17 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Rokok dan Nalar Fatwa

Rokok dan Nalar Fatwa

FATWA Muhammadiyah tentang haramnya rokok yang kali pertama dimuat Suara Merdeka, 10 Maret 2010 halaman K, kemudian diramaikan oleh beberapa media massa cetak dan media elektronik, semula berawal dari keputusan yang diambil dari sebuah halaqah Pimpinan Pusat MajlisTarjih dan Tajdid tentang pengendalian dampak tembakau yang digelar di Yogyakarta.

Keputusan halaqah dan kemudian menjadi fatwa hukum harus dibahas terlebih dahulu dalam Munas Tarjih pada Muktamar Muhammadiyah, Juli 2010 di Yogyakarta. Dengan demikian masyarakat diharapkan tidak terlalu sensitif dengan beredarnya fatwa tentang haramnya rokok
Seperti diketahui fatwa merupakan keputusan mujtahid atau ahli hukum tentang suatu masalah atau peristiwa hukum.


Orang atau kelompok yang memberi fatwa disebut mufti. Golongan awam yang tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ijtihad, maka mufti merupakan tempat bertanya dan rujukan tentang persoalan atau kejadian yang sedang atau yang akan dihadapinya, sehingga golongan awam tersebut dapat melaksanakannya sesuai dengan kehendak kitab suci dan maksud pesan Nabi.

Sebelum muncul fatwa rokok haram seperti sekarang, pada 2005 dan 2007 Muhammadiyah menerbitkan fatwa yang menyatakan merokok hukumnya mubah atau boleh.

Di sini berarti telah terjadi pergeseran hukum yang semula mubah atau boleh, menjadi haram atau dilarang
Pergeseran hukum terjadi karena illah (sebab hukum) yang dalam kaidah dirumuskan sebagai  al hukmu yaduuru ma’a illatihi wujuudan wa’adaman, atau situasi dan kondisi yang menghendaki status hukum tersebut berubah seperti rumusan kaidah taghyiir al ahkam bi taghoyyuril azminah wal amkinah. Menentukan sebab hukum, situasi, dan kondisi merupakan pertimbangan serius untuk menetapkan sebuah fatwa.

Fatwa dapat dikeluarkan secara langsung oleh mufti terhadap sebuah persoalan yang diajukan oleh penanya atau dikeluarkan secara tidak langsung dengan memberikan petunjuk, pedoman sebagai rujukan praktis dalam tulisan sebuah buku atau majalah. Maka ada sejumlah produk fatwa MUI, ada fatwa Dewan Syariah Nasional tentang perbankan syariah. Dalam khazanah klasik fatwa dapat dibaca pada buku Al Fatawa karya Mahmud Syaltout, atau Fatawa Ibnu Taimiyah yang terdiri atas 36 jilid ditulis sendiri oleh Ibnu Taimiyah.

Tidak Mengikat

Fatwa sebagai produk hukum mufti berbeda dari keputusan hakim pada lembaga peradilan. Terdapat persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Baik mufti maupun hakim, keduanya merupakan mujtahid atau ahli hukum yang harus mengetahui dan memahami persoalan atau peristiwa yang akan diselesaikan serta memahami kondisi masyarakat setempat. Perbedaannya yakni mufti lebih luas bidang garapannya, sedangkan tugas hakim hanya terbatas pada undang-undang dan peraturan pada suatu negara.

Dengan menggunakan pendekatan yuridis, keputusan hakim berlaku penuh terhadap para pihak yang berperkara, sementara fatwa boleh dilaksanakan atau tidak. Artinya tidak mengikat, bergantung pada orang yang memerlukan fatwa itu. Sehingga keputusan hakim dapat membatalkan fatwa yang dikeluarkan di daerah dan hal itu wewenang hakim, sedangkan fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim.

Dalam kaidah ushul fiqh ditemukan rumusan al ashlu fil asy ya’ al ibaahah,hatta yadullud daliil ëala tahriimatin, yang artinya segala sesuatu yang ada di dunia hukum asalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya. Jika rokok dikembalikan pada kaidah dasar tersebut hukumnya adalah mubah atau boleh karena tidak ada teks kitab suci yang melarang secara pasti. Artinya setiap orang boleh merokok dan juga boleh tidak.

Seorang yang organ tubuhnya sangat adaptif terhadap rokok, mereka tidak dilarang merokok. Tetapi bagi mereka yang rentan atau sensitif terhadap rokok maka merokok hukumnya haram dan sekurangnya makruh atau lebih baik ditinggalkan

Nalar haramnya rokok bukan pada ranah haram qath’iyyah atau haram definitif melainkan lebih pada keharaman yang bersifat zanniyyah, artinya haram hasil konstruksi hhkum ijtihad. Paling tidak keharaman rokok berbasis dzari’ah, yaitu mencegah karena merokok merupakan media yang dapat mengganggu kesehatan. Nalar haram dzari’ah lebih bersifat preventif.

Pendapat Ali Hasabullah dalam Ushulul Tasyri’il Islam, usaha preventif tidak perlu dilakukan bila merokok mempunyai dua kemungkinan yang sama, karena yang mubah atau boleh bisa jadi ada manfaat dan bahayanya. Jika bahayanya sama dengan manfaatnya, maka lebih baik ditinggalkan. Daí maa yuribuka ilaa maa laa yuriibuka, kerjakan yang pasti dan tinggalkan yang meragukan dan tidak bermanfaat.

Nalar haram rokok karena dzari’ah atau nalar preventif diperdebatkan eksistensinya oleh para yuris klasik. Jika rokok itu haram, maka apakah usaha menanam tembakau, cengkeh, membuat perusahaan/ pabrik rokok, jadi pekerja pabrik rokok, dan semua hasil penjualan rokok haram ? Mayoritas ulama kontemporer tidak melarang menanam anggur, sekalipun anggur merupakan salah satu bahan dasar khamar atau minuman keras.

Nalar Muhammadiyah mengharamkan rokok merujuk pada Alquran dan Hadis Nabi yang menjadi acuan pokok dalam Muhammadiyah, baik penyebutannya secara eksplisit maupun implisit. Penilaian terhadap keharaman rokok karena termasuk kategori khobaaits atau menjijikkan seperti tersurat dalam surat Al A’raf Ayat 157, dan juga termasuk kategori menjatuhkan diri dalam kehancuran, sehingga merokok merupakan perbuatan yang dilarang Allah dalam Kitab Suci melalui Surat An Nisa’ Ayat 29

Keharaman rokok juga dirujuk secara implisit pada pesan Nabi agar setiap indiviidu tidak melakukan perbuatan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Merokok juga merupakan perbuatan mubazir sebagai perbuatan setan

Memperhatikan nalar fatwa yang dirumuskan Muhammadiyah sebenarnya hanyalah usaha preventif untuk memelihara masyarakat, bangsa, dan generasi muda agar tetap sehat, sekalipun secara metodologis dalam nalar fatwa itu bersifat temporer dan tidak mengikat, sekurang-kurangnya fatwa bermanfaat bagi masyarakat yang memerlukan.

— Rozihan, dosen Fakultas Agama Islam Unissula, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah


Wacana Suara Merdeka 18 Maret 2010