19 April 2010

» Home » Media Indonesia » Membubarkan Satpol PP?

Membubarkan Satpol PP?

Siapa pun yang menyaksikan peristiwa Tanjung Priok, 14 April, akan terkenang tragedi berdarah di tempat yang sama 26 tahun lalu. Tragedi Priok 12 September 1984 adalah kasus SARA yang dipicu sikap provokatif oknum Kodim, hingga akhirnya membesar menjadi pembantaian massal. Tidak kurang 400 orang dinyatakan hilang, tewas, dan luka-luka saat itu.

Adapun tragedi Priok 14 April 2010 dipicu sikap Satuan Polisi Pamong Praja atau sering dikenal Satpol PP yang berencana merubuhkan makam tokoh penyebar agama Islam Jakarta Utara, Habib al-Arif Billah Hasan bin Muhammad al-Hadad. Sikap itu diambil berdasarkan putusan pengadilan yang memenangkan PT Pelindo II atas tanah yang diklaim milik ahli waris sang habib.



Peristiwa 26 tahun lalu tidak ada yang mengingat pasti kecuali korban yang hidup. Namun, prahara 14 April menjadi tontonan yang mengiris hati. Perang masyarakat melawan aparat keamanan itu menimbulkan korban kedua belah pihak. Publik menyalahkan Satpol PP karena memaksa eksekusi di tengah ribuan santri yang protes. Kali ini lembaga ini sial dan kena batunya.

Sial karena eksekusi tidak sesukses di Mekarsari, Tangerang. Di permukiman China Benteng itu mereka berhasil mengusir ibu-ibu dari rumah mereka. Raungan dan kesedihan yang lamat-lamat terdengar tidak menyurutkan langkah membongkar rumah warga yang telah didiami puluhan tahun. Dengan sejarah kekerasannya, Satpol PP menjadi lembaga yang paling dimusuhi pedagang kecil, warga permukiman kumuh, dan pengemis seluruh Indonesia.

Akar arkeologis

Jika dilihat dari sejarahnya, Satpol PP sesungguhnya memiliki riwayat positif. Didirikan pertama sekali di Yogyakarta pada 3 Maret 1950, lembaga ini jauh dari watak kekerasan. Organisasi ini sebenarnya telah ada sejak masa kolonial Belanda dan menjadi pembantu pemerintah daerah. Ketika Indonesia merdeka, ia memiliki fungsi sosial lebih luas.

Kata pamong praja secara etimologis (Jawa) berarti aparat yang mengayomi dan melindungi masyarakat. Mereka memang diperlukan untuk republik yang baru karena tidak memiliki satuan kepolisian nasional yang cukup kuat. Peran penjaga harmoni lebih mengemuka jika dibandingkan dengan konflik. Motonya adalah praja wibawa atau aparat pemerintah yang berwibawa, disegani, dan dihormati.

Istilah Satpol PP mulai terkenal sejak munculnya UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Berkali-kali rezim pemerintahan berganti, eksistensi dan fungsi Satpol PP tetap melekat pada undang-undang pemerintahan daerah. Dalam UU No 32/2004, Pasal 148 disebutkan, 'Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan perda, menyelenggarakan ketertiban umum, dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi.' Di sini jelas bahwa Satpol PP menyelaraskan fungsi pembangunan daerah dengan bertanggung jawab kepada gubernur untuk tingkat satu dan bupati/wali kota untuk tingkat dua.

Dengan fungsinya yang menempel (embedded), sesungguhnya anatomi kekuasaannya tidaklah independen. UU memberikan kesempatan bagi setiap daerah untuk memberikan nama yang sesuai dengan keperluan.

