Dengan demikian, kehormatan (muru’ah) Nahdlatul Ulama terletak pada apakah NU dan aktivisnya mampu menjalankan nilai-nilai keulamaan atau tidak. Apabila NU semakin jauh dari nilai-nilai keulamaan, itu berarti muru’ah NU akan semakin hilang. Kalau itu terjadi, NU tidak ada bedanya dengan organisasi-organisasi lain, termasuk organisasi politik.
Nilai-nilai keulamaan yang ingin dikembangkan NU tecermin dalam prinsip tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (menegakkan keadilan), dan tasammuh (toleran). Prinsip-prinsip tersebut ditopang kaidah-kaidah berpikir NU yang dikenal sebagai manhaj al-fikrah al-nahdiyyah (metode berpikir NU) dalam kerangka ahl al-sunnah waljama’ah. Namun, di atas semua itu, prinsip tertinggi dari keulamaan adalah penjaga moral masyarakat. Untuk menjaga moral masyarakat, pertama-tama yang harus dilakukan adalah menjaga moralnya sendiri. Pertanyaannya, sejauh mana NU dan seluruh elemennya mampu menjaga moralitasnya? Ini pertanyaan penting meskipun tidak mudah untuk dijawab.
Simbol keulamaan NU terinstitusionalisasi dalam lembaga syuriah yang dipimpin seorang Rais ’Am. Dalam Bab VII Pasal 11 [3] Anggaran Dasar (AD) NU disebutkan bahwa ”syuriyah adalah pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama”. Dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Pasal 50, hal tersebut dijelaskan lebih rinci, di mana syuriah selaku pimpinan tertinggi merupakan pembina, pengendali, pengawas dan penentu kebijakan NU. Tugas dan wewenangnya adalah: a) menentukan arah kebijakan NU; b) memberikan petunjuk, bimbingan dan pembinaan pemahaman, pengamalan dan pengembangan ajaran Islam berdasar paham Ahlussunnah wal Jamaah, baik di bidang akidah, syariah, maupun akhlak/tasawuf; c) mengendalikan, mengawasi, dan memberikan koreksi sesuai dengan pertimbangan syar’i dan ketentuan organisasi; d) membatalkan keputusan perangkat organisasi NU apabila dipandang perlu.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa lembaga syuriah yang dipimpin Rais ’Am sebenarnya secara struktural sangat superior yang seharusnya bisa mengatasi tanfidziyah (eksekutif). Sejak NU dilahirkan, paradigma kepemimpinan demikianlah yang digunakan.
Ibaratnya, Rais ’Am adalah kiai pesantren sebagai pemilik utama, sedangkan Ketua Umum Tanfidziyah adalah lurah (kepala santri) pesantren. Dengan demikian, hubungan Rais ’Am dan Ketua Umum Tanfidziyah adalah hubungan antara kiai dan lurah pesantren.
Kiai bertugas mengajar dan memberi bimbingan moral spiritual kepada santri, sedangkan lurah pesantren bertugas mengatur hal-hal teknis menyangkut kebersihan pesantren, menegakkan tata tertib yang dibuat kiai, mengatur kegiatan-kegiatan santri, dan seterusnya.
Pertanyaannya, apakah model kepemimpinan seperti ini masih cocok atau tidak? Menurut hemat penulis, model kepemimpinan demikian masih cocok, bahkan inilah yang menjadi ciri khas NU. Lembaga syuriah yang dipimpin Rais ’Am sebagai simbol keulamaan tertinggi NU masih relevan dipertahankan. Tentu yang dimaksud di sini bukan untuk melegitimasi kesewenang-wenangan, tetapi memastikan tanfidziyah tidak menyimpang dari prinsip-prinsip organisasi, termasuk menjaga Khittah 1926.
Namun, dalam Muktamar ke-32, model kepemimpinan demikian tampaknya hendak diubah. Hal ini tampak dalam draf perubahan AD yang tidak ada lagi istilah kepemimpinan tertinggi bagi syuriah. Dalam Bab VI Pasal 15 draf perubahan AD disebutkan ”syuriyah adalah unsur kepengurusan yang dipimpin oleh Rais ’Am di tingkat nasional dan Rais di tingkatan bawahnya”. Penghilangan kata ”tertinggi” dalam draf bisa dimaknai sebagai upaya untuk ”membonsai” syuriah.
