HASIL Pilwalkot Semarang 2010 mematahkan hasil-hasil survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga ataupun yang dilakukan oleh tim sukses para kandidat. Bahkan mematahkan teori bandwagon effect, tentang kecenderungan orang-orang melakukan atau memercayai suara mayoritas dari hasil survei yang dirilis menjelang hari H pemungutan suara.
Khususnya hasil survei elektabilitas yang dapat dimaknai sebagai bagian dari strategi kandidat untuk merebut hati pemilih agar mendapat dukungan, terutama pemilih dari kandidat lain, dan juga mengarah agar nyali kandidat lain menjadi kecil.
Pengalaman survei pada pemilu-pemilu yang lalu dan dirilis media tidak ada yang keliru, bahkan mendekati hasil pemilu, selama metodologinya dilakukan dengan benar dan tepat sasaran. Namun, dalam Pilwakot Semarang kali ini telah terjadi efek liar (bradley effect) yaitu hasil survei berbalik arah, karena kandidat yang selama ini menang dalam survei justru dikalahkan oleh kandidat lain yang memang sudah diperhitungkan, bahkan kompetisinya sangat ketat.
Hasil survei elektabilitas bagi semua kandidat sebetulnya sudah didiskusikan, bahkan dipublikasi menjelang hari H, hasilnya masih banyak pemilih yang belum menentukan pilihannya. Lebih tepatnya masih banyak suara liar yang masih dapat dikelola dan nampaknya suara liar ini dibiarkan tetap liar, sekali lagi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).
Lalu bagaimana efek liar tersebut dapat terjadi? Hasil penghitungan suara cepat (quick count) pilwalkot secara on line (www.kpukotasemarang.info) dari total 2.802 TPS yang masuk 80% (2.240 TPS) pada pukul 21:56:53 memperlihatkan pasangan Mahfudz Ali-Anis Nugroho Widharto memperoleh suara 31,165%, Harini Krisniati-Ari Purbono 9,333%, Bambang Raya Saputra-Kristanto 17,029%, M Farchan-Dasih Ardiyantari 8,433%, dan Soemarmo-Hendrar Prihadi 34,04%. Pilwalkot dapat dipastikan berlangsung hanya satu putaran saja, hal tersebut sesuai Pasal 107 Ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah perbaharui menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan hasil quick count dapat dijelaskan bahwa kemenangan Soemarmo-Hendrar Prihadi (Marhen) lebih banyak ditentukan oleh beberapa faktor: pertama faktor massa mengambang (floating mass) seperti temuan survei Yayasan JalanMata pada 6-8 April 2010 dengan jumlah sampel 278 responden. Melalui metode multistage random sampling, dan memiliki toleransi kesalahan (margin of error) 5 persen pada tingkat kepercayaan 90 persen. Responden tersebar di 16 kecamatan, di 32 kelurahan, dan 64 RT, membuktikan bahwa 39,53 persen responden belum menentukan pilihan.
Kedua; faktor pemilih yang berganti-ganti pilihan atau pemilih yang tidak setia pada satu partai (swing voters) misalnya kampanye hitam (black campaign) baik yang terjadi saat debat kandidat maupun melalui ruang/media lainnya ternyata telah menumbuhkan simpati pemilih (underdog effect).
Mudah Diingat Ketiga; faktor politik uang. Hasil survei membuktikan bahwa jika ada pihak yang memberi uang/barang untuk menggunakan hak pilih, nampaknya masih memengaruhi perilaku politik transaksional yaitu hanya 10,07% responden yang menerima dan memilih sesuai pesanan pemberi, di sisi lain 47,12% responden menerima dan memilih sesuai dengan nurani, menolak 30,58%, menerima, dan tidak memilih 6,83%, menolak dan tidak akan memilih 5,4%.
Keempat; faktor pencitraan Marhen melalui tampilan fisik (foto) dalam iklan politik dan surat suara ternyata telah membuai pemilih karena memudahkan untuk diingat bahkan pemilih telah mengabaikan visi, misi, dan program kandidat serta persoalan moral.
Kelima; figur dan kiprah Marhen sebagai aktivis pemuda dan pengurus beberapa organisasi dan partai jelas mempunyai nilai tambah tersendiri dalam mendulang suara, tentu masih banyak faktor-faktor teknis lain yang sulit untuk didefinisikan serta tidak menutup kemungkinan adanya kecenderungan dengan kombinasi faktor-faktor lain yang sangat menentukan.
Simpulannya, hasil pilwakot harus disikapi dengan elegan dan para kandidat harus saling bahu-membahu membangun Kota Semarang dengan menyerahkan visi, misi, dan programnya kepada yang menang.
Akhirnya, hasil pilwalkot makin mengukuhkan teori Samuel P Huntington (1991) dalam bukunya The Third Wave: Democration in the Late Twentieth Century, bahwa demokrasi saat ini memang sulit diprediksi. (10)
— Doktor Ari Pradhanawati, dosen FISIP Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 20 April 2010