Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007 memuat empat akronim yang mengandung makna orang, pelaku, atau perbuatan orang yang dikategorikan tidak baik, yaitu petrus, curanmor, curas, dan perek. Kemungkinan besar kamus besar itu akan ditambah dengan akronim kelima: markus, apabila Edisi Keempat kelak diterbitkan karena akronim itu akhir-akhir ini sangat sering diucapkan.
Apa yang membedakan antara akronim petrus dan markus dengan curanmor, curas, dan perek? Akronim curanmor, curas, dan perek terlihat cukup memiliki dasar pembentukan yang wajar. Tetapi, tidak demikian halnya dengan petrus (penembak misterius) dan markus (makelar kasus). Beberapa perspektif dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini.
Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata, atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Misal rudal untuk peluru kendali (KBBI Edisi Ketiga). Perihal akronim dalam perspektif ilmu bahasa dan aplikasinya dalam teknologi informasi telah dijelaskan oleh Zahariev [(A) Acronym, disertasi, 2004].
Akronim terlalu pendek kurang disukai karena berisiko ditemui akronim yang sama tetapi berbeda makna. Sebaliknya, akronim yang terlalu panjang dapat merepotkan. Kesesuaian dengan kata-kata atau makna yang diwakili merupakan hal penting, di samping perlunya akronim itu mudah diucapkan.
Konflik pengertian dengan kata lain atau akronim lain dapat menimbulkan komplikasi yang tidak perlu. Pembentukan akronim dalam perspektif etika bahasa dapat mengacu pada pendapat Wittgenstein (1889-1951, filsuf bahasa, matematika, dan logika) yang menyatakan bahwa perkataan adalah sebuah tindakan moral, sehingga perkataan yang benar adalah yang didasari dengan etika, moralitas, dan logika yang baik.
Sangat kecil kemungkinan bahwa proses pembentukan kedua akronim tersebut secara kebetulan menghasilkan kata yang sama dengan nama orang yang dimaksud di atas, sehingga patut diduga bahwa pengambilan kedua nama itu sebagai akronim memang disengaja. Jika dugaan ini benar, maka proses pembentukan akronim petrus dan markus tidak bersesuaian dengan pendekatan etika bahasa: yaitu menciptakan makna berlawanan untuk kata yang bermakna baik dan sudah menjadi nama orang yang sangat dihormati.
Etika komunikasi telah banyak diperhatikan dan dijadikan dasar untuk berkomunikasi sejak teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dan dampaknya menjadi sangat luar biasa (Beckett, 2003; Foley and Pastore, 2000). Penyebutan akronim markus secara berulang-ulang dan secara masif oleh media masa dan masyarakat berpotensi melembagakan stereotip pengertian negatif terhadap kata markus, sehingga kalangan yang belum mengetahui bahwa kata markus sampai saat ini dikenal sebagai nama orang, dapat memiliki persepsi keliru jika bertemu dengan orang yang bernama Markus.
Kebaikan atau kejahatan dapat menjadi sangat besar dampaknya karena penggunaan media komunikasi sosial yang intensif dan efektif. Tetapi, bukan media yang menjadikan hal itu, karena manusialah yang memilih dan menggunakan media untuk maksud-maksud baik atau maksud-maksud jahat.
Pilihan-pilihan itulah yang merupakan pokok persoalan etika dalam berkomunikasi, terutama bukan hanya oleh yang menerima informasi, yaitu para pemirsa, pendengar, dan pembaca, tetapi terlebih mereka yang mengelola perangkat komunikasi sosial dan yang menentukan struktur informasi, kebijakan, dan isi informasinya. Termasuk dalam kelompok ini ialah para pejabat, eksekutif, pemilik, penerbit, manajer siaran, editor, direktur pemberitaan, produser berita atau produser acara, penulis, koresponden dan kontributor yang menggunakan istilah dan akronim yang tidak bersesuaian dengan etika komunikasi. Bagi mereka, persoalan etika menjadi sangat penting: Apakah media digunakan untuk hal yang baik atau hal yang jahat? Prinsip-prinsip etika dan moralitas yang relevan dalam bidang lain juga berlaku bagi komunikasi sosial, termasuk penggunaan akronim yang taat etika, yang tidak ditemui pada akronim petrus dan markus.
Etika dalam berinteraksi antarbudaya juga menjadi perhatian luas, tidak saja karena semakin intensifnya pergaulan antarbangsa, tetapi juga karena teknologi informasi dan komunikasi telah berhasil menembus segala tempat di setiap waktu secara intensif (Capurro, 2008; Himma 2008). Ketidaktaatan kepada etika dalam berinteraksi antarbudaya telah banyak menimbulkan persoalan di berbagai negara.
Pembuatan kitab dan kartun yang tidak menghargai kebudayaan lain merupakan sedikit contoh dari banyak persoalan yang terkait dengan pelanggaran etika interaksi antarbudaya. Secara sadar atau tidak sadar pengabaian etika interaksi antarbudaya telah terjadi dalam pembentukan dan penggunaan akronim petrus dan markus. Dua nama pribadi yang sangat dihormati oleh suatu budaya telah digunakan sebagai akronim yang sangat tidak baik maknanya. Praktik ini dapat dimengerti sebagai salah satu sikap menjauh dari kearifan berbahasa, sejalan dengan fenomena berbahasa yang dibahas oleh Rahyono dan kawan-kawan (2005).
Pembentukan dan penggunaan akronim petrus dan markus sudah terjadi dan bahkan akronim petrus telah tercantum di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, sehingga dapat dikatakan sangat sulit untuk menghapuskannya, juga untuk menghapusnya dari ingatan kolektif.
Apabila proses pembentukan akronim seperti itu menjadi kecenderungan umum, akan terbentuk banyak akronim baru yang menggunakan nama orang yang sudah lazim digunakan sejak ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Untuk pemaknaan yang baik pun, kecenderungan tersebut tetap merupakan pilihan yang tidak baik menurut sudut pandang ilmu bahasa dan etika, apalagi jika dengan pemaknaan tidak baik.
Opini Republika 20 April 2010
19 April 2010
Akronim Markus, Gautama, dan Anisa
Thank You!