Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata masih mau mendengar jeritan rakyat.
MK memutuskan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dianggap inkonstitusional, bertentangan dengan konstitusi.
Berdasarkan penilaian MK, UU tersebut melanggar UUD 1945, terutama Pasal 28 D Ayat (1). Pemerintah sebelumnya ngotot menolak tudingan UU tersebut bentuk liberalisasi sektor pendidikan. Pemerintah kemudian menjadikan sejumlah perguruan tinggi negeri unggulan—Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Airlangga (Unair)—sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Dengan status BHMN, ketujuh PTN unggulan itu seakan “diperbolehkan” melaksanakan otonomi penuh. Otonomi penuh diterjemahkan sebagai “boleh memungut biaya pendidikan—termasuk jumlah mahasiswa—secara bebas, tanpa pengaturan pemerintah lagi.”
Walhasil, muncullah ironi dari penerapan konsep BHMN itu. Untuk berkuliah di PTN favorit, calon mahasiswa harus membayar ongkos yang mahal, bahkan beberapa di antaranya lebih mahal dari universitas swasta sekalipun. Sebagai gambaran kasar, untuk mengikuti seleksi masuk pendahuluan PTN favorit di Bandung, misalnya, calon mahasiswa harus membayar formulir pendaftaran Rp 800.000, ini kan jumlah yang tidak sedikit bagi rata-rata masyarakat di negeri ini. Belum lagi bila dinyatakan diterima, calon mahasiswa harus berani menyumbang setidaknya Rp 50 juta atau senilai lima buah sepeda motor baru.
Bagi mereka yang berkecukupan, tentu saja tidak ada masalah, meski mungkin kemampuan otak mereka pas-pasan. Seharusnya, bagi yang berpunya dan cenderung malas belajar, tersedia cukup banyak pilihan bagi mereka, selain perguruan tinggi swasta yang kini semakin bagus, juga bersekolah di luar negeri.
Namun, bagi kaum marginal, pilihan mereka amat sangat terbatas. Kondisi ini sempat tercium oleh sebuah negara sahabat yang kemudian mencoba memberdayakan sejumlah perguruan tinggi keagamaan—universitas Islam negeri—untuk membuka fakultas penghasil tenaga profesi seperti teknik dan kedokteran, tentu saja dengan biaya yang relatif tetap terjangkau.
Mereka khawatir tenaga dokter yang dihasilkan PTN favorit akan teralienasi dari masyarakat karena mereka sudah sepenuhnya mengalami fase pendidikan yang terkomersilkan.
Ironi yang lain, negara seolah-olah cuci tangan dari kewajiban mendidik rakyatnya. Bagaimana tidak? Dengan ongkos pendidikan yang mahal di perguruan tinggi—yang notabene masih didukung dengan anggaran negara alias pajak rakyat—kok tega-teganya mengenakan sedemikian mahal. Dengan bahasa sederhana, ini merupakan sebuah “pengkhianatan” terhadap masa depan bangsa.
Harus diakui, untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas memang tidak murah. Sebuah perguruan tinggi yang unggul harus menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dinamis. Kondisi tersebut tentu saja membutuhkan beberapa prasyarat seperti ketersediaan dosen yang kompeten atau bahkan mumpuni, fasilitas penunjang belajar—misalnya ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, dan jaringan Internet—yang pepak (lengkap), sehingga dosen dan mahasiswa dapat mengakses pengetahuan seluas-luasnya.
Menjadi tugas negara untuk menyediakan lembaga pendidikan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat, terlebih bagi kalangan yang secara ekonomi kurang beruntung, tapi memiliki kualitas inteligensia yang baik. Dengan keberhasilan menempuh pendidikan di PTN tersebut, akan semakin banyak warga masyarakat yang diharapkan mengalami peningkatan kualitas penghidupan. Pada gilirannya, kelompok terdidik yang memiliki penghidupan lebih baik dari generasi orang tua mereka inilah yang akan turut memperkuat pembentukan kelas menengah di negeri ini.
Penguatan kelas menengah ini sangat penting dan memiliki arti strategis, karena dengan demikian mampu memperkokoh kesinambungan sistem demokrasi yang kita anut. Sejarah membuktikan, sebagian besar negara maju yang memiliki kesejahteraan relatif tinggi, iklim demokrasi pun terjamin. Bukankah Boediono, yang kini menjadi Wakil Presiden, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Gadjah Mada, 24 Februari 2007, menyampaikan bahwa demokrasi akan dapat dipertahankan apabila pendapatan per kapita masyarakat berada pada kisaran US$ 6.000 per tahun. Untuk mengejar angka tersebut bagi orang yang berpendidikan pas-pasan tentu saja amat berat. Saat ini saja, pendapatan rata-rata penduduk Indonesia baru mendekati US$ 3.000 per kapita.
Kalau pendapat Boediono tersebut diterjemahkan lebih jauh, tentu saja masyarakat kelas menengah yang kuat lah yang seharusnya dikembangkan negeri ini. Kelas menengah bukan hanya tahu bagaimana mematuhi hak dan kewajiban, mereka juga mampu memerintah bagi kepentingan bersama, berdasarkan prinsip persamaan dan penghormatan. Kelas itu harus diberi kesempatan berkembang. -Oleh : Achmad Djauhar Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja - Oleh : Achmad Djauhar Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Opini SoloPos 20 April 2010
19 April 2010
Pendidikan mahal ancam kelas menengah
Thank You!