19 Maret 2010

» Home » Kedaulatan Rakyat » Kepemimpinan NU Masa Kini

Kepemimpinan NU Masa Kini

Pelaksanaan Muktamar Ke-32 NU di Makassar semakin dekat (22-27/3). Persaingan untuk menjadi ketua umum PBNU pun semakin terbuka. Tokoh-tokoh seperti KH Masdar F Mas’udi, KH Said Aqil Siraj, KH Salahuddin Wahid, Ulil Absar Abdalla, dan yang lainnya dipastikan akan bersaing untuk menjadi ketua umum PBNU.
Muktamar kali ini menjadi sangat penting karena berlangsung di tengah terjadinya pergeseran peta sosial-politik masyarakat ke arah yang lebih rasional, tak terkecuali di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Pergeseran ini telah memperlemah ikatan-ikatan primordial dalam kehidupan masyarakat, baik ikatan primordial dalam bentuk agama, suku, ras, ormas, maupun yang lainnya. Hingga akhirnya, keterikatan seseorang dengan agama, ormas, ras, suku, dan lainnya tidak secara otomatis menyeragamkan pilihan mereka karena ikatan-ikatan yang ada.



Walaupun NU mendukung calon tertentu dalam sebuah pemilu, contohnya, tidak secara otomatis warga NU mendukungnya pula. Bahkan, hal ini juga berlaku kepada ketua umum PBNU langsung yang masuk ke arena perebutan kekuasaan praktis (seperti yang dialami KH Hasyim Muzadi pada Pilpres 2004).
Pertanyaannya adalah, bagaimana NU menyesuaikan diri dengan semua perkembangan yang sedang terjadi? Di sinilah kepemimpinan NU ke depan menjadi salah satu faktor utama.
Dengan kata lain, bisa atau tidaknya NU menyesuaikan diri dengan semua perkembangan yang sedang terjadi akan sangat ditentukan oleh tipologi kepemimpinan NU yang akan ditentukan oleh para muktamirin di Makassar nanti. Ikhtiar untuk memastikan masa depan NU yang lebih cerah harus dimulai dengan memilih sosok dan tipologi kepemimpinan yang sesuai dengan sejumlah perkembangan masyarakat di atas sekaligus belajar dari kegagalan NU pada masa lalu, terutama dalam lima tahun terakhir.
Tipologi kepemimpinan
Ada empat tipologi kepemimpinan yang dikenal dalam tradisi Islam pada umumnya dan NU khususnya. Pertama, tipologi kepemimpinan imamah. Diambil dari kata imam (dalam shalat), model kepemimpinan ini bercorak sufisme dan spiritualisme dengan tingkat ketundukan nyaris total dari jemaah yang dipimpinnya. Kepemimpinan seperti ini acap memutlakkan ucapan, tingkah laku, dan gerak-gerik imam untuk diikuti oleh jemaah. Sama sekali tidak boleh ada bantahan, apalagi pembangkangan. Dalam tradisi Islam, kepemimpinan model imamah ini sangat dikenal di kalangan Muslim Syi’ah. Pada masa dan sisi tertentu, NU mengalami kepemimpinan model imamah ini, di mana segenap warga NU tunduk-patuh kepada pilihan, arahan, dan gerak-gerik pemimpinnya walaupun warga NU tak sepenuhnya mampu memahami pilihan-pilihan pemimpinnya.
Kepemimpinan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di NU bisa dikatakan mengikuti model imamah ini, di mana segenap warga NU mengikuti dan mengamini apa yang menjadi pilihan Gus Dur walaupun mungkin tidak semua dan selalu warga NU memahami langkah-langkah beliau, seperti dalam hal-hal yang bersifat kontroversial, baik di ranah keagamaan maupun di ranah politik. Dilihat dari ”kesucian” keturunan dan kemampuan intelektualitasnya, Gus Dur sangat pantas mengembangkan model kepemimpinan imamah ini. Beliau adalah cucu langsung pendiri NU dan mempunyai kemampuan intelektualitas yang nyaris sempurna. Dampaknya sangat dahsyat! Gus Dur merambah dunia politik dan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tanpa ada resistensi yang berarti dari kalangan warga NU. Sebaliknya, warga NU mendukung penuh hingga PKB langsung masuk dalam deretan lima partai besar. Bahkan, Gus Dur berhasil menjadi presiden ke-4 RI.
Kedua, model kepemimpinan al-qiyadah. Secara kebahasaan, al-qiyadah adalah kepemimpinan di medan tempur. Itu sebabnya, pemimpin yang mengambil model kepemimpinan ini disebut dengan istilah al-qaa`id yang berarti pimpinan pasukan atau jenderal. Pada masa dan sisi tertentu, NU juga pernah mengambil model kepemimpinan seperti ini, terutama ketika NU mengeluarkan resolusi jihad untuk melawan penjajah (23 Oktober 1945). Fatwa ini mewajibkan berperang kepada segenap umat Islam yang berada di radius 94 kilometer dengan penjajah. Akibatnya, sungguh dahsyat, ratusan kiai dan ribuan santri dari pelbagai daerah menuju Surabaya setelah fatwa ini dibacakan oleh Bung Tomo melalui radio.
Ketiga, model kepemimpinan ar-ri`asah. Diambil dari kata ra’sun yang berarti kepala, model kepemimpinan ini mempunyai peran yang hampir sama dengan kepresidenan. Itu sebabnya, negara-negara Arab yang berbentuk republik, seperti Mesir, menyebut pemimpinnya dengan istilah presiden (ar-ra’is). Pada masa dan sisi tertentu, NU juga pernah mengalami model kepemimpinan ri`asah seperti di atas, terutama dalam dua periode kepemimpinan KH Hasyim Muzadi. Mungkin karena menjalankan model kepemimpinan seperti ini di NU, beliau sempat berambisi dan mencalonkan diri untuk menjadi wakil presiden yang sesungguhnya, yaitu wakil presiden RI.
Keempat, kepemimpinan model ar- ri’ayah. Secara kebahasaan, ar-ri’ayah bisa dimaknai perhatian, pemberdayaan, dan tuntunan. Bahkan, istilah rakyat (dalam bahasa Arab ar-ra’iyah) pun serapan dari kata ini. Disebut rakyat karena membutuhkan perhatian, pemberdayaan, dan tuntunan dari pemimpinya yang disebut dengan istilah raa’in (orang yang memerhatikan, memberdayakan, dan menuntun).
Inilah inti kepemimpinan. Sejatinya, seorang pemimpin memerhatikan, memberdayakan, dan menuntun rakyat. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan, tasharrafu al-imam ’ala ar’ra’iyah manutun bilmaslahah (kebijakan seorang pemimpin harus atas dasar kemaslahatan rakyat). Kaidah ini mengacu kepada tuntunan Islam yang lebih tinggi, seperti hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, kullukum raa’in wakullukum mas`uulun ’an raa’iyyatihi (setiap manusia adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya).
Dalam hemat penulis, kepemimpinan model ar-ri’ayah inilah yang sangat dibutuhkan oleh NU ke depan, terutama dalam konteks perkembangan sosial-politik seperti di atas sekaligus belajar dari pengalaman pahit NU dalam lima tahun terakhir. Model kepemimpinan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh seorang calon pemimpin yang biasa merakyat (tidak elitis), tetapi juga mempunyai kemampuan intelektual yang mumpuni. Dan yang tak kalah penting adalah tidak mempunyai pengalaman membawa NU ke ranah politik praktis, baik langsung maupun tidak. Hasibullah Satrawi Warga NU Biasa

Opini Kompas 20 Maret 2010