04 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Ricuh DPR dan Pincangnya Demokrasi

Ricuh DPR dan Pincangnya Demokrasi

Tragis! Memalukan! Itulah yang terlihat dari Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ihwal Pansus Century, Selasa (2/3). Ketua DPR Marzuki Alie memimpin jalannya dengan tidak tegas dan memutuskan mengakhiri sidang dengan arogan, sesuai dengan kehendak sendiri. Wakil-wakil DPR tidak diajak rembuk untuk memimpin jalannya sidang. Sementara itu, anggota dewan lainnya juga tampak dengan garang, ricuh, rebut, dan hampir bentrok satu dengan lainnya. Semua berjalan sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing. Mengerikan!

Fakta politik tersebut adalah bukti bahwa eksistensi DPR di negeri ini berada dalam ruang ambivalensi. Mereka mendapatkan amanah rakyat, tetapi mereka justru mencederai amanah tersebut. Ambivalensi itu terasa begitu mengganggu karena hembusan angin pencerahan yang bernama reformasi pada 1998 ternyata belum memberikan makna yang berarti, bahkan sering kali hal-hal sepele dijadikan proyek kaum birokrasi dan anggota dewan yang sok suci untuk menambah 'basah' gaji yang kering. Reformasi bukannya membuka keran demokrasi, melainkan malah membuka keran kolusi dan hegemoni. Karena kepentingan setiap fraksi menyodok semua, akhirnya sidang berlangsung tanpa kehormatan.



Pimpinan DPR mengepalai rapat juga dengan asal saja, tidak mematuhi kode etik sidang paripurna. Kebijakan sepihak pimpinan sidang membawa dampak buruk dalam konstitusi di Indonesia. Menggunakan dalih konstitusi untuk menutupi kepentingan yang sedang dijalankan, demi mempertahankan kekuasaan. Terlihat sekali pimpinan DPR yang tegang dan gagap menghadapi kesimpulan dan rekomendasi Pansus Century. Di samping itu, mengambil waktu jeda sampai sidang berikutnya seolah sudah diset untuk melakukan gerak politik yang bisa menyelamatkan kekuasaan. Itu tragedi yang sangat mengenaskan dalam tata persidangan dan tata kelola politik yang dilakukan petinggi politik di Indonesia.

Posisi pimpinan DPR yang seenaknya tersebut semakin memperlihatkan akrobat politik dewan. Anggota dewan, yang tadinya mendapat mandat suci dari rakyat, berubah menjadi 'preman politik' yang membawa misi suci dari setan {kekuasaan}. Dalam analisis Yasraf (2005:45), mereka terjebak dalam minimalisme politik. Minimalisme politik terbentuk sebagai akibat arsitektur politik yang dibangun oleh diri-diri minimal, yakni aktor-aktor politik yang bertindak, berbicara, dan tampil tanpa esensi dan nilai dasar politik. Diri yang minimal ini membangun konsep diri dan identitas yang minimal di dalam dunia imagologi dan digitalisasi media virtual, yakni identitas yang tidak memiliki lagi prinsip dasar identitas, yaitu ketetapan, kontinuitas, dan konsistensi.

Minimalisme diri dan identitas politik yang dialami aktor-aktor politik, lanjut Yasraf, mempunyai konsekuensi pada ruang publik yang dibangunnya. Wacana politik yang dibangun oleh aktor politik berkarakter minimalis, akan menciptakan pula ruang publik yang berkarakter sama, disebabkan peran utama aktor-aktor politik dalam membangun ruang itu sendiri.

Demikian juga dalam lembaga DPR. Karena watak dewan yang sekarang pragmatis, instan, hedonis, bahkan materialistis, tidak salah kalau ruang publik terjebak ke sana. Yakni terjebak dalam kondisi ruang publik minimalis. Yakni ruang publik yang dihantui manusia serakah yang menerjang apa saja di hadapannya asal menghasilkan kekayaan dan kekuasaan. Yang terjadi kemudian adalah minimalitas struktural; yakni kondisi yang di dalamnya terbentuk relasi yang minimal di antara aktor-aktor politik, dalam pengertian tidak saja minimalitas dalam kuantitas relasi, tetapi juga kualitasnya. Bila minimalitas sudah menjadi darah daging aktor politik, ia akan menjadi semacam pandangan hidup, keyakinan hidup, bahkan sebagai sebuah ideologi kehidupan. Posisi itulah yang akan menggiring kita pada kematian identitas politik (the death of politic identity).

Kematian identitas seorang aktor politik akan mengantarkannya ke kejahatan tanpa batas, tanpa sekat, karena birokrasi kekuasaan sudah berada dalam genggamannya. Dalam konteks ini, anggota dewan menjelma sebagai aktor politik minimalis karena mereka menyetujui keputusan pemerintah mengimpor beras. Mereka seolah buta dengan nasib petani yang terlunta-lunta, bahkan harus dibuat kelimpungan karena pupuk yang langka dan mahal. Yang terjadi nanti tidak hanya hancurnya ekonomi kaum bawah, tetapi juga mengarah ke tidak adanya kepercayaan publik kepada anggota dewan. Rakyat kecil, karena merasa tidak terwakili, akan menggunakan segala cara untuk merebut hak miliknya. Bukan tidak mungkin, akan terjadi kriminalisasi sosial secara masif karena satu sama lain sudah tidak lagi percaya. Yang ada hanya kebencian dan kepentingan pribadi. Inilah potret buram kehidupan kita. Semua ini menjadikan demokrasi dan demokratisasi berjalan pincang. Karena demokrasi disumbat, hak dibatasi, dan politik dijalankan secara inkonstitusional. Pincangnya demokrasi akan membuat republik semakin tak kuasa menghadapi laju pragmatisme yang makin kuat sehingga politisi DPR hanya berjalan sesuai dengan kepentingan politik dan kekuasaan. Fraksi Demokrat dan Fraksi PKB terlihat sebagai aktor yang telah membuat demokrasi pincang karena mereka justru melegitimasi apa yang dilakukan Marzuki Alie.

Untuk menghadang langkah minimalisasi politik DPR, kita harus memahami beberapa hal. Pertama, menciptakan kondisi desakralisasi DPR. Anggota dewan bukanlah makhluk suci sehingga ketika mereka berbuat kesalahan, kita berhak menuntut dan mengingatkan. Justru, mereka adalah 'pelayan' terhadap segala kebutuhan rakyat. Kedua, memperkuat jaringan civic education untuk menciptakan masyarakat mayoritas yang kritis, yang nantinya mampu menjadi 'kekuatan tandingan' yang mengontrol perilaku pejabat negara. Ketiga, menciptakan counter-hegemony terhadap kebijakan nonpopulis pemerintah dan DPR dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik yang beraneka ragam. Ketiga hal ini akan mampu mendobrak kepungan elite politik dan semoga mampu membangun kesadaran berbangsa dan bernegara secara universal.

Oleh Muhammadun AS Analis sosial, peneliti Cepdes Jakarta
Opini Media Indonesia 05 Maret 2010