Gunung Merapi tercatat sebagai salah satu gunung yang sangat aktif di dunia. Keberadaannya memberikan banyak berkah dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, namun juga mempunyai potensi bencana yang berakibat negatif. Letusan-letusan pada waktu-waktu lalu menunjukkan kewaspadaan masyarakat sangat penting untuk selalu dijaga sehingga usaha dan upaya mitigasi bencana mempunyai nilai keberlanjutan yang nyata. Kini, saat kawasan hutan Gunung Merapi berada dalam pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merapi, tentunya upaya mitigasi bencana menjadi bagian yang mesti diupayakan selalu. Upaya mitigasi bencana tersebut seharusnya melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat lokal.
Masyarakat lokal umumnya memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Pengetahuan lokal tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan ekosistemnya. Contoh kasus adalah peristiwa erupsi G Merapi pada tahun 2006, dimana terjadi peningkatan aktivitas sampai level AWAS dengan konsekuensi masyarakat yang bermukim di kawasan gunung Merapi harus diungsikan. Pengungsian dimulai dengan bantuan aparat dan relawan. Adalah Mbah Maridjan dan kerabatnya tidak menunjukkan kegelisahan dan kegugupan, masih tetap tenang-tenang, saja “Kenapa Mbah kok tidak ikut mengungsi?” Mbah Maridjan menjawab dengan tenang, “Memang ada apa?, G Merapi saat ini belum mau meletus, masih batuk-batuk saja dan kenalpotnya tidak mengarah ke sini. Jadi kenapa saya harus ribut, dan saya belum dapat wangsit dari Eyang Merapi”.
Kearifan Lokal Masyarakat Merapi
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang berada dalam “Ring of Fire” gunung berapi. Ada 129 gunung berapi aktif yang memanjang dari kepulauan Sumatera, Jawa, hingga Indonesia bagian timur. Jalur inilah yang oleh para ahli kemudian disebut ring of fire. Perlu disadari bahwa di balik keindahan puncak-puncak gunung, keasrian hutan yang hijau, kawasan-kawasan yang subur, pegunungan yang sejuk, sesungguhnya terdapat ancaman dahsyat yang harus selalu diwaspadai.
Kewaspadaan terhadap bencana letusan gunung berapi ditunjukkan oleh masyarakat Merapi berupa kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Mbah Maridjan dan kerabatnya menolak mengungsi karena belum memperoleh tanda-tanda alam Gunung Merapi akan meletus, seperti (1) Turunnya hewan-hewan liar dari puncak di luar kebiasaan dalam kondisi lingkungan normal, (2) Burung-burung atau hewan lainnya masih berbunyi, (3) Pohon-pohon di dekat puncak Merapi belum ada yang mati layu/kering.
Secara etik, penggunaan indikator alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis binatang dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya suhu tanah akibat meningkatnya tingkat aktivitas Gunung Merapi sehingga mereka pindah tempat (Triyoga: 1991). Selain itu dalam menghindari risiko bencana Gunung Merapi meletus, warga lokal di lereng Gunung Merapi juga mempunyai kearifan lokal dalam membangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam letusan gunung api. Permukiman tersebut biasanya berkelompok di lahan datar dengan dikelilingi tegalan.
Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah yang berlawanan dengan Gunung Merapi. Maksudnya, berdasarkan pandangan mreka, agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki makhluk halus pengganggu yang menghuni Gunung Merapi. Namun, secara etik dan logika dapat ditafsirkan bahwa rumah-rumah tempat tinggal tersebut dibangun menghadap ke arah jalan utama desa yang membujur ke arah utara-selatan atau selatan-utara agar sekiranya terjadi letusan, mereka dapat dengan segera melarikan diri menuju jalan utama desa.
Ilmu Niteni, Niroake, Nambahi
Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana kita dengan sepenuhnya dapat menikmati dan mensyukuri kekayaan alam dan secara simultan dapat menyikapi dan menghindarkan dampak negatif dari kejadian alam yang kita sebut bencana alam itu? Ki Hadjar Dewantara mewariskan pada kita ilmu dan pengetahuan pamungkas, yaitu N3: Niteni, Niroake, dan Nambahake (Kadiman, 2006).
Getaran-getaran seismik akibat aktivitas gunung api, turun-naiknya temperatur, tekanan udara, pergeseran pola magnetik, perubahan perilaku binatang, adalah beberapa contoh dari tanda-tanda alam yang boleh jadi disebabkan oleh gesekan dan tubrukan lempengan Bumi. Dengan mengenali perilaku alam ini, kemudian kita bisa menirukannya, upaya ini kemudian dikenal dengan istilah simulasi yang banyak digunakan sebagai upaya memenuhi kebutuhan kita. Mirip dengan gunung api, beragam peralatan yang terpasang tepat di lokasi puncak gunung api ataupun pemantauan yang dilakukan dari jarak jauh sampai pada pemanfaatan citra satelit akan memberi masukan bagi simulasi gunung api. Melalui simulasi ini kita bisa memberi peringatan dini letusan gunung api. Titen yang dipraktikkan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, adalah pendekatan holistik yang sebetulnya merupakan N3 yang komplementer dari Iptek logis: geologi, geofisik, dan biofisik.
Maka dari itu, kehadiran event Festival Merapi 2009 di Gedung Kusnadi Hardjasumantri (Purna Budaya) UGM, 15 November 2009 dengan mengusung tema “Hidup Harmonis bersama Bencana Merapi” harapannya dapat diapresiasi positif. Sebab acara ini mempunyai tujuan utama menyampaikan informasi mengenai fungsi ekologis dan juga mitigasi bencana di kawasan Gunung Merapi kepada masyarakat. Terlebih lagi dalam event ini ada beberapa kegiatan: 1. Pameran (video/movie, poster, maket sabo, serta modul pendidikan bencana). 2. Demonstrasi Bousai Duck & Dance (tarian dan permainan anak dari Jepang terkait bencana), 3. Perlombaan (menggambar, mewarnai, maket Merapi dari bahan makanan tradisional, fotografi, karikatur), 4. Pertunjukan komedi lokal “Obrolan Angkring”, tentang pengelolaan bencana Merapi dan aktivitas penambangan sedimen. Harapan akhir dari event ini adalah dapat tercapai Merapi yang Lestari, Masyarakat Sejahtera. Semoga. q - g. (1354-2009).
*) Arif Sulfiantono SHut MSi,
Calon Pengendali Ekosistem Hutan (PEH)
Balai TN G Merapi.
Opini Kedaulatan Rakyat 16 November 2009
15 November 2009
» Home »
Kedaulatan Rakyat » MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 ; Kearifan Lokal Menopang Mitigasi Bencana
MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 ; Kearifan Lokal Menopang Mitigasi Bencana
Thank You!
MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 ; Kearifan Lokal Menopang Mitigasi Bencana
Related Posts :
- Mengkritisi ’ Bahasa Jawa Day’ di Sekolah
- MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 ; Kearifan Lokal Menopang Mitigasi Bencana
- Rendra dan Negeri Koruptor
- Kepemimpinan NU Masa Kini
- Obama dan Duri "Newspeak"
- Umat Islam dikejutkan oleh wafatnya Grand Syaik al-Azhar, Sayed Tantawi di Riyadh, Rabu (10/3). Almarhum sebenarnya dijadwalkan akan menerima penghargaan dari Kerajaan Arab Saudi dalam perannya mengampanyekan dan mengembangkan dakwah Islam yang moderat dan toleran. Namanya tercatat sebagai The Most 500 Influential Moslem. Penulis selama jadi mahasiswa Universitas al-Azhar (1995-1999) pernah beberapa kali bertemu dengan almarhum untuk sebuah wawancara jurnal ilmiah yang dikelola mahasiswa Indonesia dan pengajian yang rutin dilakukan setiap minggu di masjid dekat rumahnya. Dalam salah satu komentarnya, ia menyambut baik hubungan antaragama sembari meminta agar senantiasa mengembangkannya meski ada tantangan dari beberapa kelompok yang tidak menghendaki hal itu. Ia membangun silaturahim yang intensif dengan pemuka agama-agama lain di Mesir. Komitmen Tantawi terhadap toleransi begitu besar, yang ditunjukkan tidak hanya sekadar wacana belaka. Ia pernah menerima pemuka Yahudi di kantornya. Sikap tersebut ditentang para ulama al-Azhar lain karena dianggap tidak bersimpati dengan rakyat Palestina yang selama ini ditindas oleh Israel. Tantawi menjawab protes, bahkan demonstrasi yang dilakukan ribuan mahasiswa al-Azhar pada masa itu, dengan ungkapan, ketidaksetujuan kita terhadap Israel tidak menghalangi silaturahim dengan para pemuka Yahudi. Pertemuan tersebut justru dapat dijadikan sebagai medium menyampaikan aspirasi umat Islam terhadap penindasan yang dilakukan oleh Israel kepada rakyat Palestina. Sikap yang diambil oleh Tantawi mengingatkan kita kepada sosok Gus Dur, yang berani mengambil sikap berbeda dengan kalangan mayoritas sekalipun. Keberanian tersebut bukan tanpa dasar. Fundamennya adalah toleransi yang merupakan inti ajaran Islam meski tanpa menutup mata terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh Israel. Makna luas jihad Begitu pula, tatkala terjadi perang antara Israel dan Hizbullah, Lebanon Selatan, Tantawi melarang orang-orang Mesir yang hendak ikut serta dalam perang tersebut. Ia memandang bahwa jihad mempunyai makna yang luas, yang tidak hanya bermakna perang. Mendidik anak dan membangun keluarga harmonis merupakan salah satu elemen jihad yang juga penting. Ia tidak mendukung mereka yang ingin ikut serta dalam perang melawan Israel di Lebanon Selatan. Berjihad dalam mengentaskan orang dari kemiskinan dan mencerdaskan umat di Mesir jauh lebih penting daripada berperang di Lebanon Selatan. Jihad ke Lebanon Selatan, menurut Tantawi, adalah kewajiban representatif (fardh kifayah), yang mana tak ada kewajiban bagi setiap individu selama ada orang-orang yang melakukannya. Satu hal yang menarik pascaperang tersebut bahwa Hizbullah mampu mengalahkan Israel. Tanpa keterlibatan orang-orang Mesir dalam perang tersebut, Israel justru dipaksa untuk mundur dan menghentikan perang karena Israel harus menelan kerugian dan tak mampu melumpuhkan kekuatan Hizbullah. Bahkan, pascaperang tersebut, Hizbullah justru semakin berkibar. Perihal sikap Tantawi terhadap kebiadaban Israel sangat tegas. Usamah Khalil, Deputi Dubes Mesir untuk Arab Saudi, yang mendampingi almarhum dalam detik-detik akhir hidupnya menyampaikan keprihatinan yang begitu mendalam terhadap masalah Palestina yang tidak kunjung selesai akibat penindasan yang dilakukan Israel setiap waktu. Di samping itu, kesedihan yang amat mendalam terhadap konflik internal di antara faksi politik di dalam Palestina sendiri (al-Syarq al-Awsat, 11/3). Secara paradigmatik, pandangan Tantawi yang notabene merupakan pemegang resmi kendali keagamaan di Mesir adalah jalur moderasi. Dalam relasi agama dan negara, ia memandang perlunya agama dapat mewarnai ruang publik dengan nilai-nilai yang konstruktif, bukan justru menjadikan agama sebagai stempel atas kepentingan politik, sebagaima dilakukan oleh beberapa pihak di Mesir. Oleh sebab itu, meskipun arus terbesar yang berkembang di Mesir pada umumnya dan al-Azhar secara khusus adalah konservatif, Tantawi tetap pada pendiriannya dalam memilih moderasi, jalan tengah untuk menjaga keseimbangan dan kelenturan. Jilbab dan cadar Dalam pandangannya, rasionalitas dan kemaslahatan harus menjadi pertimbangan dalam menentukan sebuah pandangan. Salah satu pandangannya yang ditentang keras adalah pemakaian jilbab bagi para perempuan muslimah di Perancis. Pada saat itu terjadi polemik yang sangat tajam soal larangan Pemerintah Perancis bagi perempuan yang berjilbab di sekolah-sekolah umum dan pemerintahan. Hal tersebut mendapatkan respons keras dari berbagai dunia Islam, termasuk di Tanah Air. Akan tetapi, Tantawi dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi perempuan muslimah untuk menggunakan jilbab di negara-negara yang tidak menganut hukum Islam, seperti di Perancis. Mereka harus menghargai konstitusi yang dianut oleh negara tersebut. Yang paling mutakhir adalah larangan terhadap perempuan untuk memakai cadar di lingkungan lembaga pendidikan al-Azhar. Alasannya, karena cadar bukanlah ajaran yang ditetapkan di dalam Al Quran dan Sunnah Nabi. Pemakaian cadar merupakan bagian dari tradisi, bukan bagian dari agama. Harus diakui, sejumlah pandangan di atas perlu dipertimbangkan untuk mengedepankan sikap moderat daripada sikap ekstrem. Apalagi al-Azhar merupakan salah satu menara pemikiran keislaman yang selama ini dijadikan kiblat oleh dunia Islam. Barangkali banyak pihak yang menentang pandangan Tantawi, tetapi dalam beberapa tahun ke depan pandangan tersebut menyimpan mutiara yang amat penting karena di balik pandangan dan sikap progresif tersebut tersimpan mutiara perihal pentingnya sikap toleran dan moderat. Mau tak mau, pada era global dituntut pandangan keagamaan yang dapat mewarnai hubungan antarmasyarakat dengan sebuah sikap yang lebih lentur dan moderat, dengan tanpa kehilangan identitas. Hal-hal yang prinsip dalam agama harus ditegakkan dengan konsekuen dan konsisten, tetapi hal-hal yang dimungkinkan untuk dirasionalisasi dan diakulturasi untuk kemaslahatan umat harus dilakukan dengan saksama dan penuh tanggung jawab. Tantawi dikenal sebagai sosok yang lemah lembut dan tak meledak-ledak. Tutur katanya sangat pelan dan santun. Namun, dari dalam dirinya muncul sebuah keberanian yang sangat luar biasa untuk menancapkan panji-panji moderasi. Semoga jasa beliau tersebut dapat menjadi teladan baik bagi generasi muda yang haus perubahan dan perbaikan umat ke arah yang lebih konstruktif. Selamat jalan, guruku. Zuhairi Misrawi Alumnus Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, dan Ketua Moderate Muslim Society
- Akhir Sebuah Drama
- Memasyarakatkan Industri Pariwisata
- Industri (Kerajinan) Rakyat ; Memperkuat Sinergi Produksi dan Pasar Kerajinan