DUNIA olahraga Indonesia akan menutup tahun 2010 dengan beberapa cerita  manis. Beberapa kisah manis yang menjadi buah bibir masyarakat luas, dan  patut dicatat adalah petinju kebanggaan Indonesia Chris ”The Dragon”  John yang berhasil mempertahankan gelar Super Champion kelas bulu versi  WBA untuk kali ke-13. Dia menang angka dalam pertarungan melawan  Fernando Saucedo (Argentina).
Kemudian atlet-atlet perahu naga Indonesia sukses mendayung dengan  perkasa hingga melajukan kontingen Merah-Putih ke posisi 15 dalam Asian  Games XVI di Guangzhou, China. Meski peringkat Indonesia masih di bawah  Thailand dan Malaysia, dua negara pesaing kuat di kawasan Asia Tenggara,  hasil ini boleh dibilang melegakan.
Lalu Alfred Riedl berhasil membawa timnas PSSI Senior menjadi finalis  Piala AFF 2010. Harapannya, sukses Riedl dalam mengelola performa timnas  mampu menjadi pamungkas cantik di akhir tahun 2010. Tanpa mengabaikan  beberapa prestasi cabang olahraga lain dalam beberapa kejuaraan  internasional di sepanjang tahun ini, tiga keberhasilan di penghujung  tahun ini dapat digunakan sebagai cermin bagaimana seharusnya  pembangunan olahraga nasional di Indonesia didesain.
Chris John adalah salah satu contoh olahragawan profesional yang  konsisten dan bertanggung jawab terhadap profesinya. Konsistensi dalam  menjalani ”bagiannya” sebagai olahragawan yang dikelola oleh manajemen  yang profesional, patut dijadikan contoh oleh olahragawan-olahragawan  nasional, khususnya yang muda dan sedang merintis karier sebagai  olahragawan.
Chris adalah olahragawan yang hanya fokus pada performanya, dan  menyerahkan ”urusan” lain pada manajemen di mana dia bernaung.  Kemampuannya untuk tetap fokus hanya pada area yang dia kuasai inilah  yang menjadi kunci keberhasilannya mempertahankan prestasi.
Tercengang
Keberhasilan 22 warga Indonesia pedayung perahu naga memborong tiga  keping emas dalam pesta olahraga Asia ke XVI secara berturut-turut  membuat masyarakat luas tercengang. Sementara komunitas keolahragaan  mengerutkan kening lantaran keheranan. Masyarakat luas tercengang karena  tidak menduga pedayung Indonesia mampu menggungguli raksasa olahraga  seperti China, Korea dan Jepang.
Komunitas keolahragaan yang memahami betul teori latihan, terheran-heran  dengan performa para pedayung. Sebab, dayung merupakan salah satu  cabang olahraga dengan kebutuhan energi terbesar. Dan 22 olahragawan  ”pengendali naga” Indonesia ini mampu menampilkan performa fisik luar  biasa secara berturut-turut hanya dengan jeda hanya 1-2 hari. Waktu yang  sebenarnya sangat sempit untuk pemulihan tenaga.
Ketercengangan ini kemudian memancing munculnya komentar yang sebenarnya  kontra produktif bagi pembangunan olahraga nasional karena dapat  menyesatkan pemahaman mengenai bagaimana seharusnya pembinaan  dilakukan.  Komentar ”menarik” yang diekspose oleh media massa adalah  ”tim dayung sebenarnya tidak akan diberangkatkan ke Asian Games”,  kemudian terangkailah kisah Cinderella yang teraniaya namun berhasil  dipersunting pangeran rupawan.
Sejatinya keberhasilan tim dayung perahu naga Indonesia tidak diperoleh  dengan sekedipan mata dan bukan pula merupakan keberuntungan semata.  Prestasi ini merupakan wujud implementasi Iptek keolahragaan yang dipadu  dengan keberhasilan peran sport intelligence (intel olahraga). 
Kondisi dan performa para pedayung selama menjadi pemusatan latihan di  waduk Jatiluhur terus-menerus dipantau secara periodik melalui tes,  pengukuran dan evaluasi yang dilakukan dengan pendekatan Iptek, dan  menggunakan alat ukur yang sahih dan objektif sehingga hasilnya  benar-benar dapat dipertanggungjawabkan karena menggambarkan kondisi  yang sebenarnya.
