DALAM tiga dasawarsa ini, di kawasan Tanjung Priok, Jakarta tercatat dua kali terjadi bentrok (tidak seimbang) antara aparat dan warga. Akar masalahnya sama, yakni berkisar adanya perbedaan persepsi yang menjalar pada perbedaan interpretasi, kemudian bermuara pada aksi atau tindakan dan perilaku.
Tulisan ini mencoba mendedah akar masalah terkait rencana perluasan kawasan pelabuhan dan pembongkaran makam Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau Mbah Priok. Makam memang dapat dimaknai dengan berbagai arti, bergantung siapa yang memahami. Mungkin dimaknai sebagai tempat terakhir disemayamkan jasad seseorang yang pada kurun waktu tertentu musnah, tidak ada bekas kecuali tulang belulang yang tersisa. Apalagi kalau yang dimakamkan adalah orang awam kemungkinan diganti dengan jasad lain sangat besar, dipindahkan makamnya pun ahli warisnya tidak akan protes.
Bagi sebagian besar umat Islam, makam dipersepsikan dan diinterpretasikan sebagai salah satu sarana pengingat akan berakhirnya hidup seseorang.
Dalam bahasa agama, makam juga dapat berfungsi sebagai ayat kauniyah yakni peristiwa alam yang dapat difungsikan sebagai sarana mengingat kekuasaan Allah. Karena itu, tanpa memedulikan siapa yang terbaring di makam itu, apakah konglomerat atau orang kebanyakan, apakah pejabat atau rakyat, ketika akan memasuki kompleks makam, Islam mengajarkan untuk berdoa,’’Assalamu’alaikum ya ahla al diyaar minal mu’miniina wal muslimiina wa inna insya Allah bikum laahikuun nasalullah lana wa lakum al’aafiyah’’.
Doa masuk makam itu mengajarkan dan mengandung makna kesetaraan dan kesejajaran bagi siapa saja yang dimakamkan, tanpa membedakan orang berpangkat atau bukan. Ada satu hal yang sangat esensial dari doa tersebut yakni adanya ajaran bahwa kami akan menemui-Mu pada saatnya (wa inna insya Allah bikum laahikuun), yaitu bahwa semua dan siapa saja akan mati.
Jadi Panutan Mbah Priok dalam pandangan masyarakat adalah sosok karismatik yang menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat muslim. Bahkan diyakini ketokohannya bukan hanya sebagai sosok sebagaimana kebanyakan pahlawan dan mereka yang dianggap sebagai pahlawan. Mbah Priok juga diyakini sebagai salah satu di antara sekian auliyaullah. Dari sisi ini wajar (dan mestinya dipahami oleh pemangku negeri ini dalam segala tingkatannya) kalau masyarakat akan membela dan mempertahankan kekaromahan seseorang, termasuk mempertahankan keberadaan makamnya. Jadi, ketika dirasa ada pihak tertentu yang berupaya mencederainya, masyarakat membela sedemikian rupa karena dalam pandangan mereka sikap yang diambilnya itu bagian dari ajaran agama.
Dalam melakukan sesuatu tindakan masyarakat sangat dipengaruhi oleh apa yang melatarbelakangi sesuai dengan apa yang mereka ketahui dan yakini. Apa yang dilakukan masyarakat di kawasan Koja, Priok, Jakarta Utara, dalam mempertahankan makam Mbah Priok adalah sesuai dengan persepsi dan interpretasi mereka tentang makam dan karisma tokoh itu.
Menarik pula disimak pernyataan pimpinan Pelindo II bahwa pengelola pelabuhan itu sangat membutuhkan perluasan areal pelabuhan, dan dikesankan bahwa membongkar makam Mbah Priok merupakan suatu keharusan untuk merealisasikan rencana itu. Semua itu tentu untuk kepentingan serta menunjang globalisasi dan era pasar bebas. Semakin cepat terealisasi semakin baik, sehingga terkesan dan seakan-akan semua hal yang menghambat rencana itu harus disingkirkan.
Untuk itulah ketika masyarakat dianggap menghalangi proses perluasan pelabuhan itu dengan menghadang di jalan yang menuju makam, mereka berhadapan dengan kekuatan yang siap mewujudkan keinginan kuat memperlancar arus laju sektor ekonomi ini. Bentrok Priok jilid II pun tak terelakkan ketika dua sisi kepentingan berhadap-hadapan dengan berpegang pada harga mati persepsi, interpretasi, dan aksi masing-masing. Untuk kali ke sekian terjemahan pembangunan (atas nama dan untuk kepentingan ekonomi) di negeri ini harus dengan tumbal pertumpahan darah sesama anak bangsa.
Inilah salah satu gambaran betapa bangsa ini begitu gegap gempita menyambut dengan ramahnya globalisasi dan pasar bebas dengan menyiapkan fasilitas bagi masuknya barang-barang impor. Padahal semua tahu keramahan yang diberikan dengan mengorbankan kepentingan rakyat kecil tidak akan dibalas oleh keramahan pasar bebas terhadap mereka. Sebab pasar bebas hanya ramah untuk mereka yang berduit, yang banyak uang, dan tidak akan ramah jepada rakyat kecil dan masyarakat miskin.
Bukti apalagi yang kita perlukan untuk meyakinkan bahwa invisible hand-nya Adam Smith telah gagal mengatur dirinya sendiri dan pasar bebas karena ternyata di negeri ini untuk kepentingannya telah menumbuhkan egoisme sektor dan mengabaikan sektor lain dan ternyata sektor ekonomi pun tidak mampu mengatur sendiri untuk menghindarkan diri dari bentrokan?
Kita memerlukan model pembangunan (termasuk pembangunan ekonomi) yang ramah, bisa menyapa semua lapisan, tidak egois, terbiasa saling menghargai satu sama lain, saling menghormati dan mengakui keberadaan pihak lain juga punya kepentingan seperti dirinya.(10)
— Drs H Imam Munadjat SH MS, staf pengajar Unissula Semarang, peserta program S3 ekonomi Islam Unair Surabaya
Wacana Suara Merdeka 20 April 2010