28 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Tak Perlu Ikut Gendang Orang Lain

Tak Perlu Ikut Gendang Orang Lain

PERANG kurs diperkirakan masih akan berlanjut pada 2011. Di balik berbagai cerita perjalanan ekonomi domestik dan global setelah krisis ekonomi global, ada tiga hal yang akan berkontribusi dalam menjaga kesinambungan kegiatan ekonomi.

Ketiga hal itu adalah disiplin kebijakan makroekonomi, keeratan hubungan timbal balik  antara stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam menjaga stabilitas makroekonomi secara keseluruhan, dan koordinasi kebijakan.

Artinya, koordinasi kebijakan tidak hanya dalam skala domestik, namun juga perlu diperluas menjadi skala regional dan global mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi tidak bisa ditangani dan dikelola secara parsial di tiap negara.

Perjalanan perekonomian domestik domestik dan global setelah krisis global  2007-2008 memang penuh dinamika. Pemulihan ekonomi dunia yang multispeed disertai krisis fiskal di Eropa dan respons stimulus yang begitu besar di negara maju banyak mewarnai dunia.

Pada saat yang sama perkembangan ekonomi di emerging market termasuk Indonesia terus meningkat, diikuti peningkatan arus modal masuk yang begitu besar yang antara lain juga merupakan dampak dari perang kurs.

Namun arus modal yang begitu besar patut terus dicermati karena bisa meningkatkan kembali risiko perekonomian. Menurut Direktur Sumber Daya BI David Sugiyono, koordinasi kebijakan terkait dalam memanfaatkan aliran modal masuk perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan risiko.

Pendalaman pasar keuangan dan pembentukan financial safety net mendesak diwujudkan. BI meminta pemerintah menyiapkan dana dalam kerangka pengamanan jaringan keuangan atau financial safety net untuk mengantisipasi kemungkinan arus modal keluar dalam jumlah besar secara tiba-tiba.

Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan Moneter, Hartadi Agus Sarwono, mengungkapkan pemerintah perlu memiliki semacam dana untuk berjaga-jaga jika terjadi sudden reversal (berbalik secara tiba-tiba) arus modal dari dalam negeri yang dapat memicu krisis.
Kepercayaan Dana tersebut mendesak disiapkan agar tingkat kepercayaan, khususnya di pasar modal makin meningkat, terutama investor yang berinvestasi di obligasi dan surat berharga lainnya. Mencegah keluarnya arus modal secara tiba-tiba merupakan salah satu dari tiga pendekatan kebijakan yang harus disiapkan pemerintah dalam menghadapi derasnya arus modal yang masuk belakangan ini.

Dua pendekatan lainnya adalah menerapkan kebijakan makro secara lebih berhati-hati, mengurangi frekuensi lelang SBI, memperpanjang masa jatuh tempo SBI, dan mengalihkan SBI ke instrumen deposito berjangka.

Sebab, derasnya arus modal yang masuk seperti terjadi saat ini jika tidak dikelola secara baik, bisa mengakibatkan ”tsunami” terhadap perekonomian nasional.

Meski begitu, Hartadi belum bisa memperkirakan mekanisme pengumpulan dana, termasuk berapa besar yang harus disiapkan pemerintah untuk program financial safety net tersebut. Sesungguhnya, wacana itu  pernah dibicarakan dengan pemerintah, namun hingga kini belum juga terealisasi.

Dikaitkan dengan kebijakan yang akan diambil, diperlukan suatu kebijakan struktural yang tidak hanya sebatas kebijakan moneter atau fiskal karena situasi di Indonesia acapkali terjadi kelebihan permintaan yang tidak diikuti sisi pasokan.

Kebijakan menghadapi arus modal masuk adalah instrumen lain di luar SBI (jangka menengah-panjang) yang disebut sebagai kebijakan pilar I (putting sand in the wheel). Kebijakan itu berupa pengurangan lelang SBI, penambahan tenor SBI, serta penghapusan tenor SBI jangka pendek.

