SETIAP kali menjelang muktamar Nahdlatul Ulama (NU) dan rutinitas pemilu, khitah NU selalu ramai diperbincangkan. Khitah memiliki dua makna yang selalu kontroversial, artinya bisa dijadikan senjata menyerang atau menjatuhkan lawan tetapi juga bisa untuk mengampanyekan atau menaikkan citra orang atau kelompok tertentu.
Idham Cholid kalah dalam muktamar NU tahun 1984 karena dianggap telah melanggar khitah, sedangkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai ketua umum tanfidziyah NU selama tiga periode disebabkan oleh citra dia yang dianggap mampu menegakkah khitah selama menjabat sebagai ketua umum.
Gus Dur tidak dipilih lagi sebagai ketua tanfidziyah pada muktamar 1999 karena dikhawatirkan tidak mampu lagi menjaga tegaknya khitah mengingat pada waktu itu Gus Dur sebagai presiden. Naiknya KH Hasyim Muzadi sebagai ketua tanfidziyah selama dua periode memicu pro dan kontra khitah. Sebagian menyatakan bahwa Hasyim tidak mampu menjaga tegaknya khitah, tetapi di sisi lain dia justru dianggap sukses menegakkan khitah.
Menjelang muktamar di Makasar yang dimulai Senin depan, isu atau istilah khitah kembali ramai diperbincangkan. Muncul opini, jika tokoh atau kiai ini yang menjadi ketua dewan syuriah dan tanfidziyah maka NU akan mudah terjebak pada persoalan politik praktis, dan sebaliknya jika tokoh atau kiai itu yang terpilih, khitah akan menjalan secara baik sesuai dengan kaidah perjuangan nahdliyin.
Makna Politis
Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa kelahiran NU pada 31 Januari 1926 memiliki makna politis kental. Yaitu merupakan respons terhadap perubahan sistem kekuasaan politik yang ada di Turki dari sistem kesultanan menjadi sistem kerajaan di bawah pimpinan Mustafa Kemal dan berpengaruhnya pemerintahan golongan Wahabi di bawah kepemimpinan Raja Ibnu SaĆud di Jazirah Arab dan Kota Makkah.
Gerakan wahabi dianggap tidak hanya berkisar kepada persoalan politik pemerintahan tetapi juga merambah kepersoalan praktik pelaksanaan jajaran agama yang selama ini diyakini kebenarannya oleh mayoritas umat Islam. Gerakan yang dikomandoi Abdul Wahab pada 1703-1787 menganggap bahwa ajaran atau tradisi sufisme telah menjadi sebab kemerosotan kualitas agama di kalangan umat Islam.
Praktik tradisi seperti masalah taqlid, ijtihat, masalah talafuz bi-niyat, ziarah kubur, membaca al barzanji, talqin, soal-soal selamatan bagi orang meninggal dunia dianggap kelompok wahabi akan berdampak serius terhadap masalah keimanan dan keduniawian.
Sampai di sini dapat dipahami bahwa lahirnya NU adalah proses merespons atau memperjuangkan tradisi Islam yang di lahirkan akibat kekuasaan, oleh sebab itu perjuangan NU tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang semangat kekuasaan dalam pemerintahan. Hal ini menyebabkan berbagai macam bentuk gerakan NU, pertama NU menjelma sebagai organaisasi murni keagamaan yaitu kurun waktu 1926 sampai 1952. Misi utamanya mengembangkan dan mempertahanakan ajaran Islam yang menganut salah satu dari empat mazhab.
Kedua, NU menjelma sebagai partai politik yaitu kurun waktu 1952 sampai 1973. Dalam kurun waktu ini NU dipahami telah mempraktikkan peran ganda, sebagai organisasi sosial agama yang mempertahankan dan mengembangkan ajaran agama berhaluan ahlussunnah wal jamaah dan sekaligus sebagai kekuatan politik yang memiliki semangat menguasai kekuasaan/pemerintahan.
Ketiga, NU berada dalam wadah partai politik PPP, yaitu kurun waktu 1973 sampai 1984. Sikap ini diambil, karena adanya kebijakan politik Orba yang membolehkan hanya ada tiga kekuatan parpol yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Selama kurang lebih 11 tahun, NU identik dengan PPP, karena segala perjuangan politik dan agama dilakukan melalui jalur formal PPP.
Keempat, NU berada dalam khitah yaitu tahun 1984 sampai 1997. Selama kurun waktu ini, istilah khitah ramai diperbincangkan. Maksud utama khitah adalah proses untuk mengembalikan perjuangan seperti perjuangan awal lahirnya yaitu kurun waktu 1926 sampai 1952. Salah satu alasan, mengapa NU mengambil sikap khitah, karena selama menjadi dan bergabung kedalam partai, NU belum memperoleh hasil politik sesuai dengan harapan.
Selama khitah ini, NU ibarat anak emas, semua kekuatan politik berusaha untuk mendekati dan menarik simpati NU yang diklaim memiliki 41 juta warga. Akibatnya khitah menjadi istilah multitafsir, sebagian kelompok memahami khitah adalah netralitas NU dengan berbagai kekuatan politik, tetapi sebagian lagi memahami bahwa khitah adalah terbebasnya atau keluarnya NU dari PPP, yang memiliki peluang untuk masuk ke dalam Golkar dan PDI. Sejak inilah istilah khitah menjadi perdebatan panjang yang tidak pernah ketemu ujung pangkalnya.
Kelima, NU memiliki wadah resmi partai politik, yaitu tahun 1997 sampai sekarang. Tepatnya Juli 1997, Gus Dur yang semula sebagai pendekar khitah membuat partai politik bernama PKB. Pada kurun waktu ini, istilah khitah NU semakin tidak jelas arahnya. Para elite NU dalam berbagai kesempatan menggiring warga NU untuk memilih PKB dalam pemilu, padahal NU masih tetap konsis dengan khitahnya yang diputuskaan dalam muktamar NU tahun 1984.
Akhirnya makna khittah menggelinding ibarat bola liar, ditafsirkan sesuai dengan keinginan masing-masing elemen di mana mereka berada.
Berdasarkan dinamika perjuangan NU mulai lahir sampai sekarang, rasanya sangat sulit untuk menegakkan khitah NU, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama, khitah merupakan konsep yang sangat subjektif karena secara historis NU menjelma ke dalam tiga wajah, murni berwajah organisasi sosial agama, wajah gerakan politik, dan wajah tidak jelas antara gerakan sosial agama dan politik.
Kedua, Tidak ada satupun tokoh atau kelompok yang bisa merumuskan konsep khitah tanpa perdebatan, akibatnya banyak elite NU baik dalam struktur pengurus maupun aktivis partai politik dengan mudah membelokkan makna khitah sesuai dengan keinginan untuk meraih jabatan politik tertentu.
Ketiga, sudah terbukti melalui beberapa kali muktamar, khitah NU hanya ramai diperdebatkan tetapi dalam tataran implementasi belum pernah ada satu kesepakatan gerakan.
Khitah NU mampu tegak atau tidak sangat tergantung dari nafsu politik para elite NU, baik yang menjadi pengurus organisasi mulai tingkat pusat sampai ranting (desa) dan para pengurus partai politik peserta pemilu tahun 2014.
Penulis pesimistis terhadap muktamar di Makasar nanti mampu merumuskan makna atau konsep khitah yang tidak menimbulkan perdebatan. (10)
— M Saekhan Muchith SAg MPd, kandidat doktor Unnes, Sekretaris Dewan Presidium Majelis Alumni IPNU Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 19 maret 2010