'Negeri Gajah Putih' adalah negeri paradoks. Mengklaim diri sebagai Land of Smile, tapi pada saat bersamaan gonjang-ganjing politik yang disertai pengerahan massa dan kekerasan kerap terjadi. Instabilitas politik di Thailand berlangsung sama tuanya dengan usia monarki parlementer Thailand sendiri. Sejak Kerajaan Siam (monarki absolut) berubah bentuk menjadi monarki konstitusional (parlementer) pada 1932 (yang kemudian berganti nama menjadi Thailand pada 1939). Puluhan kali kerusuhan politik dan kudeta berdarah maupun tak berdarah mewarnai negeri ini. Perdana Menteri Thailand berganti puluhan kali dengan durasi pemerintahan yang singkat. Pemerintahan militer yang tidak demokratis bergantian memimpin negeri dengan pemerintahan sipil, yang juga tak bisa dibilang semua demokratis. Yang paling menarik adalah pada 2008, saat perdana menteri (PM) Thailand berganti hingga empat kali. Uniknya hanya satu di antara empat PM tersebut yang terpilih melalui mekanisme pemilu. Selebihnya karena kudeta tidak berdarah dan karena PM sebelumnya dilengserkan mahkamah konstitusi.
Ritual festival Songkran tahun ini, alias peringatan tahun baru tradisional Thailand yang berlangsung pada pertengahan April setiap tahunnya, diwarnai kekerasan. Hampir 30 orang tewas dari unsur aparat maupun warga sipil pada bentrokan 10 April 2010. Satu di antaranya adalah wartawan asal Jepang. Kekerasan itu seperti mengulang tragedi yang sama pada April 2009, saat massa berkaus merah berhasil menggagalkan ASEAN Summit di Hotel Royal Cliff Pattaya dan juga mengumbar kekerasan di kantor Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva.
Songkran adalah seperti Lebaran bagi warga muslim Indonesia. Saatnya untuk kembali ke kampung halaman dan bersilaturahim dengan keluarga. Maka, ketika Songkran menjadi berdarah, tidak semestinya berair (karena Songkran memang biasa dirayakan dengan saling menyiram air), jelas itu merupakan suatu gangguan terhadap kenyamanan hidup warga Thailand.
Gangguan tersebut sudah berurat dan berakar sejak 2006. Sejak tahun tersebut, Thailand memasuki krisis politik yang bisa dibilang parah. Kudeta tidak berdarah dari militer yang dipimpin Jenderal Sonthi Bonyaratkalin yang muslim, ketika Perdana Menteri Thaksin Shinawatra sedang berada di New York pada September 2006 adalah pemicu awal krisis ini. Thaksin, seorang konglomerat telekomunikasi dan mantan polisi, terpilih sebagai PM dalam pemilu demokratis pada 2001. Masa pemerintahannya terbilang lama dan populis. Rakyat kecil, utamanya di utara dan timur laut Thailand amat cinta dengannya dan juga dengan partai Thaksin, Thai Rak Thai. Kebijakan Thaksin untuk golongan ekonomi lemah memang populis, seperti asuransi kesehatan bagi warga miskin, dan lain-lain.
Sebaliknya, golongan kelas menengah Bangkok dan lawan politik Thaksin melihat aroma tidak sehat dalam pemerintahan Thaksin. Dua yang mengemuka adalah dugaan korupsi kolusi dan manipulasi serta penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik di Thailand Selatan.
Aksi-aksi menentang dugaan politik uang dan korupsi Thaksin berujung dengan kudeta tidak berdarah pada September 2006. Maka, sejak saat itu Thailand bak dalam perang saudara. Militer, melalui PM Jenderal Surayud Chulanont, memimpin hingga Pemilu Desember 2007. Namun, Pemilu 2007 kembali dimenangi partai pro-Thaksin dengan Samak Sundaravej kemudian menjadi menterinya. Kurang dari 10 bulan menjabat, Samak dilengserkan Mahkamah Konstitusi Thailand atas tuduhan menerima penghasilan di luar gaji perdana menteri (tepatnya menjadi host acara kuliner di TV karena ia terkenal piawai memasak).
Pengganti Samak adalah Somchai Wongsawat dari partai yang sama, yaitu People Power Party. Namun, usia pemerintah Somchai pun amat singkat. Kurang dari tiga bulan. Demonstrasi dari kelompok kuning yang memuncak dengan blokade selama delapan hari terhadap Bandara Suvarnabhumi dan putusan mahkamah konstitusi yang mempersalahkan Partai Somchai telah melakukan kecurangan ketika pemilu memaksa Somchai lengser pada 2 Desember 2008.
Setelah itu, Parlemen Thailand kemudian memilih Abhisit Vejjajiva, tokoh muda flamboyan sekaligus pemimpin Partai Demokrat, untuk menjadi perdana menteri. Namun seperti kita tahu, laju pemerintahan alumnus Oxford University ini juga tidak mulus. Massa merah yang menyandang nama resmi The National United Front of Democracy Against Dictatorship (UDD) memaksanya untuk lengser, membubarkan parlemen, dan menyelenggarakan pemilu secepatnya.
