Jumat Kliwon, 13 November 2009 genap 100 hari meninggalnya penyair, dramawan, budayawan kondang WS Rendra menghadap Sang Khalik. Seluruh hidupnya diabdikan untuk seni dan budaya Indonesia. Tanggal tersebut berdekatan dengan Hari Pahlawan, dan WS Rendra, kata Putu Wijaya adalah pahlawan orang miskin karena gigih memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan fakir miskin. Pada masa Orde Lama, ia dikejar-kejar Lekra dan pada masa Orde Baru dikejar-kejar aparat penguasa. Ia tetap tegar dan konsisten. Berkali-kali ia masuk sel tahanan karena daya kritisnya yang dituangkan dalam karya-karyanya dinilai mengancam penguasa.
Herbert Marcuse dalam bukunya The Aesthetic Dimension (1979: 32-3) mengatakan, seni (termasuk sastra) tidak dapat mengubah dunia, tetapi seni dapat menyumbang dengan mengubah kesadaran dan menggerakkan manusia yang dapat mengubah dunia. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa yang dapat melakukan perubahan adalah manusia. Seni merupakan salah satu bidang kehidupan yang berpotensi menggerakkan manusia untuk melakukan perubahan. Barangkali itulah yang dirasa mengancam penguasa saat itu.
Seni (sastra) merupakan produk kreatif manusia, di samping humor dan diskaveri (Koesler, 1964). Karya seni dihasilkan melalui kecanggihan imaginasi seniman yang memiliki daya simpati, kekaguman, dan ketragisan. Imajinasi yang jujur, penuh simpati, kekaguman atau ketragisan tersebut menghasilkan karya seni yang berjiwa. Seni dengan karakter tersebut memiliki daya dan sanggup mengubah, menggerakkan dan menjiwai manusia untuk melakukan perubahan. Semuanya dimungkinkan terjadi jika karya seni tersebut dinikmati dan sampai kepada masyarakat. Pesan seni (khususnya sastra) akan sampai kepada masyarakat jika dibaca. Dalam masyarakat dengan tradisi lisan dapat disampaikan dengan cara dibacakan atau diadaptasi menjadi seni pertunjukan yang memadukan unsur verbal dan nonverbal.
Kesaksian
Rendra merupakan salah satu seniman yang memiliki kesanggupan mengolah kata menjadi berjiwa. Secara futuristik Rendra menyaksikan situasi yang terjadi pada awal Orde Baru dalam puisi berjudul ‘Kesaksian Tahun 1967’.
//Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja/ kaca dan tambang-tambang yang menderu/Bumi bakal tidak lagi perawan/ tergarap dan terbuka/ sebagai lonte yang merdeka/ Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan/Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan/ Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga//
Semua tampaknya terbukti. Pembangunan (modernisasi) menghasilkan aneka bangunan dengan kerangka baja dan ruang-ruang memamerkan isinya di balik kaca. Tambang-tambang menderu (mesin dan permasalahannya). Hal tersebut mengingatkan novel Ramadhan KH ‘Ladang Perminus’ yang menceritakan korupsi di perusahaan tambang minyak yang namanya Perminus. Ironisnya sang koruptor justru dimakamkan di Taman Makam Pahlawan yang berarti dihargai sebagai seorang pahlawan. Oleh karena itu, ketika diadaptasi menjadi pertunjukan drama, pada akhir pertunjukan dikatakan “Di negeri ini, hanya di negeri ini, seorang koruptor bisa menjadi pahlawan”. Akankah korupsi di bidang pertambangan sampai di pengadilan?
Mengejar mimpi platina yang berkilatan tampak pada simbol sukses yang dalam bentuk fasilitas seperti mobil mewah, rumah mewah, produk asing, dan wisata ke luar negeri. Meskipun demikian kaki tetap menginjak dunia kemelaratan, seperti yang ditampakkan pada data BPS per Maret 2009 berjumlah 14, 15 persen atau 32,53 juta jiwa (Bisnis.vivanews.com, 17/10/09). Jumlah tersebut jika baris berjajar ke samping 20 orang kurang lebih sepanjang Jakarta-Surabaya.
Hakikat manusia kerja dikemukakan oleh Rendra dalam puisi ‘Sajak Seorang Tua untuk Isterinya’ //Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh./ Hidup adalah untuk mengolah hidup,/ bekerja membalik tanah,/ memasuki rahasia langit dan samodra,/ serta mencipta dan mengukir dunia./ Kita menyandang tugas/kerna tugas adalah tugas/ Bukannya demi sorga atau neraka./ Tetapi demi kehormatan seorang manusia/
Hidup merupakan anugerah istimewa dari Tuhan. Oleh karena itu, Rendra memandang tidak pada tempatnya jika hanya digunakan untuk mengeluh dan mengaduh yang akan menguras energi dan tidak membawa kemajuan. Hidup adalah untuk olah fisik melalui kerja membalik tanah, olah pikir untuk memasuki rahasia langit dan samodra, dan olah rasa keindahan dengan mencipta dan mengukir dunia.
Kerja sebagai hak dan kewajiban yang melekat pada manusia. Hal tersebut dilakukan demi kehormatan seorang manusia. Larik puisi tersebut mengingatkan pada kebijaksanaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang oleh Pieter Aman dikatakan bertentangan dan tidak menghargai hakikat manusia sebagai makhluk kerja. Pemda Bantul dengan cerdas mengubahnya menjadi bantuan langsung investasi. Sebagai warga negara dan warga dunia, marilah sadar situasi dan menghadapinya secara cerdas dan realistis. Keterpurukan, ketertinggalan, korupsi, ketidakadilan, kemiskinan, kesulitan, penindasan, tidak cukup dihadapi dengan mengeluh dan mengaduh. Memanfaatkan daya fisik, daya pikir, dan daya rasa untuk mengatasi! Kita memilikinya. Lakukan! q - g
*) Dosen FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogya, sedang menempuh S3 Linguistik di UNS.
Kolom Kedaulatan Rakyat 16 November 2009
15 November 2009
» Home »
Kedaulatan Rakyat » Rendra dan Negeri Koruptor
Rendra dan Negeri Koruptor
Thank You!
Rendra dan Negeri Koruptor
Related Posts :
- Industri (Kerajinan) Rakyat ; Memperkuat Sinergi Produksi dan Pasar Kerajinan
- Mengkritisi ’ Bahasa Jawa Day’ di Sekolah
- MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 ; Kearifan Lokal Menopang Mitigasi Bencana
- Rendra dan Negeri Koruptor
- Kepemimpinan NU Masa Kini
- Obama dan Duri "Newspeak"
- Umat Islam dikejutkan oleh wafatnya Grand Syaik al-Azhar, Sayed Tantawi di Riyadh, Rabu (10/3). Almarhum sebenarnya dijadwalkan akan menerima penghargaan dari Kerajaan Arab Saudi dalam perannya mengampanyekan dan mengembangkan dakwah Islam yang moderat dan toleran. Namanya tercatat sebagai The Most 500 Influential Moslem. Penulis selama jadi mahasiswa Universitas al-Azhar (1995-1999) pernah beberapa kali bertemu dengan almarhum untuk sebuah wawancara jurnal ilmiah yang dikelola mahasiswa Indonesia dan pengajian yang rutin dilakukan setiap minggu di masjid dekat rumahnya. Dalam salah satu komentarnya, ia menyambut baik hubungan antaragama sembari meminta agar senantiasa mengembangkannya meski ada tantangan dari beberapa kelompok yang tidak menghendaki hal itu. Ia membangun silaturahim yang intensif dengan pemuka agama-agama lain di Mesir. Komitmen Tantawi terhadap toleransi begitu besar, yang ditunjukkan tidak hanya sekadar wacana belaka. Ia pernah menerima pemuka Yahudi di kantornya. Sikap tersebut ditentang para ulama al-Azhar lain karena dianggap tidak bersimpati dengan rakyat Palestina yang selama ini ditindas oleh Israel. Tantawi menjawab protes, bahkan demonstrasi yang dilakukan ribuan mahasiswa al-Azhar pada masa itu, dengan ungkapan, ketidaksetujuan kita terhadap Israel tidak menghalangi silaturahim dengan para pemuka Yahudi. Pertemuan tersebut justru dapat dijadikan sebagai medium menyampaikan aspirasi umat Islam terhadap penindasan yang dilakukan oleh Israel kepada rakyat Palestina. Sikap yang diambil oleh Tantawi mengingatkan kita kepada sosok Gus Dur, yang berani mengambil sikap berbeda dengan kalangan mayoritas sekalipun. Keberanian tersebut bukan tanpa dasar. Fundamennya adalah toleransi yang merupakan inti ajaran Islam meski tanpa menutup mata terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh Israel. Makna luas jihad Begitu pula, tatkala terjadi perang antara Israel dan Hizbullah, Lebanon Selatan, Tantawi melarang orang-orang Mesir yang hendak ikut serta dalam perang tersebut. Ia memandang bahwa jihad mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya bermakna perang. Mendidik anak dan membangun keluarga harmonis merupakan salah satu elemen jihad yang juga penting. Ia tidak mendukung mereka yang ingin ikut serta dalam perang melawan Israel di Lebanon Selatan. Berjihad dalam mengentaskan orang dari kemiskinan dan mencerdaskan umat di Mesir jauh lebih penting daripada berperang di Lebanon Selatan. Jihad ke Lebanon Selatan, menurut Tantawi, adalah kewajiban representatif (fardh kifayah), yang mana tak ada kewajiban bagi setiap individu selama ada orang-orang yang melakukannya. Satu hal yang menarik pascaperang tersebut bahwa Hizbullah mampu mengalahkan Israel. Tanpa keterlibatan orang-orang Mesir dalam perang tersebut, Israel justru dipaksa untuk mundur dan menghentikan perang karena Israel harus menelan kerugian dan tak mampu melumpuhkan kekuatan Hizbullah. Bahkan, pascaperang tersebut, Hizbullah justru semakin berkibar. Perihal sikap Tantawi terhadap kebiadaban Israel sangat tegas. Usamah Khalil, Deputi Dubes Mesir untuk Arab Saudi, yang mendampingi almarhum dalam detik-detik akhir hidupnya menyampaikan keprihatinan yang begitu mendalam terhadap masalah Palestina yang tidak kunjung selesai akibat penindasan yang dilakukan Israel setiap waktu. Di samping itu, kesedihan yang amat mendalam terhadap konflik internal di antara faksi politik di dalam Palestina sendiri (al-Syarq al-Awsat, 11/3). Secara paradigmatik, pandangan Tantawi yang notabene merupakan pemegang resmi kendali keagamaan di Mesir adalah jalur moderasi. Dalam relasi agama dan negara, ia memandang perlunya agama dapat mewarnai ruang publik dengan nilai-nilai yang konstruktif, bukan justru menjadikan agama sebagai stempel atas kepentingan politik, sebagaima dilakukan oleh beberapa pihak di Mesir. Oleh sebab itu, meskipun arus terbesar yang berkembang di Mesir pada umumnya dan al-Azhar secara khusus adalah konservatif, Tantawi tetap pada pendiriannya dalam memilih moderasi, jalan tengah untuk menjaga keseimbangan dan kelenturan. Jilbab dan cadar Dalam pandangannya, rasionalitas dan kemaslahatan harus menjadi pertimbangan dalam menentukan sebuah pandangan. Salah satu pandangannya yang ditentang keras adalah pemakaian jilbab bagi para perempuan muslimah di Perancis. Pada saat itu terjadi polemik yang sangat tajam soal larangan Pemerintah Perancis bagi perempuan yang berjilbab di sekolah-sekolah umum dan pemerintahan. Hal tersebut mendapatkan respons keras dari berbagai dunia Islam, termasuk di Tanah Air. Akan tetapi, Tantawi dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi perempuan muslimah untuk menggunakan jilbab di negara-negara yang tidak menganut hukum Islam, seperti di Perancis. Mereka harus menghargai konstitusi yang dianut oleh negara tersebut. Yang paling mutakhir adalah larangan terhadap perempuan untuk memakai cadar di lingkungan lembaga pendidikan al-Azhar. Alasannya, karena cadar bukanlah ajaran yang ditetapkan di dalam Al Quran dan Sunnah Nabi. Pemakaian cadar merupakan bagian dari tradisi, bukan bagian dari agama. Harus diakui, sejumlah pandangan di atas perlu dipertimbangkan untuk mengedepankan sikap moderat daripada sikap ekstrem. Apalagi al-Azhar merupakan salah satu menara pemikiran keislaman yang selama ini dijadikan kiblat oleh dunia Islam. Barangkali banyak pihak yang menentang pandangan Tantawi, tetapi dalam beberapa tahun ke depan pandangan tersebut menyimpan mutiara yang amat penting karena di balik pandangan dan sikap progresif tersebut tersimpan mutiara perihal pentingnya sikap toleran dan moderat. Mau tak mau, pada era global dituntut pandangan keagamaan yang dapat mewarnai hubungan antarmasyarakat dengan sebuah sikap yang lebih lentur dan moderat, dengan tanpa kehilangan identitas. Hal-hal yang prinsip dalam agama harus ditegakkan dengan konsekuen dan konsisten, tetapi hal-hal yang dimungkinkan untuk dirasionalisasi dan diakulturasi untuk kemaslahatan umat harus dilakukan dengan saksama dan penuh tanggung jawab. Tantawi dikenal sebagai sosok yang lemah lembut dan tak meledak-ledak. Tutur katanya sangat pelan dan santun. Namun, dari dalam dirinya muncul sebuah keberanian yang sangat luar biasa untuk menancapkan panji-panji moderasi. Semoga jasa beliau tersebut dapat menjadi teladan baik bagi generasi muda yang haus perubahan dan perbaikan umat ke arah yang lebih konstruktif. Selamat jalan, guruku. Zuhairi Misrawi Alumnus Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, dan Ketua Moderate Muslim Society
- Akhir Sebuah Drama
- Memasyarakatkan Industri Pariwisata