28 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » 'Warso' dalam Selamat Tahun Baru

'Warso' dalam Selamat Tahun Baru

Jauh sebelum saatnya, saya mendahului mengucapkan selamat Tahun Baru kepada sohib saya, jurnalis di koran ini, dengan bahasa ibu; sugeng warso enggal. Mendapati kalimat itu, sang pewarta mengaku merasa surprise. Kata dia: "Ada yang lebih dari sekadar arti pada kata warso (tahun)." Diskusi sejenak lewat "angin", saya menangkap esensinya. Maka, tulisan ini lahir.
Arti harfiah dari sugeng warso enggal adalah selamat Tahun Baru pada strata bahasa kromo inggil. Namun, saat kita gunakan “bahasa rasa”, roh dari kata warso bukan sekadar tahun. Warso dalam suasana batin lebih sakral dari sekadar pergantian tahun. Tetapi, meninggalkan tapak tilas di suatu masa yang bersifat unlimited.
Karena sifat yang tak terukur secara fisik itu menjadikan makna warso begitu mendalam dalam arti suasana kebatinan. Pergantian tahun seyogianya bukan dirayakan dengan berhura-hura, nyekek botol (meminjam istilah Zainudin M.Z., diiringi musik cadas, di tempat remang-remang nan mesum, dan maksiat lainnya. Suasana warso justru kebalikan dari ingar bingar lahiriah seperti itu. Suasana warso lebih pada kontemplasi diri, atau mawas diri dengan cara menakar apa yang telah diperbuat pada tahun lampau. Maknawi begini jarang yang mampu menangkap.
Ukuran takaran yang paling jujur adalah hati nurani. Juru takar ini akan memberikan bisikan batin apa yang telah kita perbuat tadi benar atau salah. Dalam konsep pendidikan inilah yang disebut insan kamil itu. Takaran ini begitu lembut, hanya mata batin yang mampu melihat, dan rasa batin pula yang mampu menangkap pancaran surgawi ini. Sayangnya tidak semua kita mampu menangkap sinyal itu. Kita sering terjebak pada cassing, tetapi tidak pernah tahu cassing itu membungkus apa. Sehingga dari tahun ke tahun kita terjebak dengan rutinitas perayaan pergantian tahun, tanpa ada makna yang dapat dipetik.
Rutinitas itu kembali berulang setiap tahun. Pergantian tahun justru merupakan katarsis untuk mengesahkan, bahkan menghalalkan untuk berbuat apa saja malam itu, kepada siapa saja. Tidak ada refleksi justru yang ada aneksasi. Aneksasi yang paling tragis justru dilakukan pada wilayah batin. Dengan alasan menghilangkan tekanan sejenak, lalu berbuatlah apa saja, dengan mengatasnamakan happy. Padahal makna happy yang sesungguhnya adalah rasa bahagia karena masih diberi hidup oleh Sang Pencipta untuk berjumpa dengan tahun yang baru. Bahkan tidak jarang atas nama happy kita mencoba lari sejenak ke “dunia lain dengan cara lain”.
Kita seharusnya mawas diri berapa teman kita yang tidak lagi bersama kita tahun ini. Mereka sudah berpulang mendahului kita. Tahun lalu mereka masih tertawa, menangis, gembira, sedih, bersama kita. Tetapi tahun ini mereka sudah tiada. Satu per satu teman kita meninggalkan kita, yang entah apakah tahun ini giliran kita. Semua kita tidak mengetahui. Ternyata tahun bukanlah daftar urut bagi kita, tetapi hanya penanda dalam suatu episode kehidupan. Jadi happy dengan cara sesat lari sesaat bukanlah jalan terbaik. Justru yang terbaik dengan cara mengendapkannya dengan sareh (sabar dalam pengertian hakiki), kemudian mengurainya secara perlahan dengan tidak perlu emosi, apalagi tergesa-gesa.
Pergantian tahun memiliki unsur didaktis jika kita mau memahami hakikat dari suatu perubahan dari warso atau tahun. Bahkan kata tahun menjadi penanda sakral, ini terbukti dengan memberi nama cleret tahun untuk kilat jenis tertentu, atau nogo tahun untuk penanda tahun yang bertemu unsur tertentu pada perhitungan nogo dino pada masyarakat agraris.
Unsur budaya lokal yang sudah mulai punah ini tampaknya perlu kita gali kembali sebagai kekayaan budaya bangsa. Sehingga memaknai pergantian tahun dapat kita selaraskan dengan cara “asli Indonesia”, bukan dengan cara menjiplak budaya luar. Sekalipun hal itu sah-sah saja, alangkah bijaknya jika kita mau menggunakan budaya sendiri sebagai wujud jati diri.
Pergantian tahun pada masyarakat Indonesia juga ada yang memberi nama dengan saren taun itu, seharusnya membuat kita mau memahaminya tidak hanya sebatas ontologinya saja, akan tetapi menjadi lengkap jika mau memahaminya sampai tataran epistemologi, bahkan aksiologinya. Kelengkapan itu membuat kita memiliki kepribadian yang menep. Istilah ini sulit sekali dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia, tapi penjelasan bebasnya kira-kira seperti halnya bejana yang berisi air, kemudian air itu semua unsurnya mengendap ke bawah, tinggal di dasar sebagai partikel halus. Kepribadian yang menep ini bercirikan tidak gampang terkejut (ora kagetan), tidak gampang keheran-herannan (ora gumunan).
Semua hal di atas adalah tataran konseptual filosofis yang perlu kita ejawantahkan ke dalam kehidupan sehari hari. Memang tidak mudah, akan tetapi jika kita tidak mau memulai, kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi. Karena budaya adiluhung ini akan musnah ditelan masa bersamaan pergantian tahun setiap tahunnya, jika kita tidak mau melestarikannya. Kearifan lokal seperti ini akan menjadi lebih kaya lagi jika semua kita peduli akan budaya miliki kita. Selamat Tahun Baru 2011, semoga tahun ini menjadi lebih baik. Amin.

Opini Lampung Pos 29 Desember 2010