Di simpang jalan
Negeri Thailand, tepatnya pemerintahan PM Abhisit, kini berada di ujung tanduk dan di simpang jalan. Semua pilihan yang tersedia kurang mengenakkan. Membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu lebih awal berarti terancam kehilangan kekuasaan. Bertahan tidak lengser, tidak membubarkan parlemen dan enggan menyelenggarakan pemilu sama dengan mengundang kelompok merah menebar kekerasan lebih lama. Apalagi kelompok merah terkenal berkarakter nekat dan all out, kendati dukungan logistiknya diramalkan tidak cukup kuat.
Kelompok kuning, kelompok yang mengklaim sebagai promonarki, loyal terhadap raja dan anti-Thaksin, dengan nama People's Alliance for Democracy (PAD) setali tiga uang. Tidak lebih baik. Pendudukan massa kuning terhadap Bandara Suvarnabumi, Bangkok, pada November 2008 adalah bentuk pembangkangan sipil yang merugikan banyak pihak. Sektor pariwisata, penerbangan, bisnis, dan perekonomian Thailand terluka parah. Kendati turis masih datang, tingkat okupansi hotel merosot jauh. Kepercayaan publik internasional merosot dan travel warning ke Thailand dilansir banyak pemerintahan asing.
Katakanlah pemilu digelar lebih awal setelah sebelumnya parlemen dibubarkan, masalah akan tetap lahir. Apakah partai pendukung massa merah ataupun massa kuning yang menang tetap tidak melahirkan kedamaian. Pihak yang kalah akan menggelar aksi yang sama untuk melengserkan pemerintahan yang baru terbentuk. Hal itu sudah terjadi. Ketika PM Samak Sundaravej yang didukung massa merah menang pemilu, sembilan bulan kemudian ia dilengserkan mahkamah konstitusi atas tekanan kuat dari massa kuning. Kini, PM Abhisit yang didukung massa kuning berkuasa, giliran massa merah berganti menekan. Laksana krisis tidak berujung.
Peran raja
Satu-satunya pihak yang dipercaya kedua pihak dan memiliki peluang besar untuk menyelesaikan krisis adalah Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej. Raja terlama di dunia, bertakhta sejak 1946, sekaligus raja terkaya sedunia (versi majalah Forbes tahun 2009) ini adalah jantung hati masyarakat Thailand. Warga Thailand mencintai raja lebih daripada yang lainnya. Bagi rakyat Thai, Raja Bhumibol adalah representasi dari kearifan, kedermawanan, keadilan, dan kesucian.
Pasalnya, secara konstitusi, raja tidak berwenang mencampuri pemerintahan, raja bukanlah kepala pemerintahan. Kendati pada praktiknya raja pernah mengintervensi pemerintahan pada 1992. Dalam bentrokan berdarah antara tentara pimpinan PM Suchinda Krapyoon dan massa penentang pimpinan mantan Gubernur Bangkok Chamlong Srimuang, raja memerintahkan keduanya untuk berunding dan menyelesaikan masalah secara damai. Akhirnya, PM Suchinda lengser dan Raja Bhumibol mengangkat mantan PM Anand Panyarachun menjadi PM sementara hingga pemilu berikutnya.
Kini rakyat Thailand menantikan peran raja. Apalagi tentara dan polisi sering hanya patuh pada raja. Tak bisa dikatakan patuh kepada pemerintah yang berkuasa. Lancarnya pendudukan Bandara Suvarnabhumi pada 2008 dan pembubaran ASEAN Summit di Pattaya pada 2009 membuktikan bahwa tentara dan polisi tak cukup loyal kepada pemerintah berkuasa.
Di sisi lain, raja Thailand kini semakin tua dan sudah sering sakit-sakitan. Calon penggantinya belum lagi jelas dan yang jelas tidak sekarismatik raja sekarang ini. Belum tentu ucapan, tindakan dan sikap hidup raja atau ratu calon pengganti Raja Bhumibol akan melekat erat di hati rakyat Thailand.
Maka, sungguh kini Thailand berada di simpang jalan. Banyak rakyat Thailand berharap Raja Thai tidak akan mangkat dan hidup hingga waktu lama. Sesuatu yang jelas tidak mungkin.
Bagi ASEAN sendiri, rusuhnya Thailand adalah kerikil yang mengganggu kedamaian di kawasan Asia Tenggara dan pencapaian Masyarakat ASEAN 2015. Bagi Indonesia juga menjadi persoalan. Di luar masalah ASEAN, saat ini hidup sekitar 5.000 WNI di Thailand dan ribuan keturunan Indonesia lainnya yang telah hidup lama dan menjadi warga negara Thailand.
Oleh Heru Susetyo Mahasiswa Program Doktor Human Rights & Peace Studies Mahidol University, Thailand
Opini Media Indonesia 20 April 2010