15 November 2009

» Home » Kedaulatan Rakyat » MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 ; Kearifan Lokal Menopang Mitigasi Bencana

MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 ; Kearifan Lokal Menopang Mitigasi Bencana

Gunung Merapi tercatat sebagai salah satu gunung yang sangat aktif di dunia. Keberadaannya memberikan banyak berkah dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, namun juga mempunyai potensi bencana yang berakibat negatif. Letusan-letusan pada waktu-waktu lalu menunjukkan kewaspadaan masyarakat sangat penting untuk selalu dijaga sehingga usaha dan upaya mitigasi bencana mempunyai nilai keberlanjutan yang nyata. Kini, saat kawasan hutan Gunung Merapi berada dalam pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merapi, tentunya upaya mitigasi bencana menjadi bagian yang mesti diupayakan selalu. Upaya mitigasi bencana tersebut seharusnya melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat lokal.
Masyarakat lokal umumnya memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Pengetahuan lokal tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan ekosistemnya. Contoh kasus adalah peristiwa erupsi G Merapi pada tahun 2006, dimana terjadi peningkatan aktivitas sampai level AWAS dengan konsekuensi  masyarakat yang bermukim di kawasan gunung Merapi harus diungsikan. Pengungsian dimulai dengan bantuan aparat dan relawan. Adalah Mbah Maridjan dan kerabatnya tidak menunjukkan kegelisahan dan kegugupan, masih tetap tenang-tenang, saja “Kenapa Mbah kok tidak ikut mengungsi?” Mbah Maridjan menjawab dengan tenang, “Memang ada apa?, G Merapi saat ini belum mau meletus, masih batuk-batuk saja dan kenalpotnya tidak mengarah ke sini. Jadi kenapa saya harus ribut, dan saya belum dapat wangsit dari Eyang Merapi”.
Kearifan Lokal Masyarakat Merapi
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang berada dalam “Ring of Fire” gunung berapi. Ada 129 gunung berapi aktif yang memanjang dari kepulauan Sumatera, Jawa, hingga Indonesia bagian timur. Jalur inilah yang oleh para ahli kemudian disebut ring of fire. Perlu disadari bahwa di balik keindahan puncak-puncak gunung, keasrian hutan yang hijau, kawasan-kawasan yang subur, pegunungan yang sejuk, sesungguhnya terdapat ancaman dahsyat yang harus selalu diwaspadai.
Kewaspadaan terhadap bencana letusan gunung berapi ditunjukkan oleh masyarakat Merapi berupa kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Mbah Maridjan dan kerabatnya menolak mengungsi karena belum memperoleh tanda-tanda alam Gunung Merapi akan meletus, seperti (1) Turunnya hewan-hewan liar dari puncak di luar kebiasaan dalam kondisi lingkungan normal, (2) Burung-burung atau hewan lainnya masih berbunyi, (3) Pohon-pohon di dekat puncak Merapi belum ada yang mati layu/kering.
Secara etik, penggunaan indikator alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis binatang dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya suhu tanah akibat meningkatnya tingkat aktivitas Gunung Merapi sehingga mereka pindah tempat (Triyoga: 1991). Selain itu dalam menghindari risiko bencana Gunung Merapi meletus, warga lokal di lereng Gunung Merapi juga mempunyai kearifan lokal dalam membangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam letusan gunung api. Permukiman  tersebut biasanya berkelompok di lahan datar dengan dikelilingi tegalan.
Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah yang berlawanan dengan Gunung Merapi. Maksudnya, berdasarkan pandangan mreka, agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki makhluk halus pengganggu yang menghuni Gunung Merapi. Namun, secara etik dan logika dapat ditafsirkan bahwa rumah-rumah tempat tinggal tersebut dibangun menghadap ke arah jalan utama desa yang membujur ke arah utara-selatan atau selatan-utara agar sekiranya terjadi letusan, mereka dapat dengan segera melarikan diri menuju jalan utama desa.
Ilmu Niteni, Niroake, Nambahi
Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana kita dengan sepenuhnya dapat menikmati dan mensyukuri kekayaan alam dan secara simultan dapat menyikapi dan menghindarkan dampak negatif dari kejadian alam yang kita sebut bencana alam itu? Ki Hadjar Dewantara mewariskan pada kita ilmu dan pengetahuan pamungkas, yaitu N3: Niteni, Niroake, dan Nambahake (Kadiman, 2006).
Getaran-getaran seismik akibat aktivitas gunung api, turun-naiknya temperatur, tekanan udara, pergeseran pola magnetik, perubahan perilaku binatang, adalah beberapa contoh dari tanda-tanda alam yang boleh jadi disebabkan oleh gesekan dan tubrukan lempengan Bumi. Dengan mengenali perilaku alam ini, kemudian kita bisa menirukannya, upaya ini kemudian dikenal dengan istilah simulasi yang banyak digunakan sebagai upaya memenuhi kebutuhan kita. Mirip dengan gunung api, beragam peralatan yang terpasang tepat di lokasi puncak gunung api ataupun pemantauan yang dilakukan dari jarak jauh sampai pada pemanfaatan citra satelit akan memberi masukan bagi simulasi gunung api. Melalui simulasi ini kita bisa memberi peringatan dini letusan gunung api. Titen yang dipraktikkan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, adalah pendekatan holistik yang sebetulnya merupakan N3 yang komplementer dari Iptek logis: geologi, geofisik, dan biofisik.
Maka dari itu, kehadiran event Festival Merapi 2009 di Gedung Kusnadi Hardjasumantri (Purna Budaya) UGM, 15 November 2009 dengan mengusung tema “Hidup Harmonis bersama Bencana Merapi” harapannya dapat diapresiasi positif. Sebab acara ini mempunyai tujuan utama menyampaikan informasi mengenai fungsi ekologis dan juga mitigasi bencana di kawasan Gunung Merapi kepada masyarakat. Terlebih lagi dalam event ini ada beberapa kegiatan: 1. Pameran (video/movie, poster, maket sabo, serta modul  pendidikan bencana). 2. Demonstrasi Bousai Duck & Dance (tarian dan permainan anak dari Jepang terkait bencana), 3. Perlombaan (menggambar, mewarnai, maket Merapi dari bahan makanan tradisional, fotografi, karikatur), 4. Pertunjukan komedi lokal “Obrolan Angkring”, tentang pengelolaan bencana Merapi dan aktivitas penambangan sedimen. Harapan akhir dari event ini adalah dapat tercapai Merapi yang Lestari, Masyarakat Sejahtera. Semoga. q  - g. (1354-2009).
*) Arif Sulfiantono SHut MSi,
Calon Pengendali Ekosistem Hutan (PEH)
Balai TN G Merapi.



Opini Kedaulatan Rakyat 16 November 2009