Pada akhirnya akan terdapat pembatasan minat investor asing (capital inflow) terhadap instrumen moneter (khususnya SBI) sehingga terjadi perpindahan dari SBI ke Surat Utang Negara (SUN) yang lebih bertenor jangka panjang.
Pilar Kebijakan Beberapa indikasi yang masih belum terlihat dan diharapkan akan terlihat adalah perpindahan ke instrumen pasar modal lainnya yang bersifat jangka menengah-panjang. Selanjutnya, kebijakan pilar II (financial deepening to optimize capital flows into productive use) adalah optimalisasi capital inflow pada kegiatan perekonomian yang bersifat produktif.

Sementara itu kebijakan pilar III (preventing the sudden reversal: financial safety net) adalah tindakan yang bersifat preventing (hati-hati) dengan tetap mengedepankan prinsip kehatian-hatian dalam mengelola capital inflow tersebut.

Preventing action untuk menghindari reversal effect, yakni terjadi kontraksi berlebihan pada pasar uang dan pasar modal. BI diwajibkan menjaga kestabilan, salah satunya dengan mengendalikan apresiasi rupiah agar dapat tetap kompetitif dari segi ekspor.

Indonesia sudah membahas pembentukan Global Financial Safety Net sebagai jaring pengaman global bagi negara-negara emerging dalam menghadapi krisis sistemik. Salah satu negara yang sudah menerapkan dan menyiapkan dana pengaman adalah Korea Selatan.
Gubernur BI Darmin Nasution menuturkan meski perang kurs di tingkat global tak berpengaruh terhadap ekonomi nasional, pihaknya tetap menjaga penguatan kurs rupiah agar tidak terlalu kuat. BI juga mempersiapkan langkah antisipasi atas kemungkinan arus balik modal.

Masa pemulihan ekonomi negara-negara berkembang yang lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara maju merupakan pemicu perang kurs pada saat ini. Tingkat suku bunga di negara-negara berkembang yang lebih tinggi mendorong arus modal mengalir keluar dari negara-negara maju.

Aliran modal itu pula yang membuat nilai tukar mata uang negara-negara berkembang menguat. Kenyataan tersebut menimbulkan kekhawatiran negara-negara maju karena daya saing ekonomi mereka menjadi lemah, khususnya  ekspor.

Darmin menegaskan Indonesia belum merasakan dampak perang mata uang di tingkat global pada saat ini, karena sebagian ekspor masih dalam bentuk bahan mentah, sehingga tidak kompetitif.
Dibandingkan dengan negara lain di Asia, penguatan rupiah cukup terkendali. Sejak Januari hingga September 2010 rupiah menguat 5,01%, sedangkan baht Thailand, ringgit Malaysia, dolar Singapura, dan peso Filipina masing-masing menguat 10,25%, 9,04%, 7.02%, dan 6,04%.

Thailand dan Brasil mengenakan pajak atas obligasi dan capital gain agar mata uangnya tidak terlalu kuat, tetapi Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara itu karena menganut rezim devisa bebas..
Farial Anwar berpendapat Indonesia tidak perlu ikut-ikutan terlibat perang mata uang dengan melemahkan nilai tukar rupiah agar produk ekspornya kompetitif. Sebab, itu gendang AS, jadi tak perlu ikut gendang mereka.

Di satu sisi, AS berkepentingan atas depresiasi dolarnya dalam level tertentu, antara lain untuk melindungi industri manufakturnya dari banjir produk impor yang lebih murah. Di sisi lain, AS juga berkepentingan terhadap apresiasi dolar untuk menjaga neraca perdagangan, cadangan devisa, dan inflasinya. 

AS sedang bermain di tengah dua kepentingan itu, dan Indonesia tidak perlu terperangkap di dalamnya. BI harus objektif dan memelihara pergerakan rupiah secara sehat, tidak terdistorsi, dan mengikuti hukum pasar. Terpenting adalah bagaimana menyelamatkan perekonomian nasional. Selama ini BI dan pemerintah selalu berdalih mengupayakan rupiah tidak terlalu kuat agar ekspor tetap terjaga.

Menurut Farial Anwar, itu pemikiran salah kaprah. Seharusnya, BI dan pemerintah tidak hanya mengedapankan kepentingan eksportir. Dasar pertimbangannya seharusnya rakyat banyak dan perekonomian nasional secara keseluruhan.(Budi Nugraha-29)

Wacana Suara Merdeka 29 Desember 2010