30 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pendapatan Negara vs Kesehatan Masyarakat

Pendapatan Negara vs Kesehatan Masyarakat

Oleh Indria Yulita
Masalah rokok memang dilematis. Di satu sisi industri rokok dianggap menyerap banyak tenaga kerja dan menyumbang pajak yang cukup besar bagi negara, tetapi di sisi lain rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Rokok menyebabkan penyakit paru-paru karena mengandung racun, di antaranya nikotin dan tar yang dapat merusak mekanisme pembersihan saluran napas bawah dan bersifat karsinogenik, sehingga menyebabkan terjadinya kanker pada paru-paru.
Indonesia adalah negara nomor lima tertinggi di dunia dalam hal jumlah konsumsi rokok. Konsumsi rokok memang cenderung meningkat setiap tahun. Kenaikan paling tinggi terjadi antara 1970-1980, yaitu dari 33 miliar batang menjadi 84 miliar batang (Balitbangkes, 2004). Berdasarkan roadmap kebijakan industri rokok nasional yang memprioritaskan penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara, pada 2015 pemerintah menargetkan produksi rokok 260 miliar batang (Tempo Interaktif, 5 Juli 2009).
Sebagai upaya untuk menurunkan jumlah perokok, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Peraturan pemerintah tersebut mengatur berbagai hal mengenai rokok, mulai dari cara produksi, kewajiban perusahaan rokok untuk mengukur kadar nikotin dan tar dalam rokok yang diproduksi, pencantuman kadar nikotin dan tar pada bungkus rokok, sampai ketentuan iklan dan area tertentu yang harus bebas rokok.
Namun rupanya, tidak seluruh pasal dapat ditegakkan. Sebagai contoh, di dalam pasal 22 PP tersebut tercantum pelarangan merokok di tempat umum, termasuk angkutan umum. Kenyataannya, banyak orang merokok di angkutan umum. Hal ini jelas merugikan penumpang lain yang terpaksa menjadi perokok pasif karena menghirup asap rokok. Peringatan tentang bahaya rokok yang dicantumkan di bungkus rokok yang juga berdasarkan PP tersebut, tampaknya juga tidak menurunkan jumlah perokok. Karena itulah, pemerintah menaikkan cukai rokok.
Menurut Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Supriadi, kenaikan ini selain peningkatan penerimaan cukai juga dalam rangka memperhatikan masalah kesehatan (Antara News, 21 November 2009). Dengan peningkatan cukai yang tentunya akan meningkatkan harga rokok, diharapkan jumlah perokok secara perlahan akan menurun. Hal ini rupanya membuat pengusaha rokok uring-uringan dan menyatakan bahwa kenaikan cukai rokok tidak menunjang dunia usaha.
Jika pemerintah konsisten dengan keberpihakan kepada rakyat, seharusnya kenaikan cukai rokok masih harus dilakukan secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan, dalam upaya menurunkan jumlah perokok. Kenaikan cukai ini di samping dapat meningkatkan perekonomian juga diharapkan menurunkan jumlah perokok. Kekhawatiran jika penurunan jumlah konsumsi rokok akan menimbulkan banyak pengangguran, agaknya terlalu berlebihan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2005, ternyata industri rokok hanya menyerap kurang dari satu persen tenaga kerja dari seluruh tenaga kerja di Indonesia. Angka ini terdiri atas 0,3 persen untuk industri rokok dan 0,5 persen untuk pertanian tembakau. Industri rokok pun hanya terkonsentrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Jika dilihat dari kontribusi cukai rokok terhadap belanja negara, sektor ini pun tidak memberikan kontribusi yang cukup besar, yaitu Rp 56 triliun per tahun dengan besar APBN sekitar 1.000 triliun per tahun. Kenaikan harga rokok sampai batas tertentu pasti dapat mencegah masyarakat miskin untuk membeli rokok. Karena itu, kenaikan cukai rokok tepat untuk dilaksanakan. Di samping itu, larangan menjual rokok secara eceran atau batangan mungkin akan mencegah bertambahnya perokok baru.
Iklan rokok
Selain cukai rokok, hal yang memegang peranan penting dalam industri rokok adalah iklan rokok. Seperti diatur dalam PP, iklan rokok di media elektronik hanya boleh ditayangkan antara pukul 21.30 -pukul 5.00 waktu setempat. Ketentuan lainnya, dilarang merangsang atau menyarankan orang merokok, dilarang menggambarkan merokok bermanfaat bagi kesehatan, dan sebagainya. Setiap iklan pada media cetak maupun elektronik harus mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan.
Iklan rokok yang ditayangkan di media cetak maupun elektronik agaknya telah mengikuti peraturan tersebut. Akan tetapi, tujuan peraturan tersebut untuk mencegah ketertarikan orang untuk merokok karena pengaruh iklan tidak tercapai. Itu mungkin karena pembuat iklan tidak kehilangan akal untuk membuat iklan rokok yang memberikan kesan positif mengenai perokok. Misalnya menggambarkan anak muda yang gemar menolong sesamanya atau yang memiliki tekad kuat. Ide tersebut ditunjang dengan visualisasi yang indah dan berselera tinggi.
Tidaklah mengherankan jika hasil survei 2008 yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak yang diberitakan koran nasional memperlihatkan 29 persen responden menyatakan menyalakan rokoknya bila melihat iklan rokok. Sebesar 62,2 persen remaja memiliki kesan yang positif terhadap iklan rokok, 51,6 persen remaja dapat menyebutkan lebih dari 3 slogan rokok, dan 50 persen remaja merasa dirinya lebih percaya diri seperti yang dicitrakan oleh iklan rokok. Hal ini tampaknya harus diantisipasi dengan memperketat aturan iklan rokok. Misalnya larangan ditayangkannya iklan rokok di media elektronik.
Kenyataan ini tentulah sangat memprihatinkan karena rokok adalah salah satu pintu masuk narkoba.
Ketika kita percaya bahwa kesehatan masyarakat tidak ternilai, maka tidak sepatutnya negara bergantung pada pajak industri yang produknya jelas merusak kesehatan masyarakat.***
Penulis, Kepala Seksi Pengembangan Sumber Daya Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Bandung.
opini pikiran rakyat 31 mei 2010