28 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Polusi Demokrasi

Polusi Demokrasi

”The flood of money that gushes into politics today is a pollution of democracy” Theodore H White
Kualitas demokrasi perwakilan sangat ditentukan oleh berfungsi atau tidaknya partai politik sebagai institusi penyangganya.
Untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai pelaku demokrasi yang baik, partai politik harus memiliki seperangkat nilai dan prinsip demokrasi universal, baik yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan maupun yang menjadi aturan main internalnya. Salah satu prinsip yang harus dipenuhi oleh partai politik supaya bisa menjadi pilar demokrasi yang kokoh adalah transparansi dan akuntabilitas pada pendanaannya.
Pada pertengahan Desember 2010, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Partai Politik sebagai perubahan atas UU No 2/2008 tentang Partai Politik. Dengan lahirnya UU Partai Politik yang baru, seharusnya ada harapan bagi publik luas untuk melihat wajah demokrasi yang sebenarnya hadir di Indonesia. Namun, berkaca pada substansi pengaturan dana politik, tampaknya masyarakat harus menerima kenyataan bahwa partai politik masih akan cenderung koruptif dan menyimpang dari sistem dan prinsip demokrasi itu sendiri.
Diagnosis atas substansi pengaturan pendanaan politik yang tercantum dalam UU Partai Politik yang baru menunjukkan beberapa kelemahan yang sangat mendasar. Ditilik dari konsep pendanaan politik yang transparan dan akuntabel, meningkatnya sumbangan dari badan hukum dari Rp 5 miliar menjadi sebesar Rp 7,5 miliar dalam satu tahun anggaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c justru menimbulkan potensi bagi partai politik untuk dikendalikan oleh segelintir pengendali modal.
Memperkuat oligarki
Secara ideal, sumbangan dana yang berlaku bagi partai politik seharusnya menggunakan rumus meningkatkan jumlah penyumbang dan memperkecil batas sumbangan maksimal. Dengan banyaknya jumlah penyumbang, secara otomatis jumlah sumbangan bagi partai politik juga meningkat. Hal ini menandakan partai politik telah mendapatkan dukungan real dari masyarakat, sekaligus melepaskan partai politik dari ketergantungan finansial pada sekelompok kecil pemilik modal saja.
Konsep sederhana ini dimaksudkan untuk menghindari pengaruh yang berlebihan dari penyumbang dominan atas kebijakan partai politik, terutama jika kelak berkuasa. Dengan demikian, penerapan prinsip di atas lebih jauh ditujukan untuk memerangi terbangunnya oligarki partai politik.
Kekhawatiran atas semakin menguatnya oligarki partai politik dengan format aturan pendanaan partai politik yang baru tidaklah berlebihan mengingat pada kenyataannya, partai politik masih dianggap sebagai alat kepentingan kuasa modal daripada sebagai representasi politik warga.
Penelitian Transparansi Internasional Indonesia pada tahun 2009 atas praktik transparansi pendanaan politik terhadap tujuh partai politik pendulang suara (Demokrat, PDI Perjuangan, Golkar, PKS, PKB, PAN, dan Hanura) menyimpulkan bahwa seluruh partai politik dalam sampel tidak bersedia memberikan laporan keuangan mereka dengan alasan rahasia. Akses publik yang minim atas laporan keuangan partai politik mengindikasikan dua hal: tiadanya administrasi pembukuan internal yang memadai serta banyaknya sumbangan yang tak dapat dipertanggungjawabkan asal-usulnya.
Laporan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas penyelenggaraan Pemilu 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, dapat menjadi rujukan bagaimana praktik transparansi dan akuntabilitas pendanaan politik—lebih khusus dana kampanye—masih sangat lemah. Dari perhitungan terhadap total sumbangan kampanye yang dilaporkan oleh partai politik kepada KPU, ICW menilai bahwa seluruh partai politik cenderung tak jujur dalam melaporkan seluruh sumbangan yang diterima.
Perhitungan kasar atas total belanja iklan politik di media massa selama masa kampanye 2009 sendiri sudah jauh lebih besar daripada total sumbangan dalam laporan resmi partai politik kepada KPU. Tentu saja jika kemudian ditambahkan dengan belanja kampanye lainnya, seperti pengadaan spanduk, umbul-umbul, kaus, sewa tempat, sewa kendaraan, membayar artis, dan sebagainya, jurang antara penerimaan aktual dan laporan resmi partai politik akan kian membesar.
Penyumbang tak terlacak
Kelemahan mendasar lainnya yang akan membuka peluang bagi terjadinya transaksi politik ilegal dalam tubuh partai politik adalah tiadanya prinsip keterbukaan yang sempurna. Memang dalam Pasal 39 ayat (1) sudah diadopsi ketentuan jika pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Demikian pula, pada ayat (2) pasal yang sama diatur adanya kewajiban mengaudit dan mengumumkan secara periodik pengelolaan keuangan partai politik. Namun, salah satu klausul yang justru menjadi jantung transparansi dan akuntabilitas pendanaan politik—yakni pencatatan, pemeliharaan, dan publikasi atas identitas penyumbang— tidak diatur sama sekali.
Tanpa adanya kewajiban mencatat, memelihara catatan, dan memublikasikan daftar dan identitas para penyumbang, partai politik tidak akan dapat memenuhi kaidah transparansi dan akuntabilitas yang sebenarnya. Pasalnya, jika hanya berbekal pada laporan keuangan hasil audit sebagaimana Pasal 39 atur, jejak para penyumbang sulit diketahui, apalagi diidentifikasi dengan jelas oleh publik. Padahal, kepentingan publik luas atas isu transparansi dan akuntabilitas pendanaan politik adalah mengetahui secara rinci siapa saja yang memberi sumbangan kepada partai politik.
Absennya ketentuan mengenai identitas penyumbang dan kewajiban membukanya kepada publik telah menjadi ancaman yang paling serius bagi terbangunnya praktik demokrasi yang sehat di Indonesia. Gejala bahwa partai politik di(salah)gunakan untuk kepentingan kelompok bisnis tertentu, dengan para pemodal besar yang menduduki jabatan sebagai ketua umum partai sebagai misal, adalah pertanda bahwa masa depan demokrasi di Indonesia masih berada pada lorong gelap. Gelap gulita!
Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW

Opini Kompas 29 Desember 2010