Setelah beberapa bulan lalu Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X secara resmi meluncurkan Hari Berbahasa Jawa atau ‘Bahasa Jawa Day’ bagi semua aparat pemerintah di lingkungan pemprop dan pemkab/pemkot di seluruh DIY, kini muncul usulan agar Bahasa Jawa Day (BJD) juga diberlakukan di sekolah-sekolah, sejak SD - SLTA, di seluruh DIY. Tujuannya, sebagaimana dikemukakan Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, sebagai salah satu pihak pengusul, agar generasi muda semakin terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari.
Dengan usulan itu, diharapkan nantinya tidak hanya aparat di jajaran pemprop dan pemkab/ pemkot seluruh DIY saja yang menerapkan BJD, yakni setiap hari Sabtu, melainkan juga seluruh sekolah di DIY. Bila usulan itu diterima, nantinya setiap hari sekali dalam seminggu, para guru, karyawan sekolah dan semua siswa sekolah harus berbahasa Jawa di lingkungan sekolah masing-masing. Tentu saja bahasa Jawa itu hanya digunakan di luar jam pelajaran. Penyampaian materi pelajaran masih menggunakan bahasa yang biasa digunakan, yakni bahasa Indonesia. Hanya pelajaran bahasa daerah saja yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa.
Munculnya ide untuk menerapkan BJD di sekolah sejatinya bukan sesuatu yang baru. Di satu dua SMP negeri di wilayah eks Karesidenan Surakarta (Kab Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Kota Surakarta), sudah ditemui penerapan BJD. Bahkan penerapan BJD di satu dua SMP negeri di wilayah itu sudah dilangsungkan sebelum Gubernur DIY meluncurkan BJD di lingkugan instansi pemerintah DIY. Oleh karena itu, kalau saat ini sejumlah pejuang bahasa Jawa menginginkan adanya BJD di sekolah-sekolah seluruh DIY, tentunya hal tsb merupakan sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Masalahnya sekarang, efektifkah langkah itu untuk menggairahkan kembali pemakaian bahasa Jawa di kalangan generasi muda? Kalau memang bisa efektif, mampukah kebijakan itu sedikit banyak memperbaiki moralitas dan cara beretika generasi muda kita? Jangan-jangan kegiatan itu justru bersifat kontraproduktif: maunya mendapatkan sesuatu yang baik, tetapi justru menyebabkan adanya banyak kehilangan dan ketertinggalan.
Perjalanan Panjang
Munculnya BJD merupakan salah satu tonggak dari perjalanan panjang usaha pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa. Bermula dari Kongres Bahasa Jawa (KBJ) I 1991 di Semarang yang antara lain merekomendasikan pemberlakuan kembali pengajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah di seluruh Jateng, DIY dan Jatim. Sampai KBJ II 1996 di Malang, rekomendasi itu belum diimplementasikan di lapangan. Demikian pula sampai menjelang KBJ III 2001 di Yogyakarta, rekomendasi itu bak rekomendasi tak bertaring. Ini terjadi karena rekomendasi itu tak disertai tindakan nyata di lapangan berupa lobi-lobi ke berbagai pihak, baik kalangan eksekutif maupun legislatif, untuk mendukung pengajaran bahasa Jawa di sekolah dengan dukungan konsep dan anggaran memadai. Penyebab lainnya, suasana sosial politik pasca 1991 sampai menjelang 2001, memang kurang mendukung. Secara umum masyarakat masih dalam suasana Orde Baru, menjelang dan munculnya euforia reformasi.
Barulah pada pasca KBJ III di Yogyakarta (2001), rekomendasi untuk menggalakkan pengajaran bahasa Jawa, menemukan momentumnya. Seiring dengan munculnya kebebasan di berbagai bidang kehidupan, para pejuang bahasa Jawa pun tanpa rikuh (canggung) lagi melakukan lobi sana-sini untuk menggolkan pelaksanaan pengajaran bahasa Jawa.
Perlu Evaluasi
Walaupun usulan BJD dan ide adanya Bulan Bahasa Jawa itu sesuatu yang wajar dan sah, bukan berarti usulan dan ide itu layak untuk diterima begitu saja. Munculnya hal-hal baru yang cenderung berlebihan dalam usaha pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa justru dapat menimbulkan komentar atau anggapan negatif terhadap masyarakat Jawa. Untuk saat ini, yang paling pas untuk dilakukan adalah evaluasi secara saksama dan menyeluruh terhadap berbagai upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa.q -o. (1326-2009).
