Sebagian negara demokrasi maju telah memiliki ”buku putih”-nya sendiri untuk memetakan ancaman dan prinsip-prinsip kontra-terorisme. Karakter reaksioner kebijakan kontra-terorisme Indonesia masih ”pendekatan tempur” berupa operasi pengejaran, penyergapan, penangkapan, dan pembunuhan para pelaku dan pendukung jaringan terorisme oleh kepolisian.
Pendekatan tempur yang kerap berakhir dengan kematian pelaku teror dapat dijustifikasikan dengan fakta bahwa para pelaku teror selalu siap dengan senjata api di tangannya. Namun, terbunuhnya pelaku teror berarti informasi jaringan teror yang sangat berharga untuk pengejaran tuntas semua pelaku dan pendukung jaringan terorisme dengan sendirinya hilang. Di sisi lain, pendekatan tempur tidak secara tuntas mengakhiri jaringan terorisme, justru memberikan kesempatan kepada para pelaku dan pendukung teror yang lain untuk menghilang sementara. Pada saat yang sama kebenaran tentang gerakan terorisme yang diterima masyarakat tidak pernah utuh, terdistorsi oleh dramatisasi media ataupun kesimpangsiuran berbagai sumber.
Para pengambil kebijakan di AS meyakini bahwa pendekatan tempur tidak lagi dapat berdiri sendiri, khususnya setelah perang di Irak memakan banyak korban tentara AS dan ancaman yang muncul dari jaringan teroris serta insurgensi di negara itu tidak kunjung mereda.
Strategi terbaik bagi pemerintah dalam memerangi kelompok asimetrik berpusat pada upaya untuk meraih atau meningkatkan legitimasi moral. Musuh asimetrik, termasuk teroris, tidak akan menyerang pemerintah secara langsung karena inferioritas teknologi dan daya pemukul yang mereka miliki. Serangan musuh asimetrik lebih bersifat tidak langsung dan memfokuskan pada upaya memperlihatkan ketidakbecusan pemerintah.
Indonesia berkomitmen untuk menjalankan kebijakan kontra-terorisme sebagai penegakan hukum, bukan perang. Pendekatan penegakan hukum untuk menghadapi terorisme domestik dapat diterima secara normatif ataupun strategis. Melalui proses penegakan hukum, kontra-terorisme tak hanya mencapai tertangkapnya teroris atau digagalkannya skenario aksi teror, tetapi juga menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa setiap pelaku teror harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada publik serta menunjukkan bahwa negara tidak terkalahkan dalam perang moralitas atau clash of wills melawan para teroris. Artinya, tujuan dan cita- cita negara tidak pernah bisa digantikan dengan tujuan dan cita-cita para teroris. Pendekatan penegakan hukum merupakan sebuah bentuk upaya menghentikan kemunculan aksi terorisme, dan pada saat yang sama merupakan kampanye pemerintah dalam mendemoralisasi gerakan teroris, ataupun mereka yang berpotensi bergabung dengan para teroris.
Penegakan hukum dalam kontra-terorisme Indonesia belum menunjukkan wajah kemenangan negara dalam perang moralitas melawan terorisme. Masih banyak warga negara yang berpotensi untuk terlibat atau mendukung aktivitas terorisme. Pengaruh pendidikan keagamaan yang fundamentalistik, baik di dalam maupun luar negeri, masih menjadi kendaraan bagi proses radikalisasi. Artinya, tidak semua warga telah meyakini bahwa tujuan dan cita-cita negara tidak bisa tergantikan oleh tujuan dan cita-cita para teroris.
Untuk merancang pendekatan penegakan hukum yang ideal dalam kontra-terorisme, pemerintah harus membarengi elemen tempur dalam kontra-terorisme kita dengan penguatan elemen investigasi, pengumpulan intelijen, dan proses pengadilan terhadap tersangka teroris.
Kepolisian tidak bisa sendiri dalam kontra-terorisme karena logika investigasi kriminal adalah investigasi dilakukan terhadap fakta-fakta yang ada setelah kejahatan terjadi. Logika preventif memunculkan ekspektasi terhadap lembaga kepolisian dan intelijen untuk mencegah aksi te- rorisme, tidak hanya mengungkap kejahatan terorisme setelah terjadinya aksi. Juga menganjurkan lembaga intelijen lebih waspada terhadap masuknya aktor jaringan terorisme ke wilayah Indonesia, dan lembaga kepolisian untuk melakukan upaya ekstra untuk mengumpulkan bukti persiapan atau partisipasi dalam perancangan aksi terorisme yang bisa memidana tersangka teroris di pengadilan.
Sudah saatnya dipikirkan kolaborasi lembaga intelijen dan kepolisian secara operasional. Kontra-terorisme Inggris dan Perancis, misalnya, telah mengadopsi logika preventif ini sehingga pengumpulan bukti yang bisa diajukan ke pengadilan dimulai lebih dini bersamaan dengan proses pengumpulan intelijen.
Opini Kompas 18 Maret 2010