04 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Menteri dan Peraturan Tentang Lelang

Menteri dan Peraturan Tentang Lelang

Heni Rosmawati
Humas Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah - LKPP
Akhir-akhir ini media massa gencar memberitakan tentang banyaknya mantan pejabat negara yang menyandang status tersangka korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan sejumlah nama mantan pejabat negara yang terbukti melakukan pelanggaran dan berdampak merugikan negara. Mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, mantan Menteri Kesehatan Achmad Suyudi, serta mantan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto merupakan sekian dari banyaknya pejabat negara yang terseret kasus korupsi.
Bila ditelisik lebih dalam, kasus yang menyeret banyak pejabat negara itu bermuara pada masalah pengadaan barang dan jasa pemerintah (lelang). Para pejabat negara ini menggunakan kekuasaannya dengan penunjukkan langsung yang menyalahi aturan.


Data KPK 2005--2009 menyebutkan sekitar 94% kasus pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung. Kerugian negara akibat penunjukkan langsung itu mencapai Rp637 miliar. Hal ini semakin menguatkan fakta bahwa penunjukkan langsung merupakan primadona yang dipilih karena ada celah untuk melakukan korupsi.
Bisa ada dua kesimpulan terhadap fakta penunjukkan langsung yang melibatkan pejabat negara sekelas menteri. Pertama ada kemungkinan menteri tidak tahu tentang aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kedua, mungkin sebaliknya menteri tahu aturan itu tapi sengaja dilanggar. Ini memang tragis apalagi posisi menteri di birokrasi juga sebagai pengguna anggaran yang mengelola keuangan negara.
Sebagai seorang yang mempunyai jabatan tertinggi di suatu kementerian atau lembaga, seharusnya cepat mendapatkan akses informasi segala peraturan yang sudah diatur pemerintah. Bisa dipahami bahwa menteri dalam kesehariannya lebih sering berkutat pada masalah kebijakan dibandingkan urusan teknis. Namun sebagai pimpinan kedua hal itu harus dikuasainya.
Sejatinya penunjukkan langsung merupakan metode sah yang digunakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003. Namun dalam Keppres tersebut disertakan berbagai persyaratan ketat untuk bisa menjalankan mekanisme tersebut.
Dalam lampiran 1 Keppres 80/2003, penunjukan langsung dapat dilaksanakan dengan kriteria antara lain sebagai berikut; adanya keadaan tertentu seperti dalam hal penanganan darurat untuk pertahanan negara atau keamanan dan keselamatan masyarakat, termasuk bencana sehingga pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda. Penunjukan langsung juga diperbolehkan untuk pekerjaan yang perlu dirahasiakan menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan presiden. Demikian juga dengan pekerjaan berskala kecil dengan nilai maksimum Rp50 juta.
Beberapa ketentuan lain juga terkait pekerjaan berskala kecil di bawah Rp50 juta tersebut, yaitu pengadaan untuk keperluan sendiri dengan teknologi sederhana, memiliki risiko kecil dan dilaksanakan penyedia barang/jasa usaha orang perseorangan dan/atau badan usaha kecil, termasuk koperasi kecil.
Penunjukkan langsung juga dapat dilakukan untuk pengadaan barang dan jasa khusus, yaitu pekerjaan yang didasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah, pekerjaan untuk barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan satu penyedia barang/jasa, satu pabrikan, dan satu pemegang hak paten.
Termasuk juga pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.
Dalam penerapan mekanisme penunjukan langsung, berbagai alasan dikemukakan untuk bisa melakukan penunjukkan langsung, seperti menggunakan dalil pekerjaan kompleks sehingga hanya ada satu penyedia barang yang mampu menyediakan dan dalil pengadaan barang spesifik. Dua kriteria terakhir penunjukan langsung pada prakteknya sering disalahtafsirkan secara subjektif seolah-olah kondisi objektif pengadaan barang dan jasa pada kasus tersebut masuk dalam batas yang telah diatur tadi. Namun pihak auditor, termasuk aparat penegek hukum menganggap pengadaan yang dilakukan pejabat tinggi negara dengan penunjukan langsung menyalahi aturan.
Kehadiran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang dibentuk berdasarkan Perpres 106/2007 mungkin dapat memberikan alternatif solusi bagi pejabat tinggi negara yang belum memahami dengan baik tentang aturan pengadaan.
Sebab pembentukan lembaga tersebut bertujuan salah satunya untuk mengurangi kasus-kasus yang membelit banyak pihak dalam hal pengadaan barang dan jasa pemerintah.
LKPP sebagai satu-satunya lembaga pemerintah yang mempunyai tugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah memberikan advokasi dan pendampingan dalam rangka mewujudkan pengadaan barang/jasa yang transparan, bebas korupsi, dan bertanggung jawab. Ini sesuai dengan cita-cita pemerintah yang terus menerus mendorong terwujudnya good governance.
Tentunya kementerian atau lembaga masing-masing juga memiliki semangat untuk mempelajari dan menerapkan aturan pengadaan barang/jasa pemerintah secara mandiri selain dapat pula meminta pendampingan dari LKPP.
Rasanya banyak cara bagi para pejabat untuk tidak teperosok lagi dalam lubang yang sama dalam kasus pengadaan barang. Sikap hati-hati dan semangat untuk antikorupsi harus ditegakkan.
Opini Lampung Post 05 Maret 2010