04 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Membangun Jati Diri Bangsa

Membangun Jati Diri Bangsa

Hari Selasa yang lalu, bersamaan dengan penyelenggaraan sidang paripurna pertama DPR mengenai kasus Bank Century, di Kemenko Polhukam diselenggarakan pembahasan soal Pengembangan Nation and Character Building. Rapat Koordinasi dan Konsultasi interdep antarpejabat eselon II kementerian/lembaga terkait itu menghadirkan dua narasumber dari lembaga-lembaga yang diharapkan berperan banyak dalam usaha Nation and Character Building, yaitu dari lembaga pendidikan dan lembaga media/pers. Kemenko Polhukam, dalam rangka menyusun rumusan kebijakannya, memang secara berkala menyelenggarakan diskusi-diskusi tentang masalah-masalah idiil yang dihadapi bangsa.

Pada saat-saat kami secara intens membicarakan soal usaha memperkuat jati diri bangsa, ironis bahwa di depan maupun di dalam Gedung DPR terjadi ekspose yang menantang jati diri kita. Demonstrasi rusuh yang menuntut penuntasan skandal Century di luar Gedung DPR, dan sidang paripurna pertama di dalam gedung, yang lacurnya berakhir pula dengan ricuh, menguji sistem demokrasi kita dalam menghadapi skandal nasional yang telah menguras tenaga, emosi, dan biaya.



Spirit kebersamaan menghilang

Mengulas yang terjadi dan diwacanakan hari itu, baik dari kericuhan di DPR maupun diskusi di Kemenko Polhukam, rasanya tidak mengada-ada kalau disimpulkan bahwa spirit yang kita miliki di masa revolusi dulu terasa hilang. Mereka yang berusia lebih dari 70 tahun tentu ingat akan semangat gotong royong yang menopang perjuangan kemerdekaan demi kemaslahatan bersama. Misalnya rakyat membuka dapur-dapur umum untuk pemuda-pemuda gerilyawan yang pada malam hari melancarkan serangan terhadap pos-pos tentara penjajah. Mereka berkorban dan merugi tanpa pamrih mendapat keuntungan pribadi.

Mungkin ketika itu kita masih meyakini landasan idiil dan yuridis, Pancasila dan UUD'45. Kita merujuk pada keyakinan itu, tidak bergerak ke luar dari koridor itu, karena mungkin kita belum beranjak jauh dari suasana perjuangan dan euforia setelah proklamasi kemerdekaan. Sisa-sisa suasana waktu itulah yang mungkin membuat kita sampai sekarang adakalanya bersikap konservatif, menyerahkan segala-galanya pada elite untuk mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa, karena kita mempercayai kalangan elite. Sikap itu yang membuat kita canggung dan curiga pada sistem demokrasi modern. Adapun faktanya, abad informasi telah membawa perubahan-perubahan besar dalam cara kita berpikir dan bertindak. Belum lagi materialisme memang bergerak secara kolosal dan menguasai segala-galanya.

Keraguan itu tersirat dalam wacana ataupun perilaku kita seperti yang terjadi pada Selasa yang lalu. Dalam pada itu kita pun mengeluh telah kehilangan jati diri; telah meninggalkan nilai-nilai luhur kehidupan bangsa. Terjadi tarik ulur, kalau bukan inkonsistensi dalam sikap dan perilaku.

Membangun jati diri

Dalam masyarakat demokrasi, sebenarnya sikap mandiri dan toleransi menjadi keniscayaan. Itulah sebenarnya jati diri yang harus kita bangun, tanpa mengabaikan landasan idiil dan yuridis kita. Tetapi gejalanya, ada saja orang-orang yang gemar mengail di air keruh.

Dalam kasus Century, misalnya, bagi saya tetap tidak masuk akal bahwa seorang Robert Tantular sejak awal dibiarkan mengobrak-abrik aturan perbankan--bahkan mampu menyuap pihak-pihak tertentu--yang pada akhirnya merugikan negara sampai triliunan rupiah dan bahkan mencemarkan nama baik sejumlah pihak. Kita memang belum tahu pasti yang mana-mana. Namun kenyataannya, sistem demokrasi yang kita jalankan memungkinkan kecerobohan luar biasa dalam kasus ini. Sementara itu, walaupun Robert Tantular sudah dijerat hukuman penjara, namanya larut ditelan angin, kalah mencuat dari pemeran-pemeran lain. Dengan sistem kita, bukannya tidak mungkin penjara hanya tempat singgahnya sementara karena bisa saja tidak lama lagi dia akan kembali menghirup udara bebas, sementara kita belum lupa kehebohan yang ditimbulkannya.

Robert Tantular, dan cs-nya, tentunya suatu kelainan. Apa penyebab perkembangan kepribadian yang demikian? Lemahnya sistem pendidikan? Padahal seperti yang dijelaskan oleh nara sumber dari lembaga pendidikan dalam diskusi di Kemenko Polhukam, tidak kurang-kurangnya lembaganya menyusun rumusan yang diharapkan bisa menjamin terbentuknya manusia-manusia Indonesia berwatak luhur, yang kuat jati dirinya.

Selain lembaga pendidikan menjadi sorotan tajam, dalam menganalisis kelemahan-kelemahan yang masih ada, media/pers hampir selalu menjadi sasaran kritikan pedas-- bahwa dia tidak memikirkan kepentingan masyarakat, senang mengaduk-aduk hanya yang buruk-buruk, mengadu domba-- semua demi kepentingan keuntungan. Apakah memang demikian? Menurut pihak media/pers, dia berfungsi sebagai alat informasi, edukasi dan menghibur pula. Sebagai pengawal demokrasi, dia adalah cermin yang membeberkan situasi seperti apa adanya. Secara tidak langsung dia ikut membangun jati diri bangsa, karena dia bisa menjadi pengukur seberapa besar kebenaran maupun kekeliruan kita dalam menjalankan demokrasi. Jangan karena buruk muka maka cermin dibelah. Misalnya, citra Ruhut Sitompul dan Roy Suryo di mata publik - apakah karena hasil rekayasa media/pers atau karena ulah mereka sendiri?

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 05 Maret 2010