*) K Sumarsih, Peminat Masalah Sosial Budaya, Alumnus FIB UGM.
Opini Kedaulatan Rakyat 16 November 2009
15 November 2009
» Home »
Kedaulatan Rakyat » Mengkritisi ’ Bahasa Jawa Day’ di Sekolah
Mengkritisi ’ Bahasa Jawa Day’ di Sekolah
Thank You!
Mengkritisi ’ Bahasa Jawa Day’ di Sekolah
Related Posts :
- Umat Islam dikejutkan oleh wafatnya Grand Syaik al-Azhar, Sayed Tantawi di Riyadh, Rabu (10/3). Almarhum sebenarnya dijadwalkan akan menerima penghargaan dari Kerajaan Arab Saudi dalam perannya mengampanyekan dan mengembangkan dakwah Islam yang moderat dan toleran. Namanya tercatat sebagai The Most 500 Influential Moslem. Penulis selama jadi mahasiswa Universitas al-Azhar (1995-1999) pernah beberapa kali bertemu dengan almarhum untuk sebuah wawancara jurnal ilmiah yang dikelola mahasiswa Indonesia dan pengajian yang rutin dilakukan setiap minggu di masjid dekat rumahnya. Dalam salah satu komentarnya, ia menyambut baik hubungan antaragama sembari meminta agar senantiasa mengembangkannya meski ada tantangan dari beberapa kelompok yang tidak menghendaki hal itu. Ia membangun silaturahim yang intensif dengan pemuka agama-agama lain di Mesir. Komitmen Tantawi terhadap toleransi begitu besar, yang ditunjukkan tidak hanya sekadar wacana belaka. Ia pernah menerima pemuka Yahudi di kantornya. Sikap tersebut ditentang para ulama al-Azhar lain karena dianggap tidak bersimpati dengan rakyat Palestina yang selama ini ditindas oleh Israel. Tantawi menjawab protes, bahkan demonstrasi yang dilakukan ribuan mahasiswa al-Azhar pada masa itu, dengan ungkapan, ketidaksetujuan kita terhadap Israel tidak menghalangi silaturahim dengan para pemuka Yahudi. Pertemuan tersebut justru dapat dijadikan sebagai medium menyampaikan aspirasi umat Islam terhadap penindasan yang dilakukan oleh Israel kepada rakyat Palestina. Sikap yang diambil oleh Tantawi mengingatkan kita kepada sosok Gus Dur, yang berani mengambil sikap berbeda dengan kalangan mayoritas sekalipun. Keberanian tersebut bukan tanpa dasar. Fundamennya adalah toleransi yang merupakan inti ajaran Islam meski tanpa menutup mata terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh Israel. Makna luas jihad Begitu pula, tatkala terjadi perang antara Israel dan Hizbullah, Lebanon Selatan, Tantawi melarang orang-orang Mesir yang hendak ikut serta dalam perang tersebut. Ia memandang bahwa jihad mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya bermakna perang. Mendidik anak dan membangun keluarga harmonis merupakan salah satu elemen jihad yang juga penting. Ia tidak mendukung mereka yang ingin ikut serta dalam perang melawan Israel di Lebanon Selatan. Berjihad dalam mengentaskan orang dari kemiskinan dan mencerdaskan umat di Mesir jauh lebih penting daripada berperang di Lebanon Selatan. Jihad ke Lebanon Selatan, menurut Tantawi, adalah kewajiban representatif (fardh kifayah), yang mana tak ada kewajiban bagi setiap individu selama ada orang-orang yang melakukannya. Satu hal yang menarik pascaperang tersebut bahwa Hizbullah mampu mengalahkan Israel. Tanpa keterlibatan orang-orang Mesir dalam perang tersebut, Israel justru dipaksa untuk mundur dan menghentikan perang karena Israel harus menelan kerugian dan tak mampu melumpuhkan kekuatan Hizbullah. Bahkan, pascaperang tersebut, Hizbullah justru semakin berkibar. Perihal sikap Tantawi terhadap kebiadaban Israel sangat tegas. Usamah Khalil, Deputi Dubes Mesir untuk Arab Saudi, yang mendampingi almarhum dalam detik-detik akhir hidupnya menyampaikan keprihatinan yang begitu mendalam terhadap masalah Palestina yang tidak kunjung selesai akibat penindasan yang dilakukan