04 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Ruang Terbuka Hijau atau Mal?

Ruang Terbuka Hijau atau Mal?

Oleh Suwardjoko P. Warpani
Sudah pasti ada tiga kelompok pendapat: setuju, tidak setuju, dan masa bodoh. Inilah kira-kira persoalan yang sedang dihadapi Kota Bandung. Palaguna yang terbengkalai akan diapakan? Diubah menjadi ruang terbuka hijau (RTH), atau dikembalikan ke fungsi sebelumnya, mal. Pemerintah Kota Bandung bersikeras menjadikan Gedung Palaguna sebagai RTH. Meskipun Gubernur Jawa Barat belum mengeluarkan keputusan resmi, sempat mencuat usulan dari DPRD Jabar yang menginginkan bekas pertokoan itu kembali dijadikan mal ("PR", 27/2).
Harap diingat, Kota Bandung miskin RTH, tetapi cukup kaya/kelebihan mal. Kelebihan mal, terbukti dari catatan Lia Noer Hambali, anggota DPRD Kota Bandung; 14 mal sudah gulung tikar dan beberapa lagi sedang sekarat. Sebaliknya, miskin RTH dapat disimak dari upaya Pemkot Bandung yang bersusah payah mengembalikan RTH dengan memindahkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menempati taman kota.
Kota kembang?
 

Ada heureuy dari Lembang, "Kota kembang yang sebenarnya adalah Lembang, Bandung mah penjual kembang". Ini bukan lagi heureuy, tetapi fakta di depan mata bukan mengada-ada. Alangkah pelik, sulit, dan mahalnya mengembalikan citra Kota Bandung sebagai Kota Kembang. Kesulitan bertambah karena RTH kota jauh dari baku mutu minimum.
Kota Bandung nyatanya belum siap atau tidak mempersiapkan diri saat tercetus gagasan membangun jalan Purbaleunyi menjadi keputusan tindakan. Peningkatan kemudahan mencapai Kota Bandung menjadi pemacu laju kunjungan ke kota jajanan ini. Banyaknya pengunjung sejalan dengan makin banyaknya kendaraan bermotor berlalu-lalang di jalanan. Hal itu tentu berdampak pada peningkatan pencemaran udara. Kalau kesejukan Kota Bandung berkurang terus-menerus, keindahan kota merosot, hijau daun dan semarak warna-warni bunga tiada kunjung muncul, pulau-pulau lalu lintas terdiri atas beton-beton mati, taman kota pun makin langka dan yang ada pun gersang, maka tinggal menunggu waktu Kota Bandung tidak lagi menarik dikunjungi. Barangkali nyaman menjadi sepi, tetapi dari kacamata ekonomi pembangunan jelas rugi.
Jadi, kebijakan menambah RTH kota adalah kebijakan yang patut mendapat dukungan semua pemangku kepentingan Kota Bandung. Kita semua, warga kota yang konon masih mencintai dan menyayangi kota tempatnya bermukim, tak ada alasan tidak mendukungnya. Tidak hanya RTH yang langsung menjadi garapan pemkot, tetapi juga di pekarangan dan lingkungan hunian masing-masing harus digalakkan. Pekarangan hijau dan sejuk adalah 100 persen hak si empunya, tetapi pengaruh ekologinya akan berimbas keluar lewat pagar pekarangannya. Bukankah itu salah satu bentuk "ibadah", tanpa kehilangan apa pun?
Tahun 2011, Jawa Barat menjadi salah satu tempat penyelenggaraan SEA Games. Kota Bandung sudah dapat dipastikan memainkan peranan penting berkaitan dengan SEA Games. Kompleks Sarana Pembinaan Olah Raga Terpadu (SPORT) dalam proses pembangunan di Gedebage. Jauh lebih bermanfaat, bila mal ditempatkan di kawasan timur di dalam kompleks SPORT. Yang amat diperlukan di dalam kawasan kota lama adalah RTH, bukan mal.
Kebijakan
Alun-alun Bandung "hilang". Sudah tak ada lagi ciri-ciri sebidang alun-alun; sudah menjadi halaman Mesjid Agung Bandung. Prakiraan penulis 36 tahun yang lalu ("PR", 23/1/1973), tidak meleset jauh; Alun-alun Bandung memang sudah bukan lagi alun-alun, meskipun sebutan alun-alun belum hilang. Barangkali, bila bekas pertokoan Palaguna bisa menjelma menjadi taman kota, sebutan Alun-alun Bandung bisa bergeser beberapa meter ke arah timur dari "bekas alun-alun" Bandung.
Perkembangan Kota Bandung terlalu memusat di wilayah kota lama. Kebijakan memencarkan pusat-pusat kegiatan ternyata tidak dilakukan. BIP, BSM, BEC, BTC, Paskal, Parijs Van Java, dan lain-lain, semua berada di wilayah kota lama yang hanya 8.900 hektare, padahal wilayah Kota Bandung sudah mekar menjadi 17.000 hektare. Tak perlu mengeluh bahwa kemacetan lalu lintas, apalagi pada akhir pekan dan masa liburan, karena ruas jalan tidak bertambah, sedangkan kegiatan bertambah tetapi memusat, dan tambahan kendaraan sangat luar biasa.
Semoga RTRP yang sudah dijadikan peraturan daerah dapat menjadi pedoman dan acuan pemberian izin pembangunan dan pemanfaatan lahan. Bila RTRW belum menjadi perda atau sedang dalam penyempurnaan, maka landasan hukum pemberian izin menjadi tak jelas. Oleh karena itu, jangan ada lagi pengalihgunaan RTH untuk kegiatan apa pun, justru luasan RTH harus ditambah, dan RTH yang sudah beralih fungsi sejauh mungkin dikembalikan menjadi RTH. Peluang sekecil apa pun untuk menambah RTH harus dimanfaatkan.
Pemkot harus konsisten pada kebijakan pemencaran pusat-pusat kegiatan ke bagian wilayah kota, tidak hanya di pusat kota, agar terjadi pemerataan pembangunan. RTRW kota harus menjadi pedoman kebijakan pembangunan sehingga derap pembangunan dilakukan atas dasar rencana jangka panjang, bukan selera seumur masa menjabat.
Perbedaan pendapat itu biasa, namun harus ada keputusan kebijakan yang pada gilirannya dilaksanakan sebagai konsekuensi membangun kota. Pemerintah Kota Bandung sudah sepantasnya keukeuh menjadikan bekas Palaguna menjadi RTH.***
Penulis, staf pengajar pada Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK - Institut Teknologi Bandung. 
Opini Pikiran Rakyat 05 Maret 2010