TAHUN 2010 sebentar lagi segera berakhir. Namun rangkaian peristiwa hukum yang terjadi selama tahun ini akan selalu dikenang dalam segala dimensi dan kedalaman historisnya. Berbagai peristiwa hukum tersaji sebagai tontonan dalam pentas kekecewaan dan ketidakpastian.
Bagaimana tidak? Terjadi berbagai peristiwa besar, seperti megaskandal penyimpangan pajak yang melibatkan polisi, jaksa, dan hakim, kasus Century, upaya pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pengkriminalan pemimpin KPK Bibit-Candra, dan keterkuakan penyuapan terhadap aparat hukum — polisi, jaksa, hakim, dan petugas Lembaga Kemasyarakatan Brimob Polri — oleh Gayus Tambunan sehingga bisa leluasa keluar-masuk rumah tahanan. Itulah sekumpulan cerita yang tak akan pernah terkubur mengiringi tutup tahun ini.
Di luar megaskandal itu, masih ada setumpuk cerita hukum yang mengundang keraguan publik atas kualitas penegakan hukum di Indonesia. Terutama, berkait dengan indikasi permainan banyak tangan yang mampu mengubah atau memengaruhi keputusan hukum yang dapat menyimpang dari keadilan sebagai esensi penegakan hukum. Meski sulit dibuktikan, aromanya tercium kuat di tengah-tengah publik. Tak ayal, derajat kepercayaan publik terhadap aparat dan lembaga penegak hukum di Indonesia pun menurun. Itulah yang kemudian disebut dengan mafia hukum — kekuatan yang dapat memengaruhi, mengubah, bahkan membalikkan keputusan hukum.
Kekuatan itu beroperasi secara berlapis-lapis dalam birokrasi penegakan hukum, sehingga menjadi persoalan tersendiri dalam agenda penegakan hukum di Indonesia. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merespons dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum.
Sungguh ironis memang. Di tengah kegencaran diskursus penegakan hukum, lembaga yang diharapkan dapat menjadi benteng keadilan justru terkepung oleh tabir-tabir anomitas yang mengubah wajah hukum menjadi tak ubahnya mesin pembunuh keadilan sosial dan mampu menyembunyikan kebenaran dan keadilan di balik kekuatan yang beroperasi secara transaksional di balik kesakralan hukum. Karena itu, salah satu agenda terbesar penegakan hukum di Indonesia adalah melakukan sterilisasi lembaga-lembaga penegak hukum dari pengaruh mafia hukum yang beroperasi secara berlapis-lapis dan sistematis.
Menggeser Paradigma
Salah satu yang paling mendasar dari sistem hukum modern adalah sifatnya yang instrumental, yakni kepentingan penegakan hukum diatur secara birokratis dan positivistik. Dalam konteks ini, faktor personel penegak hukum sangat menentukan corak dan warna unjuk kerja hukum. Sebab, birokrasi hukum mengatur mekanisme unjuk kerja personalia dengan sistem otoritatif berjenjang dengan wewenang bersifat penuh ke dalam. Misalnya, soal kenaikan pangkat, promosi jabatan, penempatan personel, dan fasilitas jabatan. Artinya, lembaga-lembaga penegak hukum secara kelembagaan memiliki tujuan yang tak selalu berkait langsung dengan agenda penegakan hukum.
Sementara itu, positivisme hukum modern, sebagaimana termaktub secara akademis dalam rintisan John Austin dan HLA Hart, memformulasikan bahwa otoritas yang membentuk hukum adalah penguasa yang berdaulat, dengan bentuk yang diidentikkan dengan undang-undang dan diberlakukan terhadap pihak yang dikuasai. Maka, positivisme hukum secara absolut menumpukan diri pada ”kekuatan prosedural dan perundang-undangan”.
Dalam wilayah praktis, sebagaimana sering dikeluhkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, seorang penegak hukum di Indonesia dengan menggunakan undang-undang yang sama terhadap kasus yang memiliki kesamaan bisa memakai pasal berbeda-beda sehingga bisa melahirkan keputusan hukum yang berbeda-beda pula. Jadi aparat penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal yang berbeda-beda, tergantung pada tujuan keputusan itu.
Kemungkinan menghukum atau membebaskan itulah yang kemudian menjadi ruang negosiasi bagi kemungkinan kekuatan luar masuk dan dapat memengaruhi atau menentukan keputusan hukum. Bahkan, karena didukung dengan pasal-pasal yang jelas, keputusan aparat hukum itu pun seolah-olah benar secara hukum. Karena itulah, pada satu kesempatan sebuah keputusan terlihat sangat tegas dan pada kesempatan lain sangat longgar atau bahkan jauh dari rasa kebenaran dan keadilan sosial.
Paradigma ”kepastian hukum” yang secara positivistik dipostulatkan pada materi aturan perundang-undangan menyebabkan terbangun ruang anomitas antara hukum dan cita-cita keadilan sosial. Sebab, hukum menjadi tertutup dan kaku. Sementara cita-cita sosial selalu hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban zaman (Volkgeist). Karena itu, bagi mafia hukum, etalase pasal demi pasal lebih mudah dijangkau daripada cita-cita keadilan sosial penegakan hukum.
Menempatkan cita-cita keadilan sosial sebagai goal penegakan hukum akan lebih mendekatkan agenda penegakan hukum pada nilai-nilai luhur hukum, dengan merujuk pada pengalaman berbagai negara di Asia. Jepang, misalnya, mampu membangun Japanese Twist. Sebab, setiap bangsa memiliki nilai-nilai luhur dan kebajikan tertinggi (highest virtue) yang tak selalu memungkinkan diakomodasi dalam formula-formula positivistik hukum modern yang tertutup itu.
Untuk kepentingan tersebut, pertama-tama harus dilakukan perubahan mindset aparat penegak hukum. Cara pandang aparat hukum yang sekadar menjalankan penegakan undang-undang, diharapkan berubah menjadi aparat hukum yang mampu menghadirkan keadilan substantif, kemanusiaan, dan kesejahteraan rakyat sebagai moral hukum. Karena hukum lahir bukan untuk mengabdi penegakan hukum, melainkan mengabdi pada penegakan keadilan sebagai moralitas yang tercermin di balik formula-formula normatif hukum sehingga nilai-nilai hukum dapat tetap hidup, tidak kaku, dan tertutup.
Jika positivisme hukum bertumpu pada relasi individual, maka harus digeser ke relasi komunal dengan tetap memberikan ruang yang adil antara perlindungan individu dan menyelamatkan kepentingan sosial. Dengan demikian, hukum akan terus tumbuh dan berkembang sebagai always in the making, bukan closed logical system. (51)
- Gunarto, SH SE Akt MHum, Wakil Rektor II Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
Wacana Suara Merdeka 27 Desember 2010