SALAH satu andalan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan adalah program kredit usaha rakyat (KUR). Sejak digulirkan mulai 2007, penyaluran KUR oleh enam bank yang ditunjuk pemerintah terus membesar. Alhasil, makin banyak pengusaha skala kecil yang telah menikmati KUR dan bertumbuh skala usahanya.
Belakangan ini soal KUR kembali menjadi polemik di berbagai media massa. Muncul sinyalemen bahwa nilai penyaluran KUR mengalami kecenderungan menurun. Terbukti, dari alokasi yang seharusnya terealisasi Rp 5 triliun pada kuartal pertama tahun ini, hingga awal Mei ini baru sekitar Rp 2 triliun yang tersalurkan. Ada kekhawatiran target penyaluran Rp 20 triliun yang tersedia tahun ini bisa tidak tercapai.
Dengan penambahan anggaran menjadi Rp 20 triliun di dalam APBNP 2010 membuktikan pemerintah sebenarnya ingin memberi dukungan nyata pada sektor riil untuk terus dapat mengembangkan diri. KUR yang disalurkan kepada setiap usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKM-K) tersebut dapat digunakan baik untuk kredit modal kerja (KMK) maupun kredit investasi (KI).
Selain itu, bank pelaksana dapat menyalurkan KUR, secara langsung kepada UMKM-K dan/atau tidak langsung melalui lembaga linkage dengan pola executing dan/atau channeling.
***
KUR mendapat fasilitas penjaminan PT Askrindo dan PT Jamkrindo. KUR disalurkan melalui BRI, Bank Mandiri, BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Bukopin. Dengan demikian, program KUR ini dinilai masih efektif untuk membantu menggerakkan kegiatan perekonomian rakyat.
Apalagi pemerintah sudah menurunkan suku bunga KUR untuk Rp 5 juta ke bawah yang semula 24% menjadi 22%. Sedangkan suku bunga KUR di atas Rp 5 juta hingga Rp 500 juta yang semula 16% turun menjadi 14%. Karena itu, masalah dan penyebab menurunnya target penyerapan KUR harus segera dicari jalan keluarnya oleh pemerintah.
Belum Paham
Setidaknya ada dua alasan atau penyebab untuk menjawab persoalan semakin rendahnya penyaluran KUR. Alasan pertama adalah masih banyak orang terutama di daerah-daerah yang belum memahami dengan baik program KUR tersebut. Harus dipahami bahwa Indonesia adalah negara besar dan luas. Negara ini juga dikenal sebagai negara kepulauan dan ribuan pulau besar dan kecil. Kondisi infrastruktur di daerah-daerah juga tidak sebaik di kota-kota besar dengan berbagai fasilitas dan kemudahannya.
Mengingat skim KUR adalah untuk mendorong kegiatan perekonomian rakyat oleh lapisan pengusaha skala kecil, yang notabene mereka berdomisili di daerah-daerah, otomatis pemahaman yang terbatas menyulitkan mereka mengakses KUR di bank-bank yang telah ditunjuk. Dengan demikian, persoalan utamanya adalah kurang efektifnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini kantor Kementerian Koperasi dan UKM.
Karena itu, semua jajaran Kementerian Koperasi dan UKM harus bekerja keras untuk menyosialisasikan program KUR ke tengah masyarakat. Semua kepala Dinas Koperasi dan UKM harus lebih rajin terjun ke tengah masyarakat untuk berinteraksi, sehingga program KUR bisa berjalan baik. Dari sini pemerintah bisa mengatasi kelambanan penyaluran sekaligus melakukan evaluasi untuk perbaikan.
Dalam penelitian dan pengamatan langsung di lapangan saat penyaluran KUR dilakukan oleh perbankan, masih muncul banyak pertanyaan dari pengusaha kecil terkait dengan persyaratan memperoleh krediit itu. Pertanyaan ini tergolong mendasar yang mengindikasikan belum berjalannya secara efektif sosialisasi program oleh pemerintah.
Dari sisi perbankan sudah siap untuk menyalurkan, namun dari sisi pengusaha kecil yang berhak menikmati kredit belum siap. Terbukti mereka banyak bertanya soal-soal teknis administras. Jadi ketidaksiapan calon debitur karena tidak memperoleh informasi yang akurat dari pihak yang berwenang.
Di sisi lain, sulit mengharapkan pihak perbankan melakukan sosialisasi secara intensif ke tengah masyarakat karena tingkat kesibukan kerja yang tinggi di perbankan. Jadi sebaiknya pemerintahlah yang melakukan sosialisasi tersebut karena pemerintah memiliki perangkat, sistem dan jaringan koordinasi dari pusat hingga ke daerah-daerah.
Alasan kedua adalah terdapat sejumlah debitur yang sudah ‘’naik kelas’’ (upgrade) menjadi debitur komersial seiring dengan perbaikan kinerja usaha debitur. Debitur yang berhasil tidak mungkin lagi memperoleh KUR sehingga untuk melanjutkan usahanya dia harus beralih menjadi debitur komersial. (10)
— Ryan Kiryanto, analis ekonomi dan keuangan
Wacana Suara Merdeka 31 Mei 2010