04 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Seks, kekuasaan dan etika politik

Seks, kekuasaan dan etika politik

Sebuah berita yang cukup membuat kita prihatin dan mengelus dada. Seorang anggota DPRD Klaten dituduh menghamili seorang janda berinisial WS asal Dukuh Gedongan, Desa Wonosari, Trucuk. Tuduhan itu terkuak setelah DPRD Klaten melakukan pemanggilan terhadap kuasa hukum perempuan itu pada Kamis (25/2).

DPRD Klaten meminta keterangan kuasa hukum janda itu terkait surat pengaduan yang diterima Dewan. Surat bernomor 017/ADV/AMS/YK/II/2010 itu berisi pengaduan tindak asusila yang diduga dilakukan oleh anggota Komisi IV DPRD setempat itu kepada WS. Dalam surat, dijelaskan, anggota DPRD Klaten itu dan WS diduga melakukan hubungan layaknya suami istri di salah satu hotel di Yogyakarta. Selain itu, hubungan juga pernah dilakukan di rumah WS. Akibat perbuatan keduanya, WS mengaku telah hamil selama empat bulan.

Atas tuduhan itu, anggota DPRD Klaten tersebut secara tegas membantah. Menurutnya, tuduhan yang diberikan WS beserta kuasa hukumnya itu tak berdasar. Tertuduh justru balik menuding WS dan kuasa hukumnya tengah mencemarkan nama baiknya dengan tuduhan itu. Dia menilai, tudingan tersebut bermuatan politis lantaran saat ini pihaknya tengah mencalonkan diri sebagai wakil bupati (Wabup) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang (SOLOPOS, 1 Maret).

Kasus di atas, seperti hendak mengukuhkan pemeo lama bahwa seks sangat lekat dengan kekuasaan, ibarat semut berjumpa gula. Penguasa sering semakin membumbung ketenaran dan cengkeraman kekuasaannya gara-gara seks. Sebaliknya seperti orang pun bisa jatuh terjungkal karena masalah seks. Sedangkan secara simbolis, seks yang selalu melibatkan tubuh, menyimbolkan relasi yang bisa setara antara si penguasa dan objek seksnya, namun juga bisa tidak.

Politik dan moral

Dalam relasi yang tidak setara itulah seks menyimbolkan penguasaan satu pihak pada pihak yang lain. Pemeo seks berelasi dengan kekuasaan seperti itu sudah mulai ada sejak sejarah umat manusia, sejak dulu hingga milenium ketiga Masehi sekarang ini. Jadi skandal seks anggota DPRD Klaten dan WS hanya repetisi dan akan terus terulang di masa depan dengan pelaku dan objek yang berbeda.

Politik berkaitan erat dengan kekuasaan dan ketatanegaraan. Hal itu sesuai dengan etimologi politik: politeia (negara) dan politicos (negarawan). Jika kita kembali melihat hakikat filsafat politik, semakin jelas politik dan moral saling interdependensi. Plato misalnya, mendefinisikan filsafat politik sebagai salah satu cabang etika (filsafat moral) sosial atau kemasyarakatan. Baginya, manusia sudah selalu berpolitik karena manusia tidak pernah terlepas dari negara (politeia).

Nicolo Machiavelli, seorang pemikir Italia yang hidup pada abad XV menyatakan, politics has no relation to morals. Pemikiran ini senada dengan pandangan Lenin dan Gladstone. Pandangan yang menganggap bawah politik adalah lembah yang kotor. Segala cara selalu menjadi halal. Satu yang menjadi tujuannya ialah dapat menaklukkan lawan politiknya.

Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Popper, seorang ahli filsafat politik dari Inggris yang juga sangat dihormati di kalangan ilmuwan seantero dunia, berpendapat bahwa politik harus dimoralkan; bukan sebaliknya, moral dipolitisasi! Dalam arti, moralitas berarti konsisten berpegang pada pedoman hidup suatu masyarakat, terutama yang digariskan oleh agama (Ahmad Makki, 2007).

Dalam negara, hukum, tata aturan, norma pasti dirumuskan dan kemudian diberlakukan. Tujuannya adalah untuk mengatur aktivitas masyarakat, termasuk aktivitas politiknya. Dengan demikian, ini amat sejalan dengan pendapat Immanuel Kant yang mengatakan, moralitas dan politik tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Moralitas adalah suatu praksis dalam pengertian objektif: keseluruhan hukum-hukum yang mengikat tanpa syarat, yang seharusnya kita jadikan acuan bertindak, kewajiban dan tanggung jawab.

Mundur

Kebijakan politik harus memperhatikan dimensi moral. Apa dampak dari kebijakan politik terutama secara sosial dan ekonomi. Begitu juga, seseorang yang terjun ke dunia politik termasuk anggota Dewan seharusnya berlaku moralis. Kalau tidak, mereka akan terjebak pada kepentingan pribadi, pencurian (korupsi) bahkan melegalkan yang ilegal. Dimensi moral berkaitan erat dengan “boleh atau tidak boleh”, jadi tekanan moral adalah dimensi etika (M Umar HS, 2009).

Kasus di Klaten tersebut mengindikasikan jauhnya dimensi etika yang ada dari para anggota Dewan kita. Bagaimanapun harus dipahami, etika politik tidak hanya menyangkut masalah perilaku politik dari para politikus. Tetapi etika politik berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial, di satu pihak etika politik sekaligus etika individual dan etika sosial dan institusi yang adil. Di lain pihak, etika politik sekaligus etika institusional dan etika keutamaan.

Berhubungan seks bukan dengan istri jelas selingkuh namanya. Rakyat Amerika Serikat sempat heboh ketika Presiden Bill Clinton dikabarkan berselingkuh dengan Monica Lewinsky. Gara-gara berita itu bocor ke publik, Presiden Clinton hampir saja dipecat (impeachment). Untung Clinton lolos dari upaya pemecatan waktu itu. David Blunket, Menteri Dalam Negeri Inggris, ketika karier politiknya telah kukuh selama 30 tahun akhirnya roboh oleh skandal selingkuh. Demikian pula Kovalyov, Menteri Kehakiman Rusia, yang pada 1997 dipecat karena tersebarnya foto-foto hot dia saat mandi sauna bersama para wanita tanpa busana, atau Bill Skate, Perdana Menteri Papua Nugini (1998), dengan foto-foto pesta seksnya.

Terkait kasus anggota DPRD Klaten ini, Badan Kehormatan (BK) DPRD Klaten perlu melakukan verifikasi dan klarifikasi serta penyelidikan kasus ini untuk mengetahui kebenarannya. Jika tuduhan terbukti, maka anggota DPRD Klaten tersebut harus dipecat sesuai dengan prosedur yang telah tertera dalam PP No 16/2010. Dan partai yang mengusungnya juga perlu bersikap tegas bila tetap ingin dipercaya oleh masyarakat.

Tapi, menurut saya, alangkah baiknya anggota DPRD Klaten tersebut mengundurkan diri sebagai anggota DPRD Klaten dan sebagai calon wakil bupati. Mengundurkan diri adalah penghormatan terhadap masyarakat yang menjunjung tinggi etika moral sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab terhadap etika politik, tanpa harus menunggu keputusan partai, lembaga parlemen, atau keresahan massa yang terorganisasi. - Oleh : Sutrisno, Pemerhati masalah sosial dan politik Guru SMPN 1 Wonogiri


Opini Solo Pos 04 Maret 2010