18 Maret 2010

» Home » Kompas » Pakta Kejujuran Pendidikan

Pakta Kejujuran Pendidikan

Prestasi Yes, Jujur Harus”, inilah jargon yang akhir-akhir ini, menjelang digelarnya ujian nasional 2010, sering kali terdengar melalui media massa. Namun, sangat kentara pula bahwa gaungnya tidaklah istimewa lantaran tidak menyentuh hati meskipun juga telah diuntai dengan Pakta Kejujuran sebagai tanda penegasan bahwa UN harus dilaksanakan dengan jujur dan pelanggarnya akan dikenai sanksi (Kompas, 4/ 3/ 2010, hlm 12).
Untuk mendongkrak kesan dan perhatian, serta demi menambah bobot dan mengentak, kedua kata yang indah itu harus dijadikan imperatif. Salah satunya adalah dengan menerjemahkan demikian, yakni bahwa prestasi akan tercapai bila jujur. Prestasi dan kejujuran bukanlah dua hal yang berdiri sendiri-sendiri; keduanya saling berkaitan. Meskipun demikian, dalam hal ini kejujuranlah yang harus diutamakan.
Kejujuran harus dijadikan dasar pencapaian prestasi. Kiranya ini sejalan dengan nama pakta, yang baru saja dideklarasikan pada 4 Maret 2010, yakni Pakta Kejujuran bukan Pakta Prestasi.

 

Harus kredibel
Komitmen Kemendiknas dan BSNP untuk menyelenggarakan serta mempertanggungjawabkan UN sangat jelas. Hasil UN harus kredibel. Oleh karena itu, UN harus diawasi secara ketat, misalnya saja setiap sekolah penyelenggara akan diawasi oleh satu atau dua orang yang berprofesi sebagai dosen. Bahkan, dinyatakan pula bahwa apabila terjadi dugaan ketidakberesan, mereka ini boleh masuk ke dalam ruang ujian. Pendek kata, UN 2010 adalah UN yang berpengawasan superketat.
Pertanyaan berikut adalah apakah pengawasan yang ketat seperti itu dan dijalankan oleh person dari luar lembaga pendidikan dasar-menengah layak dilaksanakan? Apakah pelibatan dosen lebih dapat dipercaya dan apa dasarnya? Nah, beberapa catatan perlu disimak, yakni bertumpu pada pengalaman penulis, yang diperlukan dalam pelaksanaan ujian apa pun di lingkungan pendidikan adalah persiapan ujian yang menyeluruh, baik menyangkut penguasaan bahan ujian maupun yang terutama sikap terhadap keutamaan hidup.
Penyadaran dan penegasan akan luhurnya keutamaan, dalam hal ini kejujuran, harus dilatihkan sebelum dilaksanakannya ujian itu sendiri. Kejujuran harus dilatihkan semenjak seseorang masuk ke dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, Pakta Kejujuran yang memang diperlukan itu harus dijadikan sebagai Pakta Kejujuran Pendidikan Indonesia, bukan untuk keperluan UN semata, kalau memang diharapkan berdampak bagi kemajuan anak bangsa. Dan, alangkah anehnya seandainya kejujuran hanya dilekatkan pada UN yang sekelebatan itu dan demi keperluan penyelenggara dan penanggung jawab UN; karena peserta didik tidak atau belum memahami perlunya bertindak jujur apalagi mengapresiasi kejujuran; umumnya beranggapan bahwa ”jujur bikin ajur (hancur)”, belum sampai pada keyakinan bahwa ”jujur bikin mujur”.
Larangan tegas
Hal berikut yang paling mendesak untuk diusahakan demi UN yang kredibel adalah penegasan kepada para ketua penyelenggara UN, yaitu kepala sekolah (dan gurunya). Secara tegas dan jelas harus disampaikan bahwa ketua penyelenggara di tingkat satuan pendidikan dilarang menyampaikan hal berikut kepada para pengawas silang yang berasal dari lain sekolah pada saat memberikan pengarahan, yang biasa dilakukan sehari menjelang pelaksanaan UN, yakni minta tolong kepada para pengawas di sekolahnya agar menganggap para peserta UN sebagai anak mereka sendiri; permintaan agar para pengawas duduk saja di tempat yang disediakan sambil membaca koran yang akan disediakan serta tidak dianjurkan jalan keliling ruangan supaya tidak mengganggu konsentrasi peserta ujian; meminta para pengawas agar jangan bersikap tegas atau kaku terhadap peserta ujian; meminta agar para pengawas memohon izin terlebih dahulu kepada kepala sekolah sebelum menuliskan ketidakberesan pelaksanaan UN pada lembar berita acara yang tersedia dan permintaan lain yang serupa.
Larangan tegas atas hal-hal tersebut itulah yang sebenarnya dapat menjadi jaminan bahwa pengawas atau pemantau independen dari luar lembaga pendidikan dasar-menengah tidak diperlukan untuk mencampuri urusan UN. Selain itu juga dapat menjadi dasar pengakuan bahwa insan pendidikan di pendidikan dasar-menengah dapat dipercaya dan bertanggung jawab serta yang tak kalah penting adalah demi penghematan biaya UN untuk para pengawas dari luar Ditjen Dikdasmen yang terkesan untuk menakut-nakuti atau mengancam. Bolehlah dibayangkan, seandainya dengan pengawasan yang superketat dari keterlibatan banyak pihak dan hasil UN yang kredibel tidak terjadi; lantas, pengawasan macam apa dan dari siapa lagi yang akan dilakukan?
Hal lain lagi yang mesti juga dilakukan demi keseimbangan pengawasan adalah pengawasan terhadap pengawas atau pengawasan terhadap penyelenggara atau penanggung jawab UN. Dalam hal ini yang harus dikemukakan adalah sebuah kebijakan bahwa setiap peserta UN diberi keleluasaan atau malahan diwajibkan untuk mencatat atau mengopi seluruh jawaban yang diserahkan kepada panitia ujian pada lembar kertas tersendiri sebagai back-up yang akan disimpan pihak satuan pendidikan. Dan, apabila diduga terjadi ketidaksesuaian atau kekeliruan dalam pemeriksaan hasil ujian, setiap peserta dengan pendampingan pihak satuan pendidikan diberi kebebasan untuk meminta klarifikasi kepada penyelenggara UN demi akuntabilitas dan transparansi sebagai elemen kejujuran.
Apa pun kekurangannya, Pakta Kejujuran UN yang menandakan kesungguhan dan keseriusan Kemendiknas dan BSNP harus didukung dan didorong menjadi Pakta Kejujuran Pendidikan serta hendaknya dijadikan landasan seluruh program Depdiknas yang mengarah kepada kemajuan mutu pendidikan secara menyeluruh. Dan, hendaknya perlu juga dipikirkan penghargaan atau apresiasi bagi yang mendasarkan proses pendidikan pada nilai kejujuran. Semoga.
Baskoro Poedjinoegroho E Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Jakarta

Wacana Suara Merdeka 19 Maret 2010