Kabar buruk dari dunia anak. Laporan akhir tahun 2010 dari Komisi  Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengabarkan bahwa terjadi  peningkatan kekerasan terhadap anak. Kekerasan bahkan merambah korban  anak usia di bawah satu tahun. Ada 2.335 pengaduan kasus kekerasan  terhadap anak. Ini peningkatan yang luar biasa dibandingkan sebelumnya  yang mencapai 1.998 kasus. Sebanyak 62,7 persen merupakan kekerasan  seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan, kasus inses, dan sisanya  berupa kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan terjadi di lingkungan  terdekat, seperti rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan, dan  lingkungan bermain. Pelakunya tak jauh dari orang tua, kerabat dekat,  guru, dan ayah atau ibu angkat maupun tiri. (Republika, 22/12).
Data  Komnas PA ini harus menjadi refleksi penting bagi bangsa Indonesia.  Anak-anak harus diselamatkan masa depannya. Dalam konteks ini, mari kita  telusuri bersama bagaimana konsep Islam dalam perlindungan hak-hak  anak. Dalam Islam, setiap anak yang lahir adalah sosok yang fitri: suci,  bersih, dan murni. Ini ditegaskan Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya,  "kullu mauludin yuladu ala fitrah al-Islam" bahwa setiap anak yang  dilahirkan itu lahir dalam keadaan suci (fitri). (HR Bukhri).
Hadis  ini jelas sekali menunjukkan komitmen Islam dalam menghormati hak-hak  anak. Sebelum Islam datang, status anak masa jahiliyah sangat  mengenaskan. Bahkan, anak perempuan harus rela di kubur hidup-hidup.  Sebuah tragedi peradaban bangsa Arab yang sangat memilukan waktu itu.
Dalam  kisah hidupnya, Umar bin Khattab RA pernah ditanya tentang hal yang  berkesan dalam hidupnya. Ia menjawab, "Ada dua kejadian. Setiap aku  teringat yang pertama, aku tertawa, dan setiap teringat yang lainnya,  aku menangis." Untuk yang pertama, Umar mengatakan, "Pada masa  Jahiliyah, aku menyembah patung dari kurma yang diperas. Apabila berlalu  setahun, aku makan patung itu. Kemudian, aku makan patung yang lain  dari kurma mentah."
Sedangkan untuk yang kedua beliau menjawab,  "Tatkala aku menggali lubang untuk menguburkan putriku, debu mengotori  janggutku. Kemudian, putriku membersihkan debu itu dari janggutku.  Meskipun begitu, aku tetap mengubur putriku hidup-hidup." Umar  menceritakan itu sambil menangis tersedu.
Sekelumit cerita Umar  bin Khattab merupakan bukti bahwa Islam hadir untuk mengangkat harkat  dan martabat anak. Dalam buku Hak-hak Sipil dalam Islam, Abdullah  al-Habsyi dkk (2005: 64) menjelaskan bahwa anak mempunyai dua hak: hak  sebelum dilahirkan dan setelah dilahirkan. Sebelum dilahirkan, anak  berhak mendapatkan calon ibu yang salehah karena nuthfah lelaki akan  dititipkan kepada calon ibu. Dan sains juga mengatakan bahwa sifat-sifat  bawaan (kromosom) secara fisik dan spiritual akan berpindah melalui  proses reproduksi. Dari sini, Nabi SAW juga menandaskan bahwa  "Menikahlah kalian dari perempuan saleh karena akhlak ayah itu menurun  kepada anak." Dengan prinsip ini, Islam mengharamkan seseorang Muslim  yang berzina.
Sedangkan hak anak setelah dilahirkan ada empat.  Pertama, hak hidup. Hak hidup anak menjadi prinsip utama dalam Islam.  Tidak ada toleransi membunuh anaknya walaupun dalam kondisi kelaparan.  Hal ini ditegaskan Allah dalam QS al-An'am [6] ayat 151. "Dan janganlah  kamu membunuh anak-anak kamu karena hanya takut akan kemiskinan, kami  akan memberi rezeki kepada dan kepada mereka."
