POLEMIK pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus bergulir dan menjadi topik hangat yang dilansir sejumlah media massa lokal dan nasional. Rencana pembatasan ini sebenarnya telah diwacanakan pemerintah sejak 2008, ketika harga minyak dunia melambung tinggi. Akhirnya, pemerintah dan PT Pertamina (Persero) memastikan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi akan diberlakukan pada Maret 2011 untuk daerah Jabodetabek.
Bila dicermati, istilah "pembatasan" tiada lain adalah pencabutan subsidi BBM yang dijadikan argumentasi pemerintah untuk menghindari gejolak publik yang rentan terhadap kenaikan harga BBM. Dengan demikian, reaksi penolakan akan lebih lunak atau setidaknya dapat diantisipasi.
Argumentasi pemerintah, mengenai pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya dilakukan agar kuota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 tidak melampaui anggaran yang disediakan. Dalam APBN 2011, tertera subsidi BBM Rp 97,26 triliun atau cukup menyubsidi 38,591 juta kiloliter. Bila diperinci, yakni 23,191 juta kiloliter premium, 13,085 juta kiloliter solar, dan sisanya minyak tanah, dengan asumsi harga minyak berkisar 80 dolar AS per barel dengan kurs Rp 9.200 per dolar AS (data BPH Migas).
Dari estimasi pemerintah, realisasi subsidi hingga akhir tahun ini mencapai 104 persen sehingga jumlah subsidi meningkat dibandingkan dengan 2009 yang 87 persen. Dalam APBN-Perubahan 2010, pemerintah menetapkan subsidi Rp 201,8 triliun, terdiri atas subsidi nonenergi Rp 57,3 triliun, subsidi BBM Rp 89,3 triliun, dan subsidi listrik Rp 55,2 triliun. Melonjaknya perkiraan realisasi subsidi akan ditunjang subsidi energi 96 persen dan subsidi nonenergi 124 persen. Jika semua dapat direalisasikan, seharusnya diimbangi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Keberadaan BBM bersubsidi akan terus menjadi persoalan bangsa, dan pemerintah pun mengeluhkan kenaikan jumlah anggaran subsidi BBM akibat dari "pembengkakan" konsumsi pada 2010 yang tidak terkendali. Namun ironisnya, persoalan ini menjadi paradoks yang tak kunjung usai. Lihat saja, kebijakan pemerintah mengenai dukungan terhadap peningkatan penjualan atau kredit kendaraan bermotor yang justru pemakai energi BBM terbesar terus berjalan.
Namun disadari atau tidak, persoalan baru muncul, ketika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi berdampak terhadap kinerja dan produktivitas pelaku industri milik UMKM. Sampai saat ini pemerintah belum memberikan sinyal positif terhadap industri yang dikelola UMKM. Tidak cukup hanya dengan prakata, pelaku UMKM sudah terbukti mampu secara cepat beradaptasi terhadap perubahan kebijakan.
Berdasarkan data BPH Migas, mayoritas pengguna BBM bersubsidi berasal dari mobil pribadi yang porsinya mencapai 53 persen dari jatah BBM subsidi 2010 sebesar 36 juta kiloliter, dengan konsumsi BBM bersubsidi untuk transportasi darat, yakni mobil pribadi 53 persen, sepeda motor 40 persen, angkutan barang 4 persen, dan angkutan umum 3 persen.
Sementara, asumsi (kenaikan konsumsi BBM subsidi) muncul dari perkiraan pendistribusian premium, pada November dan Desember 2010 yang masing-masing mencapai angka 2 juta kiloliter dan 2,2 juta kiloliter. Jadi, asumsi itu kurang tepat untuk dijadikan kebijakan dan perlu mengkaji ulang soal BBM bersubsidi, sehingga tidak memberatkan masyarakat, termasuk industri milik UMKM yang rata-rata menggunakan kendaraan pelat hitam, serta perlu mempertimbangkan dari sisi harga riil minyak, realisasi kurs, dan volume pasokan.
Sebagai ilustrasi, harga minyak dunia sebenarnya sulit dipatok dengan pasti. Sebagian besar negara di dunia menyerahkan harga kepada mekanisme pasar. Oleh karena itu, pemerintah perlu belajar dari pengalaman dan tidak bisa menyesuaikan harga minyaknya setiap hari. Dengan memanfaatkan momentum fluktuasi harga minyak dunia, ketika harga itu rendah di bawah asumsi yang ditentukan, pemerintah harus pandai menyimpan anggaran untuk dapat dikembalikan ketika harga melambung dan tidak bisa ditutup oleh APBN.
Penetapan kebijakan dua harga pasar, tentunya ada dua sisi yang perlu diperhitungkan selain menimbulkan pasar gelap juga subsidi BBM tetap akan membengkak penjualannya sehingga memungkinkan dipakai sekelompok pihak untuk memetik keuntungan.
Masukan bagi pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang lebih memadai untuk mendorong pengalihan pemakaian (konversi) bahan bakar minyak (BBM) ke gas sebagai solusi jangka panjang dalam mengurangi beban subsidi energi. Mengingat rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang akan diterapkan di wilayah Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya diprediksi akan memperlambat laju perekonomian masyarakat.
Sebenarnya, masyarakat dapat memahami, jika langkah konversi dari BBM ke gas bisa dimulai dari seluruh angkutan umum yang masih menggunakan premium, serta kendaraan-kendaraan dinas yang berplat merah yang ada pada setiap instansi pemerintah sebagai pioner. Selanjutnya tinggal disosialisasikan agar masyarakat beralih menggunakan bahan bakar gas.
Tentunya sebelum melakukan konversi BBM, pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur pendukung agar masyarakat tidak lagi kesulitan mendapatkan gas. Jangan sampai terulang hilangnya pasokan gas untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, yang akan menyusahkan masyarakat bawah.***
Penulis, Guru Besar dan Pembantu Rektor I Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 28 Desember 2010