17 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Fenomena The Black Swan dalam Kasus Jejaring Sosial

Fenomena The Black Swan dalam Kasus Jejaring Sosial

Tahukah Anda bahwa pro kontra tulisan Mario Teguh tentang perempuan perokok dan pemabuk tidak layak dijadikan istri dalam akun Twitter-nya itu adalah sebuah fenomena yang dinamakan black swan? Dalam buku berjudul The Black Swan (2007), Nassim Nicholas Taleb, mengantar kita untuk dapat menyingkap rahasia peristiwa-peristiwa langka yang disebut dengan the black swan.

Apa itu the black swan? Mengapa disebut the black swan? Konon, sebelum Benua Australia ditemukan, orang di Dunia Lama yakin bahwa semua angsa berwarna putih. Maka, ketika orang pertama kali melihat angsa berwarna hitam, pastilah mengejutkan. Penemuan angsa hitam menggambarkan betapa sangat terbatas pembelajaran yang kita dapatkan dari pengamatan atau pengalaman serta betapa rapuhnya pengetahuan kita selama ini.



Yang mengejutkan tentu karena 'hanya' kasus itu Mario Teguh menutup akunnya di mikroblog Twitter. Istilah anak muda: "Mario Teguh gitu loh!" Padahal, masih banyak tulisannya yang bermanfaat, dan tentu sangat ditunggu para penggemarnya, ketimbang hanya mempersoalkan sebuah tulisan yang menimbulkan pro kontra kesalahpahaman. Setiap orang tentu berhak berkomentar, dan idealnya setiap orang yang berkomentar wajib pula mendengar tanggapan orang lain. Itulah hidup yang memang selalu berpasangan; ada yang senang dan juga yang tidak senang. Kita tentu sepakat bahwa berbeda itu indah.

Menjadi penggalang opini

Jejaring sosial Facebook, misalnya, pernah menjadi forum penggalangan opini, seperti pada kasus Prita Mulyasari. Hal itu menjadi salah satu unsur penggiring opini publik yang terbentuk secara massal sebagai sebuah kekuatan. Namun, apakah saat ini vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) layak diterapkan di Indonesia? Menurut pengamat hukum dan sosiologi dari Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar, masyarakat Indonesia sedang berada dalam keadaan 'sakit'. 'Cuaca buruk' menjadi penyebabnya. Cuaca yang dimaksudkannya adalah beragam indikator sosiologi yang menyebabkan masyarakat tengah berada dalam kondisi seperti ini.

Lebih lanjut, dia mengatakan penggalangan koin untuk Prita Mulyasari dalam sudut pandang lain merupakan bukti bahwa masyarakat cenderung menginginkan sesuatu yang serbainstan. Terlebih jika dikaitkan dengan tingkat pemahaman seseorang atas substansi persoalan yang dihadapi. Kondisi itu tentu tidak sehat dari kacamata sosiologi. Rakyat cenderung lebih suka keadilan by product, bukan by process. Maka tak mengherankan jika dia menilai people power yang muncul belakangan bukanlah people power yang sejati. Meski pergerakan dimulai dari tingkat bawah, belum tentu kekuatan itu merupakan kekuatan yang benar dan sejati. Padahal informasi memiliki peranan penting dalam suatu tataran sosial.

Di sisi lain, pakar komunikasi juga dari Unpad Deddy Mulyana menuturkan, fenomena penggalangan opini melalui jejaring sosial di dunia maya tak ubahnya pisau bermata dua. Di satu sisi, jejaring sosial merupakan ruang publik untuk mengekspresikan diri. Itu menjadi konsekuensi atas terbukanya arus informasi. Paling tidak masyarakat punya saluran untuk mengekspresikan pendapat mereka. Hanya yang harus dijaga etikanya agar jangan sampai kebablasan. Namun, di sisi lain, kesiapan masyarakat juga perlu dipertanyakan. Karena masyarakat Indonesia yang masih berada dalam masa transisi secara umum belum siap menghadapi arus informasi yang terkesan tiba-tiba dan berlangsung secara masif. Orang saat ini mengalami semacam gegar budaya, era baru. Etika komunikasi massa masih mencari bentuknya.

Komunikasi terbuka

Setelah menjadi penggalangan opini, jejaring sosial ternyata kemudian mengalami berbagai kasus, seperti penculikan anak di bawah umur, tersebarnya foto mesra seorang bupati dan wakil bupatinya, tersebarnya foto bugil siswi satu SMA, prostitusi gelap yang melibatkan anak, dan berbagai kasus lainnya, telah membangkitkan kekhawatiran massa terhadap jejaring sosial dan perkembangan eksplosif teknologi berbasis internet.

Berbagai kasus jejaring sosial itu adalah logika dari fenomena the black swan. Dampak berbagai kasus itu sangat berpengaruh pada masyarakat, nyaris tidak dapat diprediksi jejaring sosial menjadi media sekaligus instrumen untuk tindakan-tindakan kriminal, tapi setelah itu semua terjadi kita berusaha merasionalisasinya. Masyarakat dibuatnya berada dalam dilema, antara kebutuhan untuk bercengkerama dengan sesama dan kengerian terhadap invasi sisi buruk berjejaring terhadap tatanan sosial. Saya berpendapat solusi agar masyarakat bisa mencampakkan sisi gelap jejaring sosial, yaitu intensifkan komunikasi secara terbuka di antara orang tua dengan anak. Menurut saya hal itu adalah kunci mengatasi dampak negatif jejaring sosial. Dalam hal ini, keluarga yang matang yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan edukasi demi masa depan anak seharusnya mempersiapkan anak terlebih dahulu sebelum memperkenankannya mengakses internet atau jejaring sosial.

Oleh Jannus TH Siahaan Mahasiswa Program S-3 bidang Sosiologi di Universitas Padjadjaran Bandung
Opini Media Indonesia 18 Maret 2010