Di Aceh dikenal dengan nama Wilayatul Hisbah (WH), yang memiliki fungsi mengawasi pelaksanaan syariat Islam secara kafah. Akan tetapi, praktiknya terbatas pada hal-hal yang diatur kanun (perda), yaitu judi, miras, dan masalah kesusilaan. Secara sosiologis, lembaga itu sering meresahkan karena hanya melakukan razia pakaian wanita, penggerebekan, dan penahanan warga, dan kurang melakukan fungsi edukasi dan sosialisasi. Bahkan tidak jarang ditemukan kasus pelanggar syariat dilakukan aparat WH sendiri, seperti kasus perkosaan di Langsa beberapa waktu lalu.

Jika melihat fungsinya yang dependen, kinerja Satpol PP mewakili politik citra pemerintah daerahnya. Ketika mereka melakukan kekerasan, dapat dikatakan menggambarkan wajah gubernur atau wali kotanya. Sebagai instrumen koersif, praktik kekerasan hanya berjalan jika ada perintah atasan. Kasus Tanjung Priok, misalnya, komandan tugas lapangan mengakui hanya menjalankan perintah Wali Kota Jakarta Utara. Satpol PP hanya soldier of fortune, pasukan bayaran, yang bekerja berdasarkan perintah. Mereka tidak mengabdi bagi kepentingan warga, tapi pemerintah. Tangan wali kota tidak dapat bersih jika praktik penggusuran atau penertiban memuncratkan darah dan menumpahkan tangis warga.

Praktik baik

Tidak semua wali kota senang melakukan tindakan kekerasan melalui tangan Satpol PP. Pengalaman relokasi yang dilakukan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto memberikan pelajaran baik.

Ketika sang wali kota berencana memindahkan pada pedagang tiban yang berjualan di trotoar Jl Mangkubumi pada malam hari, ia tak menggunakan seorang satpol PP pun. Caranya dengan mengundang makan seluruh pedagang kaki lima itu ke pendoponya hingga beberapa kali. Akhirnya para pedagang merasa heran dengan sikap wali kota dan bertanya maksud undangan makan berkali-kali itu. Ketika telah tepat momennya, sang wali kota bertanya, apakah para pedagang mau membantunya menghindari kemacetan dan menertibkan Jalan Mangkubumi karena perdagangan liar di emperan jalan telah meresahkan pengguna kendaraan dan warga. Ia pun menjanjikan tempat baru dengan fasilitas iuran terjangkau bagi pedagang yang bersedia menerima sarannya. Singkatnya, seluruh para pedagang secara sukarela mengikuti arahan wali kota.

Pengalaman dari Yogyakarta itu menunjukkan bahwa tidak semua kebijakan atas warga memerlukan tindakan kekerasan atau paksaan. Wali kota harus mewakili sikap penguasa deliberatif, dengan mengedepankan dialog dan empati ketika mengurus masalah kota yang semakin lama semakin rumit. Wali kota harus menjadi sahabat seluruh warga, baik yang kaya dan miskin sehingga setiap upaya memajukan kota harus melibatkan dialog dan logika yang diterima semua pihak. Penggusuran, penertiban paksa, atau razia adalah sikap egoistik dan terburu-buru wali kota sehingga seolah-olah hanya jalan kekerasan yang paling baik.

Ketika wali kota bisa menjadi pusat teladan bagi warga, keberadaan Satpol PP adalah pembantu yang turut mempromosikan gagasan wali kota. Satpol PP harus menjadi teman bagi warga, mengajak dialog, dan menemukan solusi terbaik atas setiap kebijakan dan menahan diri untuk tidak emosi atas respons warga.

Jika Satpol PP dapat mewujudkan watak komunikatif dan persuasif, sesungguhnya peran mereka masih diperlukan dalam menunjang keselarasan pembangunan kota seperti satuan kerja perangkat daerah lainnya. Namun jika kekerasan adalah DNA mereka, selayaknya lembaga ini dibubarkan, daripada hanya menjadi benalu dan dibenci seluruh warga kota.

Oleh Teuku Kemal Fasya Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe
Opini Media Indonesia 20 April 2010