17 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Gubernur Makin Bergigi dan Bergizi

Gubernur Makin Bergigi dan Bergizi

Dengan terbitnya PP Nomor 19 Tahun 2010, dipastikan tidak akan ada lagi bupati/wali kota potong kompas mengganti sekretaris daerah tanpa berkonsultasi dulu ke gubernur

DI tengah wacana gubernur nantinya dipilih secara langsung oleh masyarakat, dipilih oleh DPRD provinsi atau cukup ditunjuk oleh presiden, muncul Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 yang memberi kewenangan besar sekaligus mengukuhkan posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang benar-benar berdaya.


Peran ganda gubernur menjadi lebih jelas dan tegas batasnya, bahkan bisa disebut lebih bergigi sekaligus ”bergizi”, sehingga ke depan pelaksanaan otonomi di kabupaten/kota akan menjadi lebih efektif dan efisien.
Para bupati dan wali kota nantinya tak bisa seenaknya menolak undangan ataupun panggilan gubernur untuk rapat koordinasi atau rapat lain karena terhitung sejak 28 Januari 2010 ada ”senjata” yang membuat gubernur berwenang memberi hukuman aaupun penghargaan kepada para kepala daerah.

Melalui Pasal 4 PP Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, ada kewenangan baru yang secara tegas melekat pada jabatan gubernur.

Kewenangan itu yakni mengundang rapat bupati/ wali kota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal, serta meminta kepada bupati/ wali kota berserta perangkat daerah dan pimpinan  instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat.

Kewenangan lain yang diatur dalam peraturan itu yakni memberi penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji; menetapkan sekretaris daerah (sekda) kabupaten/ kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; mengevaluasi raperda tentang APBD; serta memberi persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota.

Dengan terbitnya peraturan baru tersebut, dipastikan tidak ada lagi bupati/wali kota yang potong kompas mengganti sekda tanpa berkonsultasi dulu ke gubernur, seperti yang terjadi di Kota Semarang belum lama ini, karena penetapan sekda kabupaten/kota ada di tangan gubernur.

Sebagai pembina sekaligus pengawas, gubernur dalam kasus tertentu berhak memberi peringatan atau teguran tertulis, yang tembusannya disampaikan ke DPRD kabupaten/kota. Kewenangan tersebut, bisa sampai pada kondisi ekstrem, yakni memberhentikan bupati/wali kota jika melanggar UU dan ketentuan turunannya.

Begitu pula dengan APBD yang semula pemerintah provinsi (dalam hal ini gubernur) hanya dilewati, sekarang memiliki peran sangat jelas. Pertimbangan dan catatan yang diberikan oleh gubernur akan menjadi bahan pertimbangan yang penting dalam konteks kedekatan dan pemahamannya tentang bagian wilayah yang dipimpinnya. Termasuk menahan persetujuan APBD kabupaten/kota sampai tiga bulan jika diperlukan.

Persetujuan Tertulis

Hal lain yang membuat gubernur lebih ”bergigi” adalah kewenangannya memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Semula kewenangan tersebut ada di tangan presiden dan didelegasikan kepada mendagri. Dengan begitu, birokrasi penyidikan terhadap wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota menjadi lebih ringkas dan sederhana, dan langkah ini sejalan dengan mulai dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di tiap ibu kota provinsi.

Memang bertambahnya kewenangan yang ada di tangan gubernur di satu sisi bisa berdampak positif terhadap efektivitas otonomi daerah kabupaten/kota, namun di sisi lain berpeluang memunculkan kesewenang-wenangan yang merupakan dampak negatif dari kekuasaan mengingat pertanggungjawaban gubernur atas kewenangannya selaku wakil pemerintah pusat disampaikan kepada presiden selaku atasan langsungnya.

