Oleh Dachlan Abdul Hamied
Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama, akhir-akhir ini kembali mengundang Presiden Palestina dan Perdana Menteri Israel untuk kembali membahas perdamaian antardua negara tersebut. Terus terang saja, usaha ini masih tanda tanya besar. Untuk membahas persoalan dasarnya, ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan pengamatan untuk diketengahkan.
Pertama, konsep perdamaian Palestina-Israel bukan barang baru, artinya sudah beberapa kali diusahakan, tetapi kandas di tengah jalan. Kedengarannya damai itu indah, tetapi ujung-ujungnya selalu berbuntut kebrutalan. Adapun negeri yang disengsarakan dan terpenjara sudah bisa dibayangkan, yaitu Palestina. Bagi Israel, damai itu hanya basa-basi dan bersifat sementara karena sekadar menghindar sesaat atas kecaman-kecaman dunia. Di lain sisi, negara-negara Arab yang notabene mendukung Palestina sebenarnya hanya setengah hati. Antisipasi Liga Arab yang cepat atas rencana perdamaian akhir-akhir ini, bisa dianggap basa-basi yang tidak terukur dan tidak strategis. Kalau memang ada kemauan seharusnya dikemukakan dulu prasyarat-prasyarat dasar sebelum menuju meja perundingan.
Kedua, ada sisi ketimpangan kekuatan antara dua kubu yang berselisih. Di satu sisi, belum ada kesamaan pandang antarnegara yang bernaung di Liga Arab tentang perdamaian yang menyeluruh. Tampaknya negara-negara Arab kapok atas kekalahan perang melawan Israel pada 1967. Waktu itu, sejumlah kalangan sangat takjub pada kekuatan Israel dan merasa aneh dengan lemahnya negara-negara Arab. Untuk langkah-langkah selanjutnya, negara-negara Arab bercermin diri atas realitas kekuatan yang pada gilirannya mereka sering waswas dalam menentukan sikap. Di sisi lain, kemenangan Israel saat itu tidak hanya mampu menggerakkan komunitas Yahudi di Amerika Serikat, tetapi dukungan total dari publik negara Adidaya tersebut semakin kuat, kokoh, dan menyeluruh. Dengan demikian, bagi AS yang dimaksud merintis perdamaian adalah memperkokoh Israel sebagai pemegang kekuasaan dan kekuatan dominan.
Akhir-akhir ini terbukti juga percaya dirinya Israel melalui suara lantang Perdana Menteri Israel Netanyahu yang mengatakan, "Jerusalem" atau "Zion" muncul sebanyak 850 kali dalam Perjanjian Lama. Ia pun mengemukakan, klaim atas keseluruhan Jerusalem adalah "abadi dan tidak bisa dipisahkan". Pernyataan itu dikemukakan di depan pertemuan parlemen pada 12 Mei 2010 dalam rangka memperingati pendudukan Israel atas Jerusalem Timur dari Jordania pada perang 1967. Pembangunan pemukiman lebih tegas dikemukakan Eli Yishai, Menteri Dalam Negeri Israel, "Tidak ada dan tidak akan pernah ada pembekuan konstruksi di Jerusalem. Kami akan membangun di ibu kota tanah air abadi bangsa Yahudi, dan saya telah menegaskan hal ini kepada mitra kami Amerika Serikat dan kawan-kawan lainnya." Ini adalah pernyataan yang mengundang terjadinya pertempuran yang membahana. Padahal masyarakat dunia sering menyatakan, Jerusalem Timur adalah masa depan Ibu Kota Palestina.
Tuan Barack Husein Obama, anak Menteng yang menjadi Presiden Amerika Serikat, mempertontonkan cara pendekatan yang agak lain. Tokoh-tokoh Mesir pernah terkena magnet sang presiden ini ketika ia berpidato di negara tersebut yang dimulai dengan bacaan salam (assalamualaikum). Obama memberikan pengharapan dalam pidatonya, ada keinginan mendekati negeri-negeri Muslim. Persoalannya, apakah dengan lingkaran Yahudi yang begitu kokoh di semua lini akankah mampu menggoyang suasana dunia dengan mengubah sikap-sikap Yahudi yang begitu keras kepala? Bukankah ia mendapat kesulitan ketika ingin mengubah posisi Guantanamo menjadi penjara yang lebih beradab dan begitu sulitnya mengeluarkan tentara AS dari Irak? Di lain hal, AS mengalirkan balatentara ke Afganistan yang menabur beribu-ribu jumlah kematian warga sipil yang tidak berdosa. Tampaknya, anak Menteng ini perlu berulang-ulang mempelajari kepedihan kekuatan manusia lain yang ingin merdeka dan jauh dari penjajahan.
Ketiga, kalau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan negara-negara lainnya punya niat baik, apa salahnya sebelum mulai sidang, menempatkan dulu tentara perdamaian di wilayah tersebut. Amankan dulu dua wilayah itu untuk tidak saling tembak. Hentikan suara senjata dari dua belah pihak dan hentikan kebijakan yang menggeser kedaulatan masing-masing. Kemudian, baru duduk bersama. Usaha sekarang ini bisa dikatakan sebagai usaha sporadik dan bersifat sementara, artinya jauh dari sistematik.
Oleh karena itu, perdamaian bisa ditafsirkan hanya sebagai usaha pengalihan perhatian atas kegagalan dan hancur leburnya Irak dan Afganistan yang merembet juga ke Pakistan. Malapetaka dan korban di negara-negara tersebut bergelimang termasuk tentara AS dan NATO. Jadi, secara kasat mata di muka bumi ini masih berlangsung nuansa penjajahan, keserakahan, dan pemaksaan ideologi sebagai upaya pengalihan kekuasaan ekonomi. Kalau ada niat baik usaha perdamaian di Timur Tengah sebetulnya harus dilihat dari strategi kewilayahan/regional bukan bersifat bilateral.
Dengan demikian, perlu ada penyertaan seluruh negara lainnya yang dianggap budaya dan religinya sama. Jadi, usaha perdamaian itu selain antarsekte dan negara yang berselisih juga negara di Liga Arab, Israel, sampai ke Iran, Turki, Afganistan, juga negara lainnya yang terkait. Bila perlu, ada keterlibatan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Artinya, perdamaian harus diartikan sebagai usaha menyeluruh yang tidak memilah-milah negara. Sebab mencoba mengisolasi satu negara pasti akan menemukan kerancuan keputusan damai. Kesadaran seperti ini harus dimulai dari yang menganggap dirinya sebagai sponsor perdamaian.
Mudah-mudahan tulisan ini tidak dianggap sebagai tamparan destruktif, tetapi konstruktif. Kita perlu mengajak umat terus belajar dan menyadari pentingnya persaudaraan. Dari analisis situasi tersebut, mudah-mudahan bermanfaat dan bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi anak bangsa karena negeri ini banyak variasi yang bisa mengundang aneka kerawanan. Semoga. Amin.***
Penulis, mantan duta besar di Irak, pengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta.
opini pikiran rakyat 31 mei 2010