Hal yang juga  ditegaskan dalam QS Al-Isra [17] ayat 31. "Dan janganlah kamu membunuh  anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki  kepada mereka dan juga kepadamu." Kedua ayat ini meyakinkan bahwa akan  ada jalan rezeki Tuhan kalau kita memang benar-benar menjaga amanat-Nya,  berupa anak.
Kedua, hak papan, pangan, dan sandang. Dalam hal  ini, Allah menegaskan dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 233. "Para ibu-ibu  hendaknya menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang  ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan  pakaian kepada para ibu dengan ma'ruf. Seseorang tidak dibebani  melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seseorang ibu  menderita karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya."
Pemenuhan  ini dilakukan agar anak-anak tidak terjerembap dalam kerusakan dan  kebinasaan sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Tahrim [66] ayat 6, "Hai  orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api  neraka."
Ketiga, hak memperoleh nama yang baik. Proses Nabi SAW  mengubah peradaban jahiliyah barbarian menjadi kosmopolit adalah dengan  mengubah nama. Sebab, nama adalah sebuah identitas yang menunjukkan diri  personal seseorang. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, "Pertama-tama  yang harus kalian berikan kepada anaknya adalah nama yang bagus. Oleh  karena itu, hendaknya setiap kalian memperbagus nama anaknya."
Hal  ini dibuktikan Nabi SAW dengan memberikan nama untuk anak-anaknya  dengan nama Ibrahim, Fatimah, dan lainnya, serta juga cucunya, Hasan dan  Husein. Nama-nama yang dianjurkan Nabi adalah nama disamakan dengan  nama para Nabi, atau didepannya ada Muhammad, Ahmad, atau Mahmud, dan  juga kata 'abd yang disandingkan dengan al-asma' al-husna.
Keempat,  hak pendidikan dan pengajaran. Dalam surat Luqman [31] ayat 13-19,  Alquran sangat jelas menganjurkan umat Islam untuk mendidik anaknya  dengan sungguh, khususnya mendidikan perihal tauhid dan keimanan kepada  Allah. Fondasi tauhid inilah yang akan menjadi pegangan anak di kemudian  hari sehingga tetap menjaga diri pada prinsip-prinsip Islam yang pokok.  Setelah itu, anak harus diberikan pengetahuan dan wawasan keilmuan yang  dapat dijadikan sebagai bekal memakmurkan bumi.
Begitu besar  komitmen Islam kepada hak anak, apalagi hak bagi anak yatim, atau dalam  kasus di Indonesia adalah anak jalanan. Orang yang menyia-nyiakan anak  hatim sangat dikecam keras oleh Islam. Surah Al-Maun [107] ayat 1-3  telah menandaskan bahwa mereka yang menghardik anak yatim dan tidak  menganjurkan memberi makan orang miskin dikatakan sebagai pendusta  agama: sebuah predikat yang sangat memalukan. 
Sementara itu,  orang yang peka dan perhatian dengan orang yatim sangat dihargai oleh  Islam. Bahkan, Nabi SAW bersabda, "Siapa yang menanggung tiga anak  yatim, ia seperti bangun waktu malam, puasa waktu siang, dan pergi  berjihad dengan pedangnya di jalan Allah. Dan aku bersama dengannya di  surga, menjadi dua bersaudara seperti dua jari ini (beliau menunjukkan  dua jari, telunjuk dan jari tengah)."
Itulah konsep perlindungan  hak anak dalam Islam. Anak yatim dan anak jalanan justru menjadi  prioritas utama yang bahkan akan menjadi teman Nabi di surga nanti.  Tetapi, mengapa banyak orang Islam yang justru tidak mau tahu dengan  kondisi tragis kaum anak jalanan.
Inilah yang harus kita  pertanggungjawabkan bersama. Saatnya keteladanan Nabi Muhammad kita  aplikasikan sebaik mungkin di tengah zaman yang penuh onak ini.  Wajah-wajah anak di masa depan haruslah ceria, penuh harapan, dan siap  menjadi penerus perjuangan menegakkan kebaikan dan kebenaran.
Opini Republika 27 Desember 2010
27 Desember 2010
Anak dan Keadilan
Thank You!