28 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Pragmatisme Fusi Parpol

Pragmatisme Fusi Parpol

Terkait adanya aturan parliamentary threshold (PT) yang mencapai lima persen, membuat partai-partai politik yang tidak lolos dalam PT pada Pemilu 2009 semakin terjepit posisinya. Di satu sisi mereka ingin tetap eksis, namun di sisi yang lain PT sebesar itu tentu akan sulit dicapai partai politiknya sebab dengan PT yang sebelumnya saja mereka tidak bisa melampaui.

Untuk menyikapi aturan PT yang baru itu, 17 partai politik hendak berfusi atau meleburkan diri menjadi satu partai politik. Ke-17 partai politik itu adalah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI).

Juga, Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Patriot, Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Pelopor, Partai Kasih Demokrasi (PKD), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK).

Dengan disusun oleh 17 partai  politik, partai politik baru itu merasa optimistis bahwa mereka akan mencapai PT bahkan lebih. Dikatakan oleh pengurus PDP, Didi Supriyanto, potensi partai politik baru yang hendak dibentuk, dengan pengalaman Pemilu 2009, mencapai 12 persen. Masing-masing partai politik, bila jumlah anggota DPRD seluruh Indonesia ditotal, mencapai 2.000.

Peningkatan PT ini merupakan sebuah upaya dari pemerintah dan partai-partai besar, seperti PDIP, Partai Golkar, dan PD, untuk menyederhanakan jumlah partai politik yang ada. Pemerintah dan partai-partai besar belajar dari Orde Baru bagaimana dengan hanya tiga partai politik, kehidupan politik menjadi lebih stabil dan terkendali.

Namun, apa yang dilakukan pemerintah dan partai politik besar itu memunculkan sikap pragmatis dan praktis dari partai-partai gurem, untuk tetap eksis, mereka berfusi menjadi satu partai politik. Mereka berfusi dilandasi bukan oleh sebuah ideologi, idealisme, atau cita-cita dasar partai politik, tetapi hanya dilandasi bagaimana dirinya tetap bisa terjun dalam dunia politik yang secara ekonomi dan kekuasaan sangat menjanjikan.

Dampak dari hadirnya partai politik yang bersikap pragmatis dan praktis kelak adalah mereka tidak mempunyai arah atau haluan dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka diikat bukan oleh sebuah ideologi dan idealisme, melainkan kepentingan yang sifatnya jangka pendek, lolos dari PT.

Lain dengan partai-partai politik yang berfusi pada tahun 1973, dengan berdasarkan UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, partai-partai yang senapas melebur menjadi satu. Dari sini partai-partai politik yang berbasis agama Islam, seperti NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), Persatuan Tarbiyah Indonesia, dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), berfusi dalam partai politik yang dinamakan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Demikian pula, partai politik yang mempunyai haluan nasionalis, sekuler, dan non-Islam, juga berfusi dalam satu partai politik yang mereka namakan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai politik penyusun PDI adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.

Dari fusi dengan basis yang sama itulah, corak partai politik di masa Orde Baru sangat jelas, di kanan, tengah, atau kiri. Bisa juga disebut partai pendukung pemerintah dan oposisi. Namun, ketika tidak ada idealisme lagi, kemungkinan partai politik yang disusun oleh 17 partai politik itu arah dan tujuannya tidak jelas sebab di situ ada partai politik yang sekuler, nasionalis, Islam moderat, Islam fundamentalis, Kristen, dan partai politik  yang berlatar belakang profesi.

Ketika ada aspirasi dari masyarakat tentu partai politik yang disusun oleh 17 partai politik dengan ragam ideologi dan agama itu susah dalam menerjemahkan atau memperjuangkan. Misalnya, ketika ada RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional dan RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi, jelas di situ ada sikap pro dan kontra. Yang jelas pro adalah partai-partai politik yang berhaluan Islam dan yang kontra adalah partai-partai politik yang berhaluan sekuler.

Nah bila hal demikian itu terjadi pasca-Pemilu 2014, dan partai  politik yang disusun 17 partai politik itu lolos PT, tentu partai politik yang disusun 17 partai politik itu akan susah mengambil sikap. Sebab, di dalam partai politik yang disusun 17 partai politik itu ada beragam unsur yang sering bertentangan dalam kepentingan politik, baik di parlemen maupun masyarakat.

Namun, halangan itu untuk sementara waktu diabaikan oleh ke-17 partai politik itu. Mereka saat ini berkonsentrasi bagaimana agar partai politik yang dicitacitakan itu lolos verifikasi Pemilu 2014 dan lolos PT. Pragmatisme itulah yang menyatukan mereka.

Mengapa banyak orang berpragmatis ria untuk mendirikan partai politik? Kalau diselusuri kenapa orang ramai-ramai mendirikan partai politik, alasan lain juga dipengaruhi oleh sesuatu hal yang selama ini belum pernah terungkap, yakni faktor kemiskinan dan pengangguran. Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran terbukti pemicu maraknya orang mendirikan partai politik.

Korelasi antara kemiskinan, pengangguran, dan munculnya partai politik itu ada fakta dan data yang mendukung permasalahan itu. Pada 1999, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 23,5 persen, partai politik yang ikut pemilu tahun itu mencapai 48 peserta. 

Saat angka kemiskinan itu dua tahun berikutnya turun menjadi 19,1 persen dan 18,4 persen, partai politik yang ikut Pemilu 2004 juga mengalami penurunan, hanya 24 peserta. Meski pada tahun 2009, angka kemiskinan mencapai sekitar 14 persen, namun jumlah partai politik yang ikut Pemilu 2009, juga masih banyak hingga mencapai 42 peserta.

Kemiskinan di Indonesia yang terlalu lama membelit rakyat membuat mereka apatis dan pesimistis terhadap masa depan. Mereka ingin segera terangkat dari kemiskinan dengan cara yang cepat dan instan. Cara untuk itu jalan yang dirasa paling cepat adalah melalui jalan politik.

Mereka merasa jika sudah mempunyai kekuasaan, harta dan kekayaan akan mudah didapat sehingga pembentukan perwakilan atau cabang partai politik di tingkat provinsi dan kabupaten disambut antusias bahkan menjadi rebutan.

Bukti kemiskinan memunculkan partai politik tidak hanya di Indonesia. Kemiskinan yang melanda Bangladesh membuat peraih Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus mendirikan Partai Nagorik Sakti.

Melihat dari fakta dan angka kemiskinan, pembatasan partai politik dengan sistem PT dan atau dengan undang-undang politik tidak akan terlalu efektif. Partai politik didirikan sebagai upaya agar mereka mempunyai lapangan kerja dan sarana untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.

Opini Republika 29 Desember 2010