17 Maret 2010

» Home » Kedaulatan Rakyat » Obama dan Duri "Newspeak"

Obama dan Duri "Newspeak"

Kedatangan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia bukan sekadar kunjungan sentimentil, tetapi diharapkan bermakna bagi perkembangan dialog Islam-Barat. Apalagi AS memandang Indonesia sanggup menjadi mediator bagi dunia Islam.
Keinginan Obama menempatkan Indonesia sebagai mediator itu tentu tetap berhadapan dengan berbagai duri. Di Indonesia saja, misalnya, gelombang penolakan atas kedatangan Obama itu merebak di berbagai kota. Arti ”kedekatan emosional” antara Obama dan Indonesia diabaikan. Mereka menafikan sosok penting Obama bagi kemajuan dialog Islam-Barat. Mereka tak sepaham dengan Conway Henderson (1998), bahwa ada urgensi peran individu dalam hubungan antarbangsa ataupun antarideologi.


Duri lainnya justru datang dari dunia Barat, yakni perilaku media Barat yang acap mempraktikkan newspeak terorisme. Soal newspeak ini banyak dikupas Noam Chomsky dalam bukunya, Pirates and Emperors: International Terrorism in the Real World (1986). Ungkapan newspeak yang dikenalkan oleh George Orwell (1984) dimaksudkan untuk menunjuk bentuk manipulasi terhadap pengertian yang lazim atas suatu kata guna menyesatkan kesadaran rakyat dan sekaligus mengaburkan makna sesungguhnya dari kata dimaksud. Newspeak bukanlah sekadar eufimisme karena ia lebih bermaksud menjungkirbalikkan makna fakta itu.
Newspeak membuat masyarakat terkecoh atas makna sebuah kata. Newspeak ibarat memberi busana atas ketelanjangan sebuah kata sehingga saat tampil ke publik tidak lagi mengganggu kepentingan umum. Newspeak terhadap terorisme diciptakan Barat untuk menutupi ”buruk muka” mereka, tetapi justru menimbulkan amarah dunia Islam.
Comsky memberikan sejumlah contoh untuk menjelaskan newspeak dimaksud. Semisal, terkait terorisme di Timur Tengah muncul istilah ”prospek perdamaian”. Dalam pengertian teknisnya, kata Comsky, sebagaimana digunakan oleh media massa dan wacana ilmiah pada umumnya di AS, ia menunjuk usulan perdamaian yang diajukan Pemerintah AS. Jadi, begitu setuju dengan ”prospek perdamaian” dimaksud, maka diartikan mau menerima keharusan-keharusan yang ditekankan AS.
Merujuk pada pengertian ”prospek perdamaian” itu, Comsky mengutip ulasan Bernard Gwertzman di New York Times yang berjudul ”Apakah Bangsa Palestina Siap Mengupayakan Perdamaian?” Dalam arti normal dari kata ”perdamaian”, jawabannya tentu ”Ya” sebab setiap orang menginginkan perdamaian. Namun, jika mengacu pada arti terselubung, pertanyaannya akan menjadi, ”Apakah bangsa Palestina siap menerima syarat- syarat AS untuk perdamaian?” Siapa pun bisa menebak jawabannya.
Setelah peristiwa 11 September 2001, media dan wacana umum di AS tertuju pada aktivitas teroris yang dikomandoi Osama bin Laden. Tindakan itu dituding sebagai terorisme internasional. Akan tetapi, tatkala AS memburu Osama ke Afganistan, operasi ini dikemas dalam tajuk ”memburu teroris”. Padahal, operasi itu tak beda dengan terorisme, di mana kaum Taliban didera ketakutan dengan ragam intimidasi dan kekerasan yang ditebarkan pasukan AS serta sekutunya. Tak ada yang menyebutnya sebagai terorisme ala AS. Inilah newspeak yang mengelabui masyarakat internasional lewat permainan kata.
Atau penulis buku Bruce Walker dalam kolom ”Not a Theocracy but a Thugocracy” untuk menggambarkan demokrasi ala Iran. Gambaran ini tak butuh banyak kata. Manipulasi kata itu sudah bisa membawa pembaca ke arah mana Walker akan memosisikan demokrasi Iran.
Duri-duri itulah yang akan mengganjal itikad Obama. Khalayak paham bahwa membiarkan duri berarti membuat luka perlahan-lahan. Lama-kelamaan menjadi borok yang justru merusak semangat dialog Islam dan Barat. Luka itu di antaranya apa yang disebut filsuf Jurgen Habermas sebagai terorisme global.
Patologi komunikasi
Pernyataan itu memberikan gambaran jelas, teror tak kenal batas geografis. Habermas mengungkapkan, terdapat tiga jenis terorisme, (1) perang gerilya tanpa pandang bulu, (2) perang gerilya paramiliter, (3) terorisme global. Ia menyebutkan ciri terorisme global tidak tampak mempunyai tujuan realistis dari segi politik selain mengeksploitasi kerapuhan sistem yang kompleks. Hasil yang tampak adalah delegitimasi otoritas negara.
Landasan kuat terorisme global adalah munculnya patologi komunikasi. Kenyataannya, globalisasi telah ”membagi” dunia dalam dua kategori, mereka yang mengambil keuntungan dan mereka yang dirugikan. Globalisasi melahirkan ketidakadilan antarbangsa sehingga komunikasi terganggu. Di sini, Habermas melihat ada pemicu kekerasan. Ini pula salah satu alasan terorisme marak pada abad global.
Newspeak merupakan patologi komunikasi yang ditimbulkan oleh mereka yang mengambil keuntungan dari globalisasi, dan disadari ataupun tidak, menyuburkan terorisme global. Teroris berupaya melawan newspeak dengan press release lewat rekaman video, atau mengoptimalkan media untuk menginformasikan aksi teror. Layak dimaklumi mengapa rencana laga Manchester United (MU) tempo hari dimanfaatkan teroris. MU adalah magnet dunia, aksi teror terhadap kesebelasan Inggris itu seketika gampang menyebar ke seantero dunia. Keduanya (newspeak dan balasan teroris) terus berputar menjadi sebuah siklus.
Kunjungan Obama belum menjamin bisa mewujudkan kesadaran bulat atas itikad baik Presiden AS untuk membangun harmonisasi Islam-Barat. Publik masih melihat duri newspeak menghalangi itikad baik itu.
Toto Suparto Pengkaji Etika

Opini Kompas 18 Maret 2010