Aroma ”membonsai” syuriah juga bisa dilihat dari draf ART yang merupakan penjabaran dari AD. Dalam ART yang sekarang berlaku, Rais ’Am dan lembaga syuriah dapat membatalkan keputusan-keputusan seluruh perangkat organisasi, termasuk tanfidziyah, jika dipandang perlu. Namun, dalam draf ART kewenangan tersebut tidak lagi melekat pada syuriah dan Rais ’Am, tetapi harus dilakukan bersama-sama dengan Ketua Umum Tanfidziyah. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 56 draf ART yang membahas wewenang Rais ’Am dan Pasal 62 tentang wewenang Ketua Umum Tanfidziyah.
Dari pemaparan tersebut, jelas sekali ada upaya untuk menyejajarkan lembaga syuriah dan tanfidziyah; atau antara Rais ’Am dan Ketua Umum Tanfidziyah. Hal ini harus mendapat perhatian serius peserta muktamar karena jika hal ini terjadi akan membawa beberapa konsekuensi sebagai berikut: pertama, akan terjadi kepemimpinan ganda dalam NU yang mempunyai posisi setara meskipun fungsinya berbeda. Kedua, ciri khas NU sebagai organisasi keulamaan di mana Rais ’Am sebagai pemimpin tertinggi akan hilang. Ketiga, posisi sebagai Rais ’Am jadi jabatan ”politis” yang bisa diperebutkan.
Kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan NU jika posisi Rais ’Am diperebutkan, seperti tokoh-tokoh NU memperebutkan Ketua Umum Tanfidziyah. Dalam sejarah perjalanan NU, tak pernah ada rebutan posisi Rais ’Am. Para kiai biasanya dengan sukarela menyerahkan kepemimpinan Rais ’Am melalui musyawarah mufakat sehingga, kalau ada satu tokoh diajukan, yang lain dengan sukarela menyerahkan kepemimpinan tersebut. Tak pernah ada mobilisasi dukungan atau membentuk tim sukses untuk jadi Rais ’Am. Inilah muru’ah NU yang dalam waktu sekian lama mampu dijaga dengan baik.
Pertanyaannya, apakah dalam muktamar ke-32 mendatang muru’ah ini masih terjaga atau tidak? Bila mengamati perkembangan, tampaknya akan terjadi sejarah baru di NU di mana Rais ’Am diperebutkan. Sejauh ini, KH Sahal Mahfudh tidak menyatakan penolakan ketika sejumlah kiai minta kepada beliau untuk tetap menjadi Rais ’Am. Karena tak menolak, bisa ditafsirkan KH Sahal Mahfudh masih kerso menjadi Rais ’Am.
Di pihak lain, KH Hasyim Muzadi
yang sudah tidak bisa lagi menjadi Ketua Umum Tanfidziyah mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk jadi Rais ’Am. Bahkan, sejumlah kiai sudah menyatakan dukungannya.
Tentu saja KH Hasyim Muzadi punya hak mencalonkan diri meski tidak terlalu etis jika harus bersaing dengan KH Sahal Mahfudh. Apalagi kalau sampai ada tim sukses, mobilisasi cabang-cabang dan wilayah, bahkan money politic, hal itu jelas mencederai muru’ah NU. Jika selama ini aroma money politic mulai merasuki pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah, dan kini mengancam masuk ke pemilihan Rais ’Am, warga NU patut berteriak.
Situasi ini patut jadi perhatian semua pihak. Tanpa bermaksud menggurui, NU sebagai organisasi keulamaan harus tetap mempertahankan nilai-nilai keulamaan yang lebih mengedepankan moralitas dan keikhlasan. Kalau suksesi kepemimpinan NU, terutama Rais ’Am, sudah saling diperebutkan, berarti paradigma NU bukan lagi paradigma keulamaan, tetapi bergeser jadi paradigma politik dan kekuasaan. Jika hal ini tak dikendalikan, muru’ah NU sudah benar-benar habis.
Opini Kompas 18 Maret 2010