19 April 2010

» Home » Jawa Pos » Gejala Ritual yang Terbelah

Gejala Ritual yang Terbelah

DALAM ajaran Islam, ibadah haji -termasuk di dalamnya umrah- merupakan rukun Islam kelima yang wajib dikerjakan sekali dalam seumur hidup. Tentu saja, yang diwajibkan dalam ibadah haji itu adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imran:97). Kemampuan dalam hal itu meliputi fisik dan materi. Bahkan juga dipersyaratkan adanya jaminan keamanan selama pelaksanaan ibadah haji.

Karena persyaratan yang begitu berat, Allah menempatkan mereka yang berhaji dan berumrah dalam posisi yang sangat terhormat. Allah menyebut mereka sebagai tamu-tamu Allah (wafdullah). Allah berjanji, jika mereka berdoa, permintaannya akan dikabulkan. Bila memohon ampunan, mereka akan diampuni. Allah juga memuliakan mereka dengan janji akan menghapuskan dosa dan kesalahan sehingga menjadi seperti bayi yang baru lahir dari ibunya. Namun, janji tersebut jelas bersyarat, yakni mereka yang berhaji dan berumrah tidak melakukan perbuatan yang tercela selama beribadah.



Tampaknya, janji-janji tersebut mendorong sebagian besar umat Islam untuk menjadi tamu-tamu Allah. Karena itu, tidak heran jika pendaftar haji terus bertambah dari tahun ke tahun.

Jika tujuan berhaji adalah menjadikan orang lebih baik, mengapa praktik korupsi dan suap di negeri ini terus bertambah? Bukankah mayoritas pejabat publik di negeri ini muslim dan sudah berhaji? itu berarti, ada yang salah dengan cara kita dalam mempraktikkan ajaran agama.

Pertanyaan tersebut salah satunya dapat dijawab melalui kasus Gayus Tambunan (GT) yang telah dijadikan tersangka tindak pidana korupsi di Direktorat Jenderal Pajak. Dalam salah satu pengakuannya, GT mengatakan bahwa sebagian uang hasil korupsi itu digunakan untuk membiayai ibadah umrah seorang hakim. Kebetulan, Pak Hakim ini adalah orang yang menangani perkara GT (Jawa Pos, 18/4/2010).

Meski pengakuan GT bersifat kasuistis karena dilakukan oleh oknum, kejadian itu jelas dapat menyisakan kerisauan bagi agamawan. Karena itu, pantas rasanya jika fenomena tersebut mendapat atensi dari kalangan agamawan.

Dalam hal ini, tentu persoalannya tidak hanya berkaitan dengan sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah tersebut. Sebab, dalam menentukan sah atau tidaknya ibadah, hanya Allah yang tahu. Yang patut dipertanyakan adalah layakkah seseorang menjalankan ibadah dengan jalan yang salah? Ibarat kita ingin mencuci pakaian, tidak mungkin pakaian itu dicuci dengan menggunakan air najis. Sebab, jika itu yang dilakukan, bukan kebersihan pakaian yang akan diperoleh.

Jadi, beribadah jelas tidak dapat menggunakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Selain tidak sah, cara beribadah itu jelas tidak akan berdampak pada peningkatan keberagamaan seseorang. Pertanyaannya, buat apa beribadah jika tidak mampu menghadirkan kesalihan bagi diri dan masyarakat di sekitarnya?

***

Istilah "ritual yang terbelah" disadur dari disertasi Muslim Abdurrahman yang berjudul On Hajj Tourism: In Search of Pity and Identity in The New Order Indonesia (2000). Karya tersebut menggambarkan betapa ritual haji di Indonesia sejak masa Orde Baru tidak hanya berfungsi sebagai media untuk meneguhkan identitas keagamaan seseorang. Tetapi, oleh sebagian kalangan, itu digunakan sebagai alat untuk mempertegas identitas kelas.

Seseorang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, terutama yang berasal dari kelas menengah ke atas, biasanya memilih layanan plus. Karena itu, mereka pun memilih untuk beribadah dengan ONH plus. Dengan biaya yang hampir dua kali lipat dari ONH biasa, layanan yang diberikan oleh biro perjalanan haji dan umrah jelas berkelas.

Alasan yang dikemukakan mereka sangat beragam. Misalnya, keinginan untuk beribadah dengan lebih khusyuk dan nyaman. Selain itu, ada keinginan untuk menjalankan ibadah secara lebih efektif dan efisien. Sebab, haji dengan model biasa pasti membutuhkan waktu yang relatif lama. Sedangkan dengan haji plus, mereka dapat menghemat waktu sehingga dapat lebih awal kembali ke tanah air.

Bermula dari budaya itulah, pergeseran makna beribadah itu lambat laun terjadi. Seseorang yang berhaji dan berumrah tidak sekadar beribadah. Mereka pada tingkat tertentu juga ingin menunjukkan kelas sosialnya. Dalam perspektif dunia modern, kita dapat melihat betapa kuat pengaruh kapitalisme dalam beribadah. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kapitalisme telah begitu jauh memengaruhi cara pandang seseorang dalam menjalankan ibadah, termasuk berhaji dan berumrah.

Ibadah haji seharusnya merupakan perjalanan transformasional atau rite the passage. Itu berarti, para tamu Allah harus merevisi identitas keagamaannya sehingga menjadi lebih baik.

Dalam kasus GT yang menghebohkan tersebut, sangat mungkin Pak Hakim berniat tulus untuk beribadah sebagaimana layaknya kebanyakan umat Islam. Sepulang melaksanakan ibadah umrah, Pak Hakim pun berharap memperoleh pengampunan atas dosa dan kesalahan yang sudah dijalani. Yang sangat disayangkan, Pak Hakim menempuh jalan yang salah karena beribadah dengan sumber biaya yang tidak bersih. Karena itu, dalam konteks ini, Pak Hakim berarti telah mengalami gejala split of personality.

Pak Hakim jelas tahu bahwa bersekongkol untuk melakukan tindak korupsi adalah perbuatan melanggar hukum. Tetapi, pengetahuan Pak Hakim ternyata belum mampu menghindarkan diri dari godaan yang mengitarinya. Akibatnya, dia terjebak dalam permainan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Perbuatan Pak Hakim itu, tampaknya, juga menjadi tren pejabat publik dan selebriti kita. Mereka begitu rajin menjalankan ibadah haji dan umrah. Bahkan, sedapat-dapatnya ibadah haji dan umrah itu dijalankan setiap tahun dengan menggunakan layanan plus. Persoalan sumber dana yang menjadi biaya perjalanan pun sering kali kurang begitu diperhatikan.

Bahkan, niat beribadah acap kali tumpang tindih dengan usaha menunjukkan status kelas dan keinginan berekreasi. Karena itu, jangan heran jika sepulang menjalankan ibadah haji dan umrah mereka tidak kunjung memperlihatkan diri sebagai pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. (*)

*). Dr Biyanto MAg, dosen Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

Opini Jawa Pos 20 April 2010