Israel setiap waktu. Di samping itu, kesedihan yang amat mendalam terhadap konflik internal di antara faksi politik di dalam Palestina sendiri (al-Syarq al-Awsat, 11/3). Secara paradigmatik, pandangan Tantawi yang notabene merupakan pemegang resmi kendali keagamaan di Mesir adalah jalur moderasi. Dalam relasi agama dan negara, ia memandang perlunya agama dapat mewarnai ruang publik dengan nilai-nilai yang konstruktif, bukan justru menjadikan agama sebagai stempel atas kepentingan politik, sebagaima dilakukan oleh beberapa pihak di Mesir. Oleh sebab itu, meskipun arus terbesar yang berkembang di Mesir pada umumnya dan al-Azhar secara khusus adalah konservatif, Tantawi tetap pada pendiriannya dalam memilih moderasi, jalan tengah untuk menjaga keseimbangan dan kelenturan. Jilbab dan cadar Dalam pandangannya, rasionalitas dan kemaslahatan harus menjadi pertimbangan dalam menentukan sebuah pandangan. Salah satu pandangannya yang ditentang keras adalah pemakaian jilbab bagi para perempuan muslimah di Perancis. Pada saat itu terjadi polemik yang sangat tajam soal larangan Pemerintah Perancis bagi perempuan yang berjilbab di sekolah-sekolah umum dan pemerintahan. Hal tersebut mendapatkan respons keras dari berbagai dunia Islam, termasuk di Tanah Air. Akan tetapi, Tantawi dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi perempuan muslimah untuk menggunakan jilbab di negara-negara yang tidak menganut hukum Islam, seperti di Perancis. Mereka harus menghargai konstitusi yang dianut oleh negara tersebut. Yang paling mutakhir adalah larangan terhadap perempuan untuk memakai cadar di lingkungan lembaga pendidikan al-Azhar. Alasannya, karena cadar bukanlah ajaran yang ditetapkan di dalam Al Quran dan Sunnah Nabi. Pemakaian cadar merupakan bagian dari tradisi, bukan bagian dari agama. Harus diakui, sejumlah pandangan di atas perlu dipertimbangkan untuk mengedepankan sikap moderat daripada sikap ekstrem. Apalagi al-Azhar merupakan salah satu menara pemikiran keislaman yang selama ini dijadikan kiblat oleh dunia Islam. Barangkali banyak pihak yang menentang pandangan Tantawi, tetapi dalam beberapa tahun ke depan pandangan tersebut menyimpan mutiara yang amat penting karena di balik pandangan dan sikap progresif tersebut tersimpan mutiara perihal pentingnya sikap toleran dan moderat. Mau tak mau, pada era global dituntut pandangan keagamaan yang dapat mewarnai hubungan antarmasyarakat dengan sebuah sikap yang lebih lentur dan moderat, dengan tanpa kehilangan identitas. Hal-hal yang prinsip dalam agama harus ditegakkan dengan konsekuen dan konsisten, tetapi hal-hal yang dimungkinkan untuk dirasionalisasi dan diakulturasi untuk kemaslahatan umat harus dilakukan dengan saksama dan penuh tanggung jawab. Tantawi dikenal sebagai sosok yang lemah lembut dan tak meledak-ledak. Tutur katanya sangat pelan dan santun. Namun, dari dalam dirinya muncul sebuah keberanian yang sangat luar biasa untuk menancapkan panji-panji moderasi. Semoga jasa beliau tersebut dapat menjadi teladan baik bagi generasi muda yang haus perubahan dan perbaikan umat ke arah yang lebih konstruktif. Selamat jalan, guruku. Zuhairi Misrawi Alumnus Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, dan Ketua Moderate Muslim Society
- Akhir Sebuah Drama
- Memasyarakatkan Industri Pariwisata
- Industri (Kerajinan) Rakyat ; Memperkuat Sinergi Produksi dan Pasar Kerajinan
- Mengkritisi ’ Bahasa Jawa Day’ di Sekolah
- MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 ; Kearifan Lokal Menopang Mitigasi Bencana
- Rendra dan Negeri Koruptor
- Kepemimpinan NU Masa Kini
- Obama dan Duri "Newspeak"