Seorang ibu mengabarkan seorang anaknya lolos seleksi calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) di salah satu kabupaten di Lampung. Dengan bangga ibu itu menceritakan untuk kelulusan tersebut dia rela menjual kebun dan menggadaikan sebagian hartanya agar sang anak bisa berseragam pamong praja. Acara syukuran pun digelar sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan. Keluarga dekat, keluarga jauh, para tetangga, hadir untuk membaca tahlil dan surat Yasin.
Dengan berseloroh saya menyarankan, seharusnya acara syukuran itu diubah menjadi ajang pertobatan. Si ibu dan keluarganya harus bertobat karena telah menjerumuskan anak, menantu dan cucunya menjadi "hamba" Tuhan yang terputus tali keberkahannya.
Cerita orang tua yang bangga dan bersukacita seperti ibu itu mungkin dialami sebagian besar dari sekitar 3.500-an peserta yang lolos seleksi CPNSD di Bumi Rua Jurai baru-baru ini. Mereka gembira karena upaya untuk menjadi abdi negara tidak sia-sia. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung mensinyalir satu kursi jabatan dibanderol Rp150 juta. Lalu kenapa saya menyarankan ibu itu untuk mengubah acara syukuran menjadi acara pertobatan?
Masyarakat kita memang sudah terjangkit penyakit hipokrit. Mereka melakukan syukuran meski baru saja "merampok". Syukuran digelar meski untuk mendapatkan "anugerah pekerjaan" itu dilakoni dengan cara yang sangat keji, yaitu menyuap. Seharusnya bagi mereka yang lulus seleksi PNS dengan cara menyuap segera bertobat.
Memang pasti ada yang diterima menjadi PNS melalui “jalur murni” alias tidak menyogok, tapi persentasenya sangat sedikit. Jalur murni itu untuk memberikan kesan, seolah-olah seleksi CPNSD benar-benar bersih. Atau bisa jadi karena dalam formasi tersebut “pemain”-nya sedikit.
Praktek suap-menyuap dalam seleksi CPNSD selalu terdengar ceritanya. Padahal dalam agama mana pun praktek kotor itu dikutuk oleh Kitab Suci. Dalam Islam, misalnya, suap disebut riswah. Karena dampak yang ditimbulkan begitu dahsyat bagi kehidupan manusia, Alquran dan hadis Nabi saw. banyak mengungkap dan membahas persoalan suap.
Sehingga ketika seseorang gagal dalam seleksi mencari pekerjaan yang diwarnai praktek suap (riswah), pada hakikatnya dia telah terselamatkan dari hidup yang tidak berkah karena merampas hak orang lain, yang bisa jadi di dalamnya ada nasib anak yatim, orang miskin, dan kaum tertindas. Mungkin saja dari puluhan ribu peserta yang gagal ada janda yang tengah berjuang menghidupi anak-anaknya.
Sementara bagi para pelaku (penyuap dan penerima suap) pada hakikatnya telah merampas kesempatan orang lain untuk memperoleh pekerjaan dan menafkahi keluarganya. Dalam Alquran digambarkan sebagai upaya membunuh seluruh umat manusia (Q.S. Al Maidah: 32). Tuhan enggan mendekat kepada hamba yang daging dan darahnya tumbuh dari makanan dan minuman yang didapat dengan cara haram. Ketika mereka berhaji, misalnya, saat berteriak: “labbaik allahumma labbaik!", seluruh penghuni kerajaan langit mengejek: "Tuhan tidak memanggilmu, bekalmu haram, kendaraanmu haram, bajumu haram, hajimu tidak mendatangkan kebahagiaan. Hajimu mendatangkan dosa" (H.R. Ath-Thabrani).
Dari sisi tatanan kehidupan, praktek suap-menyuap akan merusak sistem pemerintahan yang bertujuan menyejahterakan rakyat. Pemerintahan akan dipenuhi oleh calon birokrat korup yang berorientasi mencari keuntungan pribadi dengan menghalalkan segala cara. Jika sudah begitu, rakyat pastinya yang menjadi korban.
Bekerja adalah ibadah. Maka untuk memulai suatu pekerjaan harus selalu dilandasi niat ikhlas beribadah. Mereka yang memulai pekerjaan dengan cara menyuap maka tidak akan dinilai ibadah. Langkah awal mereka sudah dikotori oleh cara-cara haram. Setiap sesuatu yang diperoleh dengan cara haram, memanfaatkannya juga haram hukumnya. Hasil pekerjaan (gaji), sudah tentu haram pula dimakan untuk diri dan keluarganya.
Para orang tua yang rela menggadaikan hartanya untuk membayar uang agar anaknya menjadi PNS, mungkin tidak menyadari bahwa merekalah yang membuat sistem yang rusak ini semakin langgeng. Tahun ini tarif menjadi PNS Rp150 juta, bisa jadi lima tahun ke depan tarifnya melonjak menjadi Rp500 juta. Sudah menjadi rahasia umum, formasi PNS diadakan berdasarkan "permintaan pasar".
Bagi puluhan ribu peserta yang gagal pada seleksi CPNSD, tidak perlu bersedih. Mereka harus tetap berbangga menjadi diri sendiri. Mereka yang gagal karena tidak menyuap bukanlah orang-orang kalah. Mereka memenangkan pertarungan melawan ketidakjujuran. Masih banyak peluang kerja lain yang lebih membutuhkan kecerdasan dan keterampilan. Sementara bagi mereka yang diterima melalui jalur culas justru adalah orang-orang kalah yang sejak awal yakin tidak akan mampu diterima bila hanya bermodal intelektualitas. Hidup ini indah bila kita tahu jalan mana yang benar dan salah.
Opini Lampung Pos 27 Desember 2010
27 Desember 2010
Kebanggaan Para Hipokrit
Thank You!