Hasil tes terhadap para pedayung ini kemudian dibandingkan dengan hasil  temuan para intel olahraga yang ”mengintip” performa calon-calon lawan  terkuat yang akan dihadapi di Asian Games. Ternyata progres kinerja  naga-naga Indonesia ini menunjukkan tren positif, dan secara ilmiah  diduga mampu mencapai peak performancedi arena Asian Games. Dugaan yang  akhirnya terbukti, karena dihitung secara ilmiah dan objektif.
Melegakan 
Di Piala AFF 2010, kendati belum tuntas, performa Firman Utina cs  lumayan melegakan. Siapakah yang dapat dikatakan berhasil? Riedl? Utina  dkk? Atau PSSI?
Menurut pendapat saya, meski eksekusi performa Utina cs memang prima,  dalam kesempatan kali ini yang berhasil adalah Riedl. Pria asal Austria  ini berhasil mengelola tim dengan baik dan tepat. Kendati begitu, bukan  berarti Riedl lebih hebat dibanding pelatih Indonesia dalam ‘’ilmu  sepakbola’’.
Pada tataran ilmu sepak bola, baik Riedl maupun pelatih nasional  sama-sama hebat (bila ilmu sepak bola Riedl luar biasa, saat ini dia  pasti sedang berkarier di liga utama Eropa). Namun. Riedl memiliki  ‘’sesuatu’’ yang tidak dimiliki oleh pelatih nasional pada umumnya,  yaitu kemampuan untuk membendung intervensi dari semua pihak tidak  berkaitan langsung dengan urusan kinerja ‘’menggiring dan menendang  bola’’.
Kemauan dan kemampuan untuk steril dari intervensi inilah kelebihan dan  kehebatan Riedl. Dia berani mengusir ‘’orang PSSI’’ yang nyelonong ke  dalam pertemuan teknis antara pelatih dan pemain yang akan mendiskusikan  urusan ‘’menggiring dan menendang bola’’.
Bekas pelatih Vietnam itu juga berani membangkucadangkan Bambang  Pamungkas, sang pangeran idola. Intinya, Riedl dapat menaklukkan sistem  persepakbolaan Indonesia, dan menegakkan profesi pelatih sebagaimana  harusnya. Seandainya ada pelatih Indonesia yang memiliki ‘’kemampuan’’  seperti Riedl, maka Indonesia tak perlu sekian lama termangu-mangu  menunggu ‘’rasa bangga’’ seperti yang saat ini dirasakan oleh hampir  seluruh penduduk Indonesia.
Dari tiga cerita manis itu, setidaknya ada beberapa hal yang patut  direnungkan, dan diharapkan menjadi landasan bagi pembangunan olahraga  nasional untuk bangkit di tahun-tahun yang akan datang. Pertama, sikap  profesional dalam berkarier sebagai olahragawan atau pelatih merupakan  jaminan konsistensi prestasi.
Kedua, pendekatan Iptek dalam pembinaan dan pembangunan olahraga saat  ini sudah merupakan suatu keharusan, bila Indonesia tak ingin selalu  tertinggal dengan negara lain. Ketiga, pengelola tim (pelatih) harus  mampu menunjukkan jatidiri, dan memiliki keberanian untuk membendung  semua upaya intervensi yang dapat memengaruhi kinerja olahragawan.
Keempat, hendaknya dapat disadari oleh semua pihak bahwa sebenarnya  bangsa ini memiliki potensi sumber daya manusia luar biasa yang bisa  menghasilkan prestasi kelas dunia, bila dikelola dengan tepat, sehingga  naturalisasi tidak diperlukan. Naturalisasi akan membuat pembina  terlena, karena prestasi diperoleh secara instan, dan pada akhirnya  bakal mematikan seluruh potensi dan sumber daya yang tersedia.
Terakhir, mencermati euforia, tingkah-polah dan komentar tentang  performa timnas PSSI dalam dua minggu terakhir ini, baik yang  ditunjukkan oleh rakyat jelata, tokoh masyarakat, selebriti, akademisi,  menteri hingga presiden, maka dapat diajukan dua pertanyaan. Adakah  urusan lain di negara ini, selain olahraga, yang dapat demikian  membanggakan dan menyatupadukan seluruh komponen masyarakat?
Bila peran olahraga demikian strategis bagi bangsa ini, mengapa  pengelolaan olahraga masih saja dilakukan dengan setengah hati? (22)
— Doktor Tandiyo Rahayu MPd, Ketua Prodi Pendidikan Olahraga Program Pascasarjana Unnes
Wacana Suara Merdeka 28 Desember 2010