Dalam konteks kewenangan sebagai wakil pemerintah (pusat), lembaga legislatif dalam hal ini DPRD provinsi, tidak bisa berperan sebagai lembaga pengawas ataupun pengontrol langsung karena sesuai yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004, peran DPRD provinsi hanya berkait dengan kebijakan di lingkungan pemerintahan daerah provinsi.

Hal luar biasa yang diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2010 adalah penetapan bahwa pendanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah untuk mengurusi urusan pemerintah di wilayahnya, dibebankan pada APBN melalui mekanisme dana dekonsentrasi. Pasal 10 PP itu tentang Kedudukan Keuangan, secara rinci menyebutkan dana dekonsentrasi tersebut dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Dalam Negeri.

Urusan pemerintah yang ditangani gubernur akan didanai APBN melalui Kementerian Dalam Negeri meliputi koordinasi antarpenyelenggaraan pemerintahan, pembinaan dan pengawasan, penjagaan keutuhan NKRI, penjagaan kehidupan demokrasi, pemeliharaan stabilitas politik sampai penjagaan etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Penyediaan anggaran memang merupakan konsekuensi riil dari tugas yang diberikan, dan langkah ini sangat realistis karena sangat tidak efektif kalau mendagri harus mengawasi dan membina 524 kabupaten dan kota di Indonesia. Pastilah akan lebih efektif dan berdaya guna jika pengawasan dan pembinaan kabupaten/kota diserahkan kepada 33 gubernur yang ada.Yang lebih menarik lagi, untuk tugas di luar urusan yang disebut itu, gubernur juga bisa mengajukan pendanaan dari APBN melalui  anggaran kementerian di luar Kementerian Dalam Negeri dan lembaga pemerintah nonkementerian.

Artinya, banyak tugas gubernur yang pembiayaannya disangga APBN, sehingga lembaga gubernur dalam kacamata kedudukan keuangannya menjadi lebih ‘’bergizi’’ karena ada sumber dana di luar APBD provinsi yang bisa digunakan.

Nantinya, pelantikan gubernur juga akan dilakukan oleh presiden, bukan lagi oleh mendagri. Pasal 2 Ayat (3) PP  itu secara jelas menyebut,’’Gubernur dilantik oleh PresidenĂ®. Kalaupun Presiden berhalangan melantik gubernur, Menteri Dalam Negeri akan melantik Gubernur atas nama Presiden’’.

Patut dicatat pula, tugas gubernur sebagai wakil pemerintah juga didukung organisasi yang jelas dan secara tertulis diatur dalam PP tersebut. Pasal 17 menyebutkan dalam melaksanakan tugas sebagai wakil pemerintah, gubernur dibantu oleh sekretaris gubernur. Posisi sekgub secara ex officio dijabat oleh sekretaris daerah, dibantu oleh (petugas) sekretariat dan tenaga ahli.

Dengan begitu, bukan hanya posisi gubernur yang makin berwibawa di depan para bupati/wali kota, posisi sekda provinsi pun menjadi semakin penting dalam posisi koordinator sekretaris daerah kabupaten/kota. Dan, sekretariat yang dimaksud untuk membantu tugas gubernur sebagai wakil pemerintah, memiliki kepala sekretariat sendiri. Pembentukan serta tata organisasinya sekretariat gubernur bahkan akan diatur tersendiri oleh peraturan mendagri.

Kita patut bersyukur dengan lahirnya PP Nomor 19 Tahun 2010 melihat selama berlakunya otonomi daerah, fungsi koordinasi antara gubernur dan bupati/ wali kotai tak berjalan baik. Banyak bupati/wali kota yang mengabaikan panggilan atau undangan gubernur karena tidak ada sanksinya. Namun hadirnya PP itu juga perlu kita cermati dan awasi bersama, agar tidak memunculkan dualisme pertanggungjawaban dan kewenangan yang berlebihan pada jabatan gubernur. (10)

— Agus Widyanto, Manager Riset dan Pengembangan Suara Merdeka


Wacana Suara Merdeka 18 Maret 2010