30 Mei 2010

» Home » Kompas » Krisis Utang Yunani

Krisis Utang Yunani

Kasus krisis ekonomi Yunani menarik. Biasanya, krisis utang melanda negara-negara berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Negara yang tergabung dalam Uni Eropa yang kuat kok bisa mengalami krisis utang?
Krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika berbeda dengan krisis Yunani. Krisis Amerika dipicu oleh krisis perbankan dan lembaga keuangan yang terlalu banyak memberikan kredit perumahan dengan standar rendah (subprime loans) dan transaksi derivatif yang sangat besar.
Sementara krisis Yunani tidak dipicu oleh krisis perbankan, tetapi karena krisis utang pemerintah. Yunani terlalu banyak meminjam pada masa lalu untuk membiayai pengeluaran yang jorjoran. Sebagai anggota Uni Eropa, Yunani dapat meminjam dengan bunga murah karena memiliki peringkat utang relatif baik karena ditunjang oleh kekuatan ekonomi Jerman dan Perancis.
Di samping itu, banyak bank investasi yang membujuk Yunani untuk terus meminjam, bila perlu Yunani melakukan pinjaman off balance sheet. Akibatnya, utang Yunani semakin besar (115 persen produk domestik bruto/ PDB) dan kemudian baru diketahui laporan keuangannya banyak rekayasa. Akibatnya, peringkat dan harga surat utang Yunani jatuh, padahal banyak bank Eropa memiliki surat utang Pemerintah Yunani (429 miliar dollar AS).


Dua minggu lalu, saya di Spanyol berbicara dengan beberapa bankir dan kalangan akademik untuk mengetahui dampak krisis Yunani terhadap negara-negara Eropa Selatan lainnya.
Banyak dugaan bahwa negara- negara Eropa Selatan yang sering disebut sebagai negara PIGS (Portugal, Italy, Greece, Spain) memiliki karakteristik yang nyaris sama: utang yang besar (Italia 116 persen dari PDB, Spanyol 52 persen PDB, Portugal 75 persen PDB), defisit anggaran yang tinggi dan ”terperangkap” dalam euro yang terlalu kuat.
Kesamaan karakteristik itulah yang mengkhawatirkan banyak pihak, bukan karena Yunani merupakan negara kecil sehingga harus diselamatkan dengan segala cara seperti halnya kasus Bank Century. Kesamaan karakteristik itulah yang berbahaya karena ekonomi Spanyol (PDB 1.464 miliar dollar AS) dan Italia (PDB 2.118 miliar dollar AS) jauh lebih besar daripada Yunani.
Total GDP negara PIGS 4.241 miliar dollar AS atau 12,8 kali Yunani. Ternyata, dalam waktu satu minggu, peringkat utang dari negara-negara PIGS anjlok dan harga surat utang mereka rontok. Segera terjadi efek berantai (contagion), harga saham dan mata uang di seluruh dunia anjlok.
Walaupun Uni Eropa dan IMF telah mempersiapkan dana krisis 1 triliun dollar AS dan Bank Sentral Eropa bersedia membeli surat-surat utang negara Eropa yang kena krisis, ternyata tetap tidak mampu menahan kemerosotan di pasar saham dan pasar uang. Akibatnya, Bank Spanyol dinasionalisasi dan yang lainnya dipaksa merger.
Tipikal IMF, saran yang diberikan adalah pengetatan fiskal besar-besaran, yang akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif di negara yang terkena krisis. Artinya, Yunani diperkirakan tidak akan mampu membayar tambahan utang biaya krisis sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi gagal bayar (default) dan restrukturisasi utang.
Utang dan defisit anggaran yang besar serta mata uang yang terlalu kuat merupakan kombinasi yang berbahaya. Karakteristik itulah yang harus diwaspadai Indonesia jika tidak ingin terkena dampak dari krisis ekonomi Eropa Selatan.
Selama lima tahun terakhir, utang Indonesia meningkat 30 persen, mencapai 178 miliar dollar AS dengan bunga sangat tinggi dibandingkan dengan negara seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam. Apalagi jumlah dana jangka pendek (hot money) yang masuk Indonesia sebelum krisis Yunani lebih tinggi dari tahun 2008, diperkirakan mencapai 110 miliar dollar AS, lebih tinggi dari cadangan devisa (78 miliar dollar AS).
Ini semua membuat Indonesia rentan (vulnerable) terhadap guncangan ekonomi eksternal. Dengan utang yang besar dan tingkat bunga tinggi, kita membuka peluang untuk menjadi korban gejolak eksternal. Memang sering diungkapkan bahwa rasio utang terhadap PDB Indonesia rendah.
Namun, indikator yang lebih penting sebetulnya adalah kemampuan pemerintah untuk membayar utang, yaitu rasio pembayaran pokok dan bunga terhadap pendapatan pemerintah yang sudah sangat tinggi, nyaris sepertiganya. Beberapa kelompok usaha swasta yang berutang terlalu tinggi berpotensi menjadi tambahan masalah.
Sebelum krisis Yunani, euro terlalu kuat, pernah mencapai 1,5 dollar AS/euro sehingga membuat negara-negara Eropa yang ekonominya relatif lemah semakin tidak kompetitif. Memang memiliki mata uang yang kuat membanggakan, tetapi jika uang kuat sebelum waktunya dan tidak didukung oleh fundamental, justru sangat merugikan. Dilema itulah yang dihadapi oleh negara-negara PIGS.
Mereka terperangkap dalam mata uang euro yang kuat. Seandainya mereka melepaskan diri dari euro, mereka akan mampu meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi. Akan tetapi, pilihan itu tidak mudah karena bergabung dengan euro membawa banyak manfaat lain.
Pengalaman negara-negara Asia Timur, Jepang (1951-1984 sebelum Plaza Accord), China (1985-saat ini) justru menggunakan kebijakan mata uang lemah dan utang minimum untuk meningkatkan daya saing ekspor, melindungi industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja dan menumpuk cadangan devisa. Kebijakan mata uang lemah adalah satu faktor mengapa beberapa negara Asia Timur mampu tumbuh di atas 10 persen dan mengejar ketinggalannya dari negara Barat.
Sejak euro menjadi mata uang tunggal Uni Eropa tahun 2002 ternyata sangat sulit sekali melakukan koordinasi fiskal antar- negara. Banyak negara anggota yang memiliki defisit anggaran jauh lebih tinggi dari kesepakatan yang ditetapkan (3 persen dari PDB).
Koordinasi moneter Uni Eropa hanya bisa efektif jika didukung oleh koordinasi fiskal. Sayangnya, hal itu sangat sulit terjadi karena masing-masing negara memiliki kewajiban sosial dan ekonomi yang berbeda. Hal itu bisa diatasi jika Uni Eropa berubah menjadi United States of Europe seperti halnya Amerika Serikat (USA) sehingga terjadi integrasi fiskal dan moneter.
Akan tetapi, secara politik, integrasi itu masih akan sulit terjadi dalam waktu dekat. Pilihan lain negara Eropa yang tidak memiliki disiplin fiskal terpaksa harus dikeluarkan dari Uni Eropa. Alternatif yang lebih baik adalah penurunan nilai euro 1,0-1,1 dollar AS per euro. Walaupun euro lemah sangat tidak disukai Jerman, tetapi kebijakan itu akan memperkuat daya saing negara-negara Eropa dan berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi PIGS.
Rizal Ramli Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan pada Kabinet Persatuan Nasional

Opini Kompas 31 Mei 2010