Tak diragukan tujuan 'fatwa haram' tentunya baik. Mana ada negara yang akan membiarkan kesejahteraan masyarakatnya dikacaukan atau dilemahkan oleh siapa pun atau apa pun, termasuk kebiasaan buruk merokok, memakai narkoba, atau kebiasaan lain yang bersifat merusak. Masyarakat bisa memberontak karenanya. Berbagai demo yang marak akhir-akhir ini juga mengindikasikan bahwa masyarakat memberontak terhadap yang mereka anggap merugikan dan tidak adil. Misalnya sikap tidak senang itu diwujudkan dalam demo-demo antipenggusuran, antitindak terorisme, atau antirentetan korupsi.
Masalahnya, di negara sedang berkembang yang sarat problem, semua pihak menginginkan penyelesaian atas semua problem dilakukan serentak, dalam waktu yang bersamaan. Tentu tidak mungkin. Maka itu, alangkah bijaksananya kalau para pengambil keputusan, baik di semua bidang maupun para pencetus gagasan untuk perubahan, mengatur dan memutuskan yang mana yang harus diprioritaskan. Kebijaksanaan dibutuhkan untuk memperkirakan apakah saatnya tepat untuk meluncurkan gagasan atau perubahan. Sebab, bagaimanapun bagus tujuan akhirnya, perubahan kebiasaan dan cara hidup pasti menimbulkan kericuhan.
Sisi lain yang meminta perhatian, yakni berbagai problem sosial yang sekarang ini datang silih berganti, bahkan tumpang tindih. Bisa saja problem-problem itu saling berkaitan, mungkin juga tidak. Misalnya kasus fatwa haram yang meluncur akhir-akhir ini, apakah ada kaitannya dengan kasus Century, atau dengan rencana kunjungan Obama, atau dengan tarik ulur antara sistem ekonomi neoliberal dan kerakyatan, ataupun dengan gelombang SARA yang sifatnya internasional?
Asumsi yang meresahkan
Di negara demokrasi, siapa pun boleh membuat asumsi sesuai keyakinan masing-masing, asalkan asumsi itu jangan diterjemahkan dalam tindakan-tindakan yang merusak atau menghebohkan. Memang asumsi apa pun perlu dipikirkan matang-matang benar tidaknya sebelum bisa diterima. Dalam hal 'fatwa haram', misalnya, ada asumsi bahwa kasus itu sengaja diluncurkan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus Century yang penyelesaiannya tak kunjung datang. Kontroversi tentang 'fatwa haram' dapat mengulur waktu untuk membuat kasus Century pelan-pelan terlepas dari pergunjingan tidak menentu. Lagi pula, berapa lama masyarakat bisa bertahan menghadapi kasus Century?
Asumsi lain, apakah 'fatwa haram' ada sangkut-pautnya dengan rencana kunjungan Obama yang waktunya mendesak? Peluncuran fatwa tersebut, yang menurut pencetusnya bertujuan sangat baik. Bila berhasil, bisa membuktikan bahwa manunggalnya kekuatan Islam bisa mengatasi problem apa pun yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang bersifat SARA. Sikap Amerika yang dianggap memusuhi negara-negara Islam di dunia perlu dihadapi dengan sikap tegas yang menunjukkan keberpihakan. Demo-demo antikunjungan Obama mempertegas sikap masyarakat Islam Indonesia. Celetukan itu muncul karena larangan merokok dikeluarkan sekarang lewat fatwa yang terkesan eksklusif sebab menggamit wibawa agama tertentu. Lebih elegan dan adil seandainya larangan itu dikeluarkan lewat ketentuan hukum yang berlaku bagi segenap warga, tanpa membedakan keyakinan para perokok.
Persoalan ekonomi di balik fatwa
Tak kurang tokoh Muhammadiyah Dr Amien Rais sendiri terkejut dengan peluncuran fatwa tersebut. Makruh boleh, tetapi haram? Begitu tanyanya.
Memang secara panjang lebar telah dijelaskan bahwa rokok membahayakan baik kesehatan maupun ekonomi rakyat dan negara. Bahwa dana pengobatan untuk yang sakit akibat rokok berjumlah melebihi pajak yang dibayarkan industri rokok; bahwa yang sangat diuntungkan adalah beberapa gelintir pebisnis besar, termasuk dari luar. Bandingkan dengan perolehan buruh dan karyawan rokok yang jumlahnya jutaan. Analoginya seperti kasus tempat-tempat belanja modern milik pebisnis-pebisnis besar versus pasar-pasar tradisional; seperti sistem ekonomi neoliberal versus sistem ekonomi kerakyatan.
Dilemanya, apa akibat larangan rokok dalam jangka pendek terhadap jutaan buruh/pekerja yang bermata pencarian dari industri rokok? Mereka akan menambah jumlah lebih dari 30 juta penduduk lainnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Fatwa yang diluncurkan lewat keyakinan agama mungkin bisa segera menuntaskan persoalan inti, namun efek-efek sampingnya yang negatif bisa menghadang. Siapa yang bertanggung jawab, misalnya, kalau terjadi sweeping terhadap pabrik-pabrik dan buruh ataupun pekerja rokok, seandainya kontroversi 'fatwa haram' sulit teratasi? Berbeda dengan kasus Century yang melibat para kakap, lacurnya kasus ini melibat penghidupan kaum teri.
Rasanya, seperti pada kasus-kasus panas lain saat ini, kasus 'fatwa haram' mengharapkan tanggapan tegas agar tidak meruncing sehingga menyebarkan benih-benih konflik di akar rumput.
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 19 Maret 2010