WHAT is in a name, apalah arti sebuah nama? Itulah untaian kata yang dilontarkan pujangga Inggris William Shakespeare yang melegenda hingga saat ini. Namun ungkapan tersebut tidak berlaku bagi orang Jawa yang memiliki keyakinan asma kinarya japa.
Nama merupakan manifestasi spiritual yang berupa doa, pengharapan, sekaligus sebagai suatu permohonan kepada Tuhan. Menamakan sesuatu, misal anak, produk, benda pusaka, dan tidak terkecuali nama kota, harus direncanakan dan diperhitungkan matang-matang. Tidak boleh asal-asalan.
Terkait dengan nama kota, sebagai masyarakat kita sering bingung bila ditanya asal daerah? Surakarta, Sala, ataukah Solo. Secara administratif pemerintahan bernama Kota Surakarta. Namun dalam praktik keseharian kita lebih suka menggunakan sebutan Sala atau Solo. Keengganan menyebut nama Surakarta karena, nama tersebut tidak praktis, tidak spesifik, dan tidak bergengsi.
Bila menjawab dari Surakarta. Lawan bicara masih akan mengejar, Surakartanya mana? Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Klaten, atau Karanganyar? Sebab dalam benak mereka Surakarta memiliki makna luas yaitu Eks Karesidenan Surakarta yang sekarang beken disebut Solo Raya.
Tetapi lucunya orang-orang yang tinggal di wilayah Solo Raya bila ditanya asalnya mereka selalu menjawab dari Solo. Ada semacam kebanggaan bila bisa mengaku sebagai wong Solo.
Ketidakkonsistenan dan kerancuan penyebutan nama Kota Bengawan ini, telah mendorong Paguyuban Pensiunan Pegawai Pemkot, pada pertengahan Februari lalu mengajukan usul ke Pemkot Surakarta agar nama Surakarta diubah menjadi Solo. Tak pelak lontaran perubahan nama Surakarta menjadi Solo menjadi polemik.
Walaupun belum diselenggarakan pooling secara resmi nampaknya sebagian besar kalangan masyarakat, yang terdiri atas kalangan budayawan, seniman, pengusaha, dan akademisi sangat mendukung pergantian nama Surakarta menjadi Solo.
Menurut penulis, wacana pro-kontra terkait penamaan kota Surakarta vs Solo hadir pada saat yang tepat. Seperti gayung bersambut, tumbu oleh tutup, kata orang Jawa.
Mengapa demikian? Karena saat ini, Wali Kota Jokowi, sedang getol-getolnya membangun pencitraan kota Solo. Dalam setiap kesempatan Jokowi sering mengatakan ada tiga strategi mencuatkan nama Solo agar go international, yaitu mengemas produk, menciptakan brand kota, dan memberikan layanan prima kepada customer.
Tahapan pertama, mengemas produk telah dijalankan dengan sukses oleh Jokowi. Di antaranya melalui renovasi dan revitalisasi tempat-tempat bersejarah seperti Taman Sriwedari, Taman Balekambang. Membangun dan merehab pasar-pasar tradisional menjadi bersih dan nyaman. Membangun dan menyediakan sarana publik, seperti city walk, lapangan-lapangan, hot spot area dan sejenisnya.
Tahap kedua, saat ini sedang berlangsung, Jokowi sedang fokus menggarap city branding yang berkarakter. Munculah slogan-slogan Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu dan Solo Spirit of Java. Ssemuanya ditujukan untuk mempermudah memperkenalkan nama kota kepada target pasar (investor, turis, talent, dan event).
Harus Dipenuhi Namun city branding bukan hanya membuat slogan dan melakukan publisitas serta promosi. Aktivitas city branding juga ditujukan agar masyarakat internasional mendapatkan gambaran, asosiasi, dan ekspektasi dalam benaknya ketika melihat atau mendengar sebuah nama, logo, produk, layanan yang disajikan kota Solo.
Dalam membuat sebuah city branding, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi, di antaranya: attributes, yang menggambarkan sebuah karakter, daya tarik, gaya, dan personalitas kota. Message:
menggambarkan sebuah cerita, menyenangkan, dan selalu mudah diingat. Differentiation: unik dan berbeda dari kota-kota yang lain. Ambassadorship: menginsipirasi orang untuk datang dan ingin tinggal di kota tersebut.
City branding merupakan bagian dari strategi mewujudkan keunggulan bersaing suatu daerah. Menurut Michael Porter, secara garis besar harus mempunyai tiga langkah strategis. Pertama menjadi tuan rumah yang baik (be a good host) bagi pelanggan daerah. Kedua, memperlakukan mereka secara baik (treat your guest properly), dan terakhir, membangun sebuah ’’rumah’’ yang nyaman bagi mereka (building a home sweet home).
Menilik uraian itu, tampaknya usulan penamaan ulang (rebranding) Surakarta menjadi Sala atau Solo, perlu disikapi dan direspons dengan serius, khususnya oleh Pemkot Surakarta.
— Drs Suharno MM, akuntan, dosen Program Studi Magister Manajemen (MM) dan Akuntansi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta
Wacana Suara Merdeka 18 Maret 2010