strategi yang lebih sistematis sehingga tak perlu grubak-grubuk? Buk!
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum PB IDI

Opini Kompas